O1 : Don't Sell Me Away, Jax

5.9K 607 82
                                    




Kakinya menghentak, mengukir langkah sebesar mungkin agar bisa mencapai sosok di depan sana. "Kakak!" jeritnya memanggil, namun lelaki yang lebih tua darinya itu enggan berbalik ataupun berhenti. Telinga lelaki itu ditulikan, memblokir suara adik wanitanya yang sedari tadi memanggil.

"Kakak, berhenti!" si adik menyuruhnya berhenti, namun kaki itu seolah tak punya rem. Terus melaju melalui bilik demi bilik hingga akhirnya sampai di ruang utama rumah yang tak seberapa besar milik mereka.

Gadis itu-adiknya-mungkin merasa kesal hingga mencapai puncak emosinya. Bisa ditakar dari sekuat apa emosi itu berdampak pada keadaan kertas yang digenggamnya. "JAXON HARPER SIALAN!" Baru setelah namanya disebut, lelaki bernama Jaxon Harper berhenti, berbalik dengan tatapan kesal dan penuh amarah.

Jax kali ini menghampiri, menjawab panggilan sang adik dengan langkah besarnya. "Bilang apa tadi?" diiringi tatapan nyalang, tangan kekarnya mencengkram rahang si gadis dengan kuat. Sempat terdengar erangan sebelum gadis itu memilih untuk diam dan menahan.

"Ayo jawab, bilang apa kamu tadi?!"

"Kamu sialan, bajingan, kamu keparat, Jaxon Harper!" kalap, tanpa menunggu izin lebih dulu-tangan Jax menyapa pipi si gadis lewat sebuah tamparan. Gadis itu tersungkur hingga menatap tembok, namun Jax seolah tak punya hati nurani.

"Sopan sekali mulutmu! Kamu pikir aku ini siapa? Aku kakakmu, Ariadne Harper!"

"Kakak? Apa itu nggak aneh? Setelah menjualku sama saudagar kaya, kamu masih mau dihargai seperti seorang kakak?! Kamu gila?!" Semakin Ariadne melawan, semakin sering dirinya mendapat tamparan. Entahlah, dia pun tidak tahu mengapa Jax sangat ringan tangan padanya. Ringan tangan dalam artian tindakan, bukan seperti seorang dermawan.

"Kamu nggak tahu yang sebenarnya! Lagipula, apa susahnya tinggal terima? Toh, kamu di sana bakal hidup enak bak putri raja. Orang yang bakal nikahin kamu itu kaya-nya bukan main, Ariadne..." Belum selesai Jax bicara, dia lebih dulu dihadiahi tamparan oleh adiknya.

Ariadne masih diam, sengaja menunggu respons sang kakak atas tindakannya. Meski dalam hati ingin sekali dirinya menjerit, logikanya tetap meminta untuk bersikap tenang. Lagipula, jika ia marah dan berteriak di depan wajah Jax, apakah semua akan kembali seperti semula? Yang ada, dia hanya buang tenaga, toh tidak berguna juga di hadapan surat perjanjian dengan tanda tangan dua oknum yang bersangkutan.

"Kamu makin kurang ajar, ya, Ariadne?"

"Kakak yang kurang ajar!" Namun rasanya tidak akan adil kalau hanya Jax yang bicara dan Ariadne diam saja. Dia butuh untuk marah. Jika itu tidak bisa merubah keadaan, setidaknya Ariadne sudah berusaha meluapkan emosi ketimbang menumpuknya menjadi bibit-bibit depresi.

"Kakak pikir aku apa? Kakak pikir aku hewan dan kakak tuan? Kakak punya akal nggak sih? Aku adik kakak. Bisa-bisanya kakak jual aku untuk jadi budak orang kaya yang sukanya menindas rakyat jelata kayak kita."

"Ariadne, lebih baik kamu tenangkan diri dulu. Setelah kamu lihat orang yang mau nikahin kamu, aku yakin kamu bakal berubah pikiran. Jadilah istri yang baik buat dia. Kalian harus bina rumah tangga yang indah, oke?"

Ariadne menggeram, tangannya diremas kuat sebagai ancang-ancang ketika akan berteriak, "JAXON HARPER ...!" Ditilik dari nadanya saja sudah dapat diduga kalau gadis ini mulai depresi.

HEAVENLY PAIN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang