PROLOG

2.9K 94 5
                                    

     Lapangan hijau terhampar luas, sebab rerumputan khusus sengaja ditanam di sana. Pada bagian kanan dan kiri, berdiri dengan kokoh sepasang gawang berukuran cukup lebar; seolah tengah mengapit tanah berukuran lega tersebut.

     Beralih ke area tribun, suasana tampak sepi. Tak ada seorangpun berseliweran atau bahkan duduk sambil bersorak untuk tim kebanggaan. Maklum saja, hari ini sedang tak ada jadwal latihan maupun pertandingan. Hingga rasanya, sangat sunyi seperti di kuburan.

     Muhammad Valeron, pemuda berwajah setengah pucat itu berteriak, "LEPASIN GUE!"

     "NGGAK!" tolak seorang gadis, tidak kalah lantang.

     Seketika hening, tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka. Takut, gelisah, cemas, marah, canggung, hingga ngeri berkecamuk jadi satu.

     Lelaki yang kini tengah mengalami guncangan batin itu, amat yakin jika kehadirannya di sini hanya akan mendatangkan malapetaka. Padahal, seorang lainnya bersikukuh bahwa apa yang ia lakukan sekarang akan berdampak baik untuknya.

     Di waktu yang sama, dia juga ingin menyadarkan satu hal—lari dari masalah bukanlah keputusan yang tepat. Justru, seharusnya 'mereka' diperbaiki dan ditata ulang untuk kehidupan yang lebih baik di kemudian hari.

     "RIN!"

     Gadis bernama lengkap Karin Anyara itu sontak menatap Valeron dengan iba. Maniknya hampir menitikkan air mata, sebab segala kekalutan dan kesedihan sudah tak terbendung lagi di sana.

     "Nggak gini, lo salah!"

     Berkat ucapan Valeron, kini hati Karin sedikit melunak. Terlalu besar ambisinya untuk membantu Valeron, hingga lupa akan caranya yang terlalu keras sampai membuat lelaki itu merasa tak nyaman. Bukan tak mungkin, trauma yang diidap Valeron akan semakin memburuk.

     "M-maafin gue, Ron," ucap Karin, terbata.

     Dengan penuh rasa bersalah, ia menatap pergelangan tangan Valeron yang mulai memerah. Ada bekas cengkraman tangan di sana. Karin menyesal karena sudah ceroboh hingga membuatnya melakukan hal bodoh.

     "Harusnya gue nggak ngajak lo ke sini. Maksa lo buat sembuh, sama aja memperburuk trauma lo. Maafin gue. Tapi, sekali lagi gue cuma—"

     "Cukup!" potong Valeron. Setidaknya, hanya itu yang bisa ia katakan, sebelum mendengar kalimat memuakkan berikutnya.

     Untuk beberapa saat, hening menyelimuti mereka. Rasanya, terlalu canggung bagi Karin untuk memulai kembali, dan terlalu menyebalkan buat Valeron membahasnya lagi.

     Secara tiba-tiba, Valeron memutar tubuhnya gusar, bersiap mengambil langkah menuju pintu keluar, seraya menahan kengerian di tempat yang sudah lama tak dikunjunginya itu.

     "VERON?"

     Karin tak ingin melihatnya pergi, sungguh. Apalagi dengan beban pikiran yang tak sengaja ia torehkan. Namun, ia juga tak ingin membuat Valeron berlama-lama di tempat ini, terlalu menyakitkan untuknya.

     "RON?" Lagi, gadis itu refleks mencengkeram tangan Valeron yang sontak membuatnya berbalik badan.

     "Kalo lo sahabat gue, nggak mungkin lo bantuin gue, tapi di waktu yang sama lo juga nyakitin gue. Dan lo tau? Itu yang sekarang lo lakuin!"

     BRAG!

     Karin melepaskan genggamannya dengan tiba-tiba, hingga membuat Valeron jatuh menghantam lantai. Tak pernah ia sadari, jika apa yang dilakukannya selama ini membuat Valeron benar-benar merasa terganggu.

Hello, Valeron!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang