O3 : Don't Want To Be Here

3.3K 584 53
                                    




Maximilian bukan tempat yang tepat. Maximilian tidak bisa Ariadne jadikan tempatnya menaruh harap. Pada akhirnya, lelaki itu berlalu dengan wajah pasrah, namun Ariadne melihatnya seakan dia ogah mempertimbangkan keputusannya.

Hancur, pasti. Ia bagai mencoba membuat layangannya lebih tinggi dengan harapan sang langit akan membawa mendung pergi, namun yang ada? Langit yang sudah kelabu malah membuatnya sekalian basah kuyup.

Layang-layang Ariadne jatuh, tanpa ampun dan rusak dengan beberapa bagian yang koyak.

Pernikahan tinggal menghitung hari. Jika seperti ini, waktu rasanya berjalan cepat sekali. Terbukti, belum dua malam ia tak tidur di kasur biasanya, dan kini ia dihadapkan dengan agenda pertama penuntun ke acara utama.

“Badan Nona Harper bagus sekali. Rasanya kalau pakai semua baju di sini pasti tetap cantik!” Ariadne bosan sekali mendengarnya. Dari orang pertama sampai wanita kesekian yang melayaninya di tempat ini, dia sudah dengar kalimat semacam itu berulang kali.

Dia tidak butuh pujian, sungguh. Ariadne hanya berharap akan datang kabar gembira yang mengatakan kalau Maximilian menolak pernikahan mereka, atau pernikahan gila itu dibatalkan dan yang bersangkutan ingin menganggap ini tak pernah terjadi.

Sedari tadi hanya bergerak sesuai instruksi, ia bahkan layaknya mayat hidup, bernapas namun tak bisa juga dikatakan memiliki tanda-tanda kehidupan.

Atau memang iya?

“Nona Harper, bisa bangun sebentar? Saya harus mengukur pinggang anda. Sepertinya gaun pilihan Tuan Park agak kebesaran di bagian pinggangnya.” Ia menurut, bangun sesuai perintah. Persetan apa yang akan orang-orang itu lakukan.

Sudah lama sejak ia dengar kabar pernikahannya, Ariadne berpikir untuk lebih baik mati. Kenapa? Karena baginya, pernikahan ini mutlak, tak dapat terbantah. Sudah ada yang bertanda tangan di atas materai, surat perjanjian kakaknya dan kakak Maximilian resmi sifatnya. Jika Ariadne menolak, mereka bisa saja melakukan hal yang tidak-tidak. Terlebih pada Jax.

“Nona Harper, anda kelihatan pucat. Mau air? Nanti saya belikan.”

“Enggak. Terima kasih.” Tapi kalau terima saja, apa tidak masalah baginya? Dia yang akan menikah, dia yang akan menjadi istri seorang CEO muda bernama Maximilian dan itu pun entah untuk berapa lama. Yang Jax bawa bersama ukiran tanda tangannya adalah hidup Ariadne Harper, apa dia tidak pernah bayangkan akibat dari semua ini? Jahat sekali.

“Kalau begitu, kita pergi ke tempat sepatu, ya?”

“Apa Maximilian juga yang milih sepatunya?”

“Iya... tapi tenang Nona, selera Tuan Park itu bukan main keren-nya.”

“Cih, emang aku peduli?” Ariadne berdecak samar, kemudian ikut kemana wanita itu mengajaknya berjalan.

Setibanya di tempat yang dimaksud, yang Ariadne lakukan tak lebih dari diam. Tatapannya sering kosong karena memikirkan banyak hal. Saking banyaknya, sampai blank seperti orang gila.

“Nona, apa sepatunya kesempitan?” Ariadne selalu mengangguk, dan membuatnya harus mencoba beberapa sepatu lain yang sekiranya akan pas dengan ukuran kakinya. Namun Ariadne tidak akan merasa ada satu pun yang pas, karena sesungguhnya hati calon pengantin ini sangatlah bersedih.

HEAVENLY PAIN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang