Bagian 3 : Di Dalam Kegelapan

18 3 1
                                    

Reyzi hanyut. Dengan tenaga tersisa, ia hanya bisa mengikuti arus sungai yang membawanya. Sesekali, ia merasakan sebuah batu besar menghantam tubuhnya. Derasnya air sungai juga membuat tubuhnya terasa seperti diremuk-remuk.

Ia pasrah. Hidupnya hanya tergantung pada keberuntungan. Kemana sungai ini akan membawanya pergi. Ia hanya dapat melihat air di sekitarnya. Dalam pikirannya, ia melihat sebuah rumah kayu tua yang sederhana. Di sekelilingnya terdapat kebun buah yang besar dan segar. Di bawah sebuah pohon apel besar, ada seorang gadis kecil yang sedang bermain. Ia di dunia yang kacau ini. Lalu, seorang wanita keluar dari dalam rumah dengan membawa ubi yang baru saja dibakar. Saat gadis muda itu melihatnya, ia tertawa kegirangan sambil menyebut kata "ibu" berulang kali. Lalu, mereka berdua berpelukan dan tersenyum dengan bahagia.

"Jika aku berhasil selamat. Aku hanya ingin melihat senyuman itu sekali lagi." Pandangannya menjadi gelap. Ia tak dapat merasakan seluruh tubuhnya. Lalu, ia pun kehilangan kesadarannya.

Reyzi membuka matanya. Matahari mulai terbit. Ia terbaring di sebuah batu besar di pinggir sungai. Sepertinya batu itulah yang menghentikannya hanyut.

Reyzi melihat sekelilingnya dan mencoba untuk berdiri. Namun, kakinya terasa sangat sakit dan tak bisa berdiri. Untuk sementara waktu ia akan tetap terbaring di atas batu ini dengan perut yang lapar. Sesekali ia meminum air sungai untuk mengisi perutnya.

Sudah sekitar satu jam Reyzi terbaring disana. Sepertinya tidak ada tanda-tanda adanya pemberontak yang mengejarnya. Ia berharap tak akan terjadi apapun saat ini, setidaknya sampai ia bisa berjalan lagi. Namun, sepertinya harapannya tidak terkabulkan. Walaupun tak ada pemberontak yang mengejarnya lagi, tetapi tak lama kemudian ia mendengar suara beruang yang semakin mendekat.

Jantung Reyzi berdetak cepat. Ia beruntung bisa selamat setelah hanyut di sungai, tetapi apakah ia bisa selamat dari serangan beruang yang lapar? Ia pun semakin ketakutan. Ia melihat ke kanan dan ke kiri dengan cepat. Mencari tempat untuk bersembunyi.

Lalu, ia pun melihat sebuah tempat gelap seperti gua tak jauh dari tempatnya. Ia memaksa tubuhnya dan berjalan pincang ke arah gua tersebut. Ia memutuskan untuk berdiam di mulut gua itu untuk sementara.

Beberapa jam telah berlalu. Waktu sudah lewat tengah hari. Reyzi juga sudah bisa berjalan sedikit demi sedikit. Saat ia berdiri, tak sengaja ia menyentuh sebuah batu hingga terjatuh. Suara batu itu bergema di dalam gua, tetapi anehnya, suara gema dalam gua itu terasa sangat jauh. "Gua ini pasti cukup dalam. Apa ujung gua ini bisa menembus ke tempat lain ya?"

Untuk memastikan hal itu, Reyzi nekat memasuki gua yang ia tak tahu ujungnya itu. Ia terus berjalan dan berjalan. Gua itu tak ada belokan sedikit pun. Hanya ada jalan lurus di dalamnya. Perlahan demi perlahan Reyzi menyusurinya. Setelah berapa lama ia berjalan, ia merasa seperti menabrak sesuatu. Itu bukanlah batu maupun tanah. Ia menabrak sebuah kayu, lebih tepatnya, itu adalah sebuah pintu yang terbuah dari kayu.

Reyzi mendorong pintu tersebut agar terbuka, namun tak bisa. Pintu itu terkunci. Reyzi yang tak mau perjuangannya sia-sia itu pun langsung mendobrak pintu tersebut dengan kuat hingga pintu tersebut hancur. Ia masuk dan mencari suatu penerangan di dekat pintu. Ia menemukan obor dan pemantik, dan segera menghidupkannya. Ternyata ini adalah sebuah tempat persembunyian rahasia milik seseorang.

Perut Reyzi berbunyi. Ia tak makan apapun sejak kemarin. Dengan terburu-buru, ia menggeledah seisi ruangan itu untuk mencari makanan. Akhirnya ia menemukan ransum darurat di bawah meja.

"Ransum ini sudah kadaluarsa sejak setahun yang lalu. Aku pasti sakit perut jika memakannya.". Lalu, Reyzi duduk di kursi dan memakan ransum tersebut. Rasa lapar sudah mengambil alih pikirannya.

Ia menghabiskan sampai tiga bungkus ransum dan duduk kekenyangan. Ia memperhatikan ruangan itu sekali lagi. Di dalamnya hanya ada sebuah meja, sebuah kursi, sekotak ransum darurat, sebuah kotak kayu, dan sebuah buku bersampul hijau di atas meja. Reyzi penasaran dengan buku yang ada di depannya. Buku itu sangat berdebu. Reyzi membersihkannya, lalu membuka buku tersebut.

Di halaman pertama buku itu terdapat tulisan Nayati Rando, 3093. Buku ini ditulis sebelas tahun yang lalu. Di halaman berikutnya dan seterusnya, buku ini bercerita tentang seorang ayah yang mencari keberadaan anaknya yang hilang. Terlihat seperti buku harian. Namun, ia tak menuliskan nama anaknya pada buku ini.

Saat Reyzi membuka halaman terakhir pada buku tersebut. Tiba-tiba sebuah foto terjatuh. Pada foto itu juga terdapat tulisan Nayati Rando, 3093 sama seperti yang ada pada buku. Foto itu berisi gambar seorang pria bersama seorang anak perempuan berumur sekitar 10 tahun. "Ini pasti foto ayah dan anak itu ya. Kalau foto ini diambil pada tahun yang sama, anak perempuan ini pasti sudah berumur 21 tahun sekarang. Lebih muda empat tahun dariku."

Reyzi mengembalikan foto tersebut ke dalam buku dan meletakkan buku itu kembali ke atas meja. "Sekarang mari kita buka kotak kayu ini.". Reyzi pun langsung membuka kotak kayu yang ada di ujung ruangan dan terkejut melihatnya.

Di dalam kotak itu terdapat tas berisi jubah, perban, dan obat oles luka. Sedangkan dibawah tas tersebut terdapat sebuah pedang satu tangan dan tiga buah pisau, beserta sabuk untuk membawanya. "Bagaimana bisa ada senjata disini? Ini juga masih sangat bagus. Jadi, sebelas tahun yang lalu pria itu menyembunyikan senjata ini disini. Padahal sekarang sudah tak ada satupun senjata tersisa."

Reyzi mengambil obat oles serta perban yang ada. Namun, karena obat oles itu ternyata juga sudah kadaluarsa, Reyzi tak memakainya dan hanya mengganti perban pada lukanya.

Setelah selesai mengganti perban pada lukanya, Reyzi berdiri dan menggunakan jubah yang ada di dalam tas. Jubah itu cukup besar dan hangat. Dengan itu, ia bisa tidur tanpa kedinginan di perjalanan nanti.

Tak hanya jubah, Reyzi juga mengambil tas dan semua senjata yang ada. Ia tak ingin membuang waktu lebih lama lagi dan ingin segera pergi. Sebelum beranjak pergi, ia melihat kembali isi kotak kayu tersebut.

Di dalam kotak kayu itu ternyata terdapat sebuah kertas kecil. Reyzi membaca kertas tersebut. Sepertinya ini adalah catatan tambahan yang dibuat oleh pria tua yang membuat tempat ini. "Kepada siapapun yang menemukan ini. Jika buku itu berdebu, berarti aku sudah tidak ada di dunia ini. Tolong sampaikan padanya. Aku selalu menyayangimu, putriku."

Setelah membaca kertas itu, Reyzi mengambil buku hijau tadi dan memasukkannya ke dalam tas. Lalu, ia pun keluar dari gua tersebut dengan membawa semua perlengkapan tadi bersamanya.

Reyzi menyusuri gua untuk mencari jalan keluar. Ia merasa jalan yang ia lewati seperti lebih jauh dari yang ia lewati saat masuk. Ia terus berjalan menyusuri gua dalam kegelapan. Saat keluar dari ruang rahasia tadi, ia membawa obor. Namun, obornya mati dan pemantiknya pun sudah habis. Ia tak punya pilihan selain terus berjalan menyusuri gua.

Setelah cukup lama berjalan, ia akhirnya berhasil keluar. Reyzi terkejut karena ia keluar tidak pada tempat dimana ia masuk sebelumnya. Ia keluar tepat di tengah hutan. Sepertinya gua itu sebenarnya berbelok-belok, namun karena gelap, ia tak menyadarinya dan hanya terus berjalan maju.

Reyzi tak memikirkan gua itu. Yang penting ia berhasil keluar. Saat Reyzi keluar dari gua, langit terlihat gelap. Reyzi mengusap matanya berkali-kali. "Sepertinya aku harus tidur di gua malam ini." ucap Reyzi sambil menghembuskan nafas kecewa.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 23, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Last PointTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang