"maa," ucap anak itu mencicit.
"iya sayang?" yang di panggil menjawab, ia masih fokus pada komputer di depannya.
"maa" sekarang anak itu menggapai tangan mamanya itu, berusaha mendapatkan perhatian.
Tapi, sepertinya usahanya gagal, setelah mendapati mamanya justru menyodorkan sebuah benda persegi padanya. Mamanya menyuruh lelaki kecil berusia 9 tahun itu memainkan ponsel pintar miliknya.
Anak itu menerimanya, tapi bukan karena ia menerimanya. Ia berjalan menjauh sambil menunduk, meletakkan ponsel yang di berikan mamanya ke meja, lalu berjalan keluar dari ruang kerja mamanya.
"paa," ucap anak itu setelah memasuki ruang kerja papanya. Kali ini usahanya harus berhasil.
"iya, sayang" papanya menoleh sekilas, lalu matanya kembali tertuju pada buku-buku yang berserakan di mejanya.
"paa," kali ini ia mengayun-ayunkan tangan papanya.
"sayaang, ada apa, hm?"
Papa memutar kursi menghadap anak itu, lalu meraih anak itu ke dalam pangkuannya.
"paa," ucap anak itu sambil bermanja dan memeluk lengan kekar papanya.
"ooh, anak papa yang sudah besar ini kenapa?," ujarnya sambil bangkit dari kursi dengan anaknya yang sudah besar itu masih di gendongannya. Ia melangkah keluar dari ruang kerjanya, berusaha secepat mungkin berjalan ke kamar buah hati satu-satunya itu, baginya waktu sedetikpun sangat berarti.
Ia duduk di sisi kasur dan menurunkan anaknya, "tidur, oke?"
Memasangkan selimut dan melangkah keluar meninggalkan anaknya yang bahkan belum mengatakan tujuannya memanggil papanya tersebut.
"mereka berdua sama saja, sama-sama tak sayang padaku" lelaki 9 tahun itu menarik selimutnya menutupi wajahnya. Entahlah, mungkin untuk menangis.
'~'
"wah, selamat ya.." sosok jakung itu menepuk bahu lelaki kecil itu, sosok jakung itu adalah gurunya.
"terimakasih, pak" anal itu sedikit membungkukkan badannya, memberi hormat, bertingkah sopan, sedikit tersenyum. Percayalah itu bukan senyuman yang baik, ia tak pernah sungguh-sungguh tersenyum, hanya menarik sudut bibirnya ke atas. Hanya untuk menunjukkan bahkan ia anak yang baik.
"sudah kuduga kau sehebat ayah ibumu"
Tidak, itu bohong, sanggah anak itu dalam dirinya.
Guru itu masih saja sibuk memuji dengan suara yang cukup nyaring, sehingga atensi guru-guru yang berada di kantor mengarah pada mereka. Beberapa dari mereka ikut memuji, menepuk bahunya dengan bangga, mengelus rambutnya penuh perhatian.
Ia menyukai kondisi ini sebenarnya. Tapi, meskipun masih anak-anak, ia tahu apa yang sebenarnya selama ini yang telah ia lakukan adalah salah. Tidak, ini bukan salahnya. Orang tuanyalah salah. Ya, para orang dewasa yang ada di sekitarnyalah yang salah. Ia tak pernah salah, Ia hanyalah anak kecil yang tidak tau apa-apa bagaimana cara kerja dunia.
Termasuk bagaimana caranya agar ia selalu berada di nomor 1 dalam lomba apapun. Peringkat 1 hanyalah untuknya. Karena angka 1 adalah miliknya. Itulah yang selalu orang tuanya katakan.
YOU ARE READING
SANG PENULIS
Fiksi PenggemarBukan aku yang membunuh orang-orang itu, lihatlah tangan siapa yang berdarah? Tangan kalian tentunya. Tanganku bersih, bahkan aku tidak menumpahkan tinta saat menulis cara pembunuhan orang-orang itu.