Vio masih berdiri di tempatnya sambil tersenyum menantap Cintya yang menunduk dan merasa sangat bersalah itu.
"Mana pakaianku untuk menghadiri undangan Pak Zulfi?"
"Ah, Bibi tadi sudah menyiapkan di kamar anda Pak." Jawab Cintya setegas mungkin, tidak mau melakukan kesalahan lagi.
"Apa tadi kamu tidak mendengar ucapanku?" Balas Vio yang membuat Cintya langsung bersikap tegap.
"Yang mana Pak? Apakah anda berpesan yang lain? Maaf jika saya melupakannya."
Cintya sudah was was saat mendengar decakan tak suka dari Vio, ia takut jika melakukan kesalahan yang fatal.
"Saya tadi bilang apa?" Tantang Vio sekaligus mengetes daya ingat Cintya.
Cintya membenarkan posisi berdirinya dan mengambil nafasnya dalam-dalam. "Anda tadi berpesan pada saya untuk menyiapkan pakaian anda untuk menghadari undangan ke pesta ulang tahun Pak Zulfi nanti pukul delapan."
"Lalu?"
"Anda memberikan kartu kredit anda pada saya untuk..." Cintya menggantung ucapannya.
"Astaga Pak, saya belum sempat mencari gaun. Bisakah saya hanya menemani anda tanpa ikut ke dalam pesta?"
Vio tersenyum, "Bukan itu!" Ucapnya membuat Cintya bingung dan kembali merasa was-was.
"Setelah aku memerintahkanmu untuk menyiapkan semuanya apa yang kamu lakukan?"
Mulut Cintya terbuka, membentuk huruf A dan kepalanya memgangguk-angguk ringan.
"Setelah itu saya menelepon Bibi, berpesan pada Bibi untuk menyiapkan pakaian anda."
"Jadi?" Tanya Vio masih mengejar.
"Jadi?" Balas Cintya balik bertanya.
Vio membuang nafas beratnya, berjalan mengampiri Cintya dan menangkup wajah Cintya dengan kedua tangannya.
Degdeg degdeg
Degdeg degdeg
Jantung Cintya berdetak dengan irama yang tak sama seperti beberapa detik lalu. Rasanya aneh, antara takut namun rasanya berbeda dari perasaan ketakutan. Terakhir kali Cintya merasakan hal semacam ini sepertinya sekitar tiga tahun lalu.
"Kemana otak cerdasmu Cintya?"
Cintya masih terdiam menyetabilkan irama dari dentuman drum yang betalu-talu di dadanya.
"Aku memerintahkanmu, bukan Bibi. Mengerti?" Ucap Vio di akhiri dengan seringai.
Dalam tangkupan tangan Vio, Cintya hanya mengangguk beberapa kali dengan kaku. Gemuruh di dada Cintya kian tak beraturan, tanpa disadari jarak mereka makin terkis, mata Cintya perlahan terpejam dan tatapan Vio teralihkan pada bibir Cintya yang sedikit terbuka. Makin dekat hingga akhirnya...
Tettet..Tet...Tett..tettet..tettet
Tettettt..tettteeet"Ck!"
Vio berdecak kesal lalu melepaskan tangkupannya pada Cintya, berjalan ke pintu utuma untuk mencaci maki tamu yang menganggu itu. Sedangkan Cintya telah kembali dan berpijak di bumi, meruntuki dirinya yang mungkin saja bisa mengulang kebodohan beberapa minggu lalu. Dan Cintya berterima kasih pada siapapun juga yang telah memencet bel dan menyadarkan dirinya, mengembalikan dirinya dalam kesadarannya.
***
"Lama sekali sih!"
Vio yang baru saja membuka pintu itu kemudian bersedekap, mendengar omelan dari tamu yang menurutnya mengganggu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Only You
RomansaBerawal dari kejadian saat malam purnama, rasa itu perlahan mulai muncul. Rasa yang masih belum terjelaskan dan sering kali memunculkan keraguan. Octavio (Vio), pria 32 tahun itu selalu merasakan getaran aneh saat bedekatan dengan sekertarisnya. Cin...