1. Mister Edwin

13 4 1
                                    

"Perkenalkan, saya guru biologi baru kalian. Panggil saya Mister Edwin, jangan pakai Pak atau yang lainnya."

"Iya, Mister," ucap murid kelas XI Ipa 2 serentak.

Mister Edwin melirik ke sekitar kelas, kemudian berhenti pada dua sosok yang sedang duduk bersama di meja kedua. "Eh, itu, kenapa kalian duduk berdua?"

Murid-murid yang ada di sana saling mengernyit.

"Kalian, yang duduk perempuan sama laki-laki."

"Saya?" Angga menunjuk dirinya sendiri.

Mister Edwin memutar bola mata. "Ya, memangnya siapa lagi? Kenapa kalian duduk berdua? Beda dengan yang lainnya?"

Sila menunduk seraya meremas rok seragamnya gugup.

"Kami memang duduk berdua, Mister," ujar Angga setenang mungkin.

Guru biologi itu mengernyit, kemudian menggeleng pelan. "Tidak, tidak. Kalian tidak boleh duduk bersama seperti itu. Sana, kamu pindak duduk sama temen laki-laki kamu. Dan kamu yang perempuannya, duduk sama temen perempuanmu juga."

"Nggak bisa gitu dong, Pak," protes Angga tak terima.

"Mister, Boy ... Not Pak."

"Ya, nggak bisa gitu dong, Mister," ulang Angga menahan emosi.

"Guru yang lain aja nggak mempermasalahin loh, Mister," celetuk Rendi, sang ketua kelas.

Mister Edwin melototi Rendi. "Jangan samakan guru satu dengan guru yang lain. Saya memiliki peraturan sendiri, salah satunya perempuan tidak boleh duduk sebangku dengan laki-laki."

"Ya elah, Mister, ribet amat sih!" gerutu Dimas.

"Dan bagi yang melanggar, saya mempunyai sesuatu yang sangat istimewa buat kalian." Mister Edwin tersenyum misterius.

Sila semakin meremas rok abunya. Ia sedikit mendongak, kemudian mengangkat satu tangannya dan ia letakkan di tangan kiri Angga. "Sila nggak papa. Sila bisa duduk sama Keila. Angga sama Dimas aja." Suara Sila bergetar. Angga menatap Sila khawatir.

"Ta—"

Sila menggeleng pelan. "Sila nggak mau Angga kena hukum Mister Edwin."

Angga merapatkan bibir. Ia menatap lama kedua bola mata perempuan yang sangat ia sayangi itu, kemudian menghela napas. "Ya udah." Angga pun berdiri dan berjalan menuju bangku Dimas dan duduk di sebelah cowok itu. Karena memang kebetulan siswa yang biasa duduk dengan Dimas sedang tidak masuk.

Sedangkan Keila—perempuan yang disebut Sila tadi, berpindah tempat duduk dari belakang menjadi di sebelah Sila. Sekarang Keila tidak lagi duduk seorang diri, melainkan bersama Frisila Zemawa Keisha.

"Akhirnya gue nggak duduk sendirian lagi." Keila tersenyum bahagia. Dan Sila membalasnya dengan senyuman lagi.

•°•°

"Angga, Sila mau ke toko buku sama Keila." Saat ini mereka tengah berada di depan lapangan setelah cukup lama Sila ditinggal oleh Angga untuk kumpulan organisasi.

Angga mengangkat sebelah alis. "Kenapa nggak sama aku aja?"

"Angga kan mau ekskul basket dulu. Kalau Angga nemenin Sila ke toko buku, nanti Angga nggak bisa ikut ekskul. Apalagi Angga tahu, kan kalau di toko buku Sila suka lama."

Angga terdiam. Apa yang diucapkan Sila memang benar adanya.

"Emang nggak papa?" tanya Angga sedikit ragu.

Sila menggeleng seraya tersenyum manis. "Nggak papa. Angga semangat, ya latihannya."

Angga tersenyum. "Iya."

"Sila pergi duluan, ya. Kasihan Keila udah nunggu di depan."

Angga mengangguk. "Hati-hati di jalan. Kasih tahu ke Keila jangan ngebut kalau bawa motor."

Sila terkekeh. Angga memang sangat mengetahui cara Keila mengendari motor. Perempuan itu akan menggunakan kecepatan tinggi kalau tidak ada yang mengingatinya.

"Iya, Angga."

Angga tersenyum lagi. "Nanti aku ke rumah kamu."

TBC

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 24, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Our StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang