i. White Roses

20K 1K 103
                                    

      Tubuh jangkung itu terbaring di atas ranjang berlapiskan kain sutra putih. Lengannya yang panjang menggantung ke bawah ranjang, rambut pirangnya tampak berbaur dengan bantal yang juga berwarna putih.

Sinar mentari pagi menyeruak dari balik jendela, menyinari Jeno tepat pada kedua kelopak matanya yang terpejam. Ia mengerutkan dahinya lalu perlahan membuka kedua matanya yang bermanik hazel.

“Selamat pagi, Tuan Muda. Sarapan anda telah siap dan Yang Mulia telah menunggu anda di bawah untuk sarapan bersama.”

Mendengar sapaan yang membosankan itu, Jeno lantas menggeliat lalu duduk di atas ranjangnya dengan malas.

“Baiklah aku mengerti, Thomas. Kau boleh pergi sekarang.”

Jeno lalu beranjak dari atas ranjangnya yang nyaman lalu melangkah ke dalam kamar mandi diiringi dengan bungkukan hormat dari sang pelayan.

Setelah mandi dan berpakaian dengan rapi, Jeno segera turun ke bawah untuk sarapan bersama ibu dan ayahnya.

Jeno tersenyum, melemparkan sapaan selamat pagi, memberi hormat kepada ibu dan ayahnya, yang dibalas dengan senyuman tipis dan anggukan, lalu duduk di kursi makan.

Mereka sarapan dalam hening. Tentu saja, sopan santun menjadi nomor satu bagi keluarga kerajaan.

Maximillien Juno Winchester merupakan putra pertama sekaligus satu-satunya buah hati dikeluarga terhormat ini. Ayahnya, Maximillien Jeffrey Winchester merupakan raja Britania Raya kedua belas.

Meski namanya Juno, ia lebih suka dan lebih sering dipanggil Jeno. Jeno sendiri merupakan nama kecilnya. Jeno merupakan seseorang yang ramah dan tidak banyak bertingkah tidak perlu. Meski begitu, ia masih memiliki sikap yang kekanakan. Padahal sang ayah selalu menyiapkannya untuk menjadi seorang penerus kerajaan. Contohnya, perjodohan antar keluarga terhormat.

Jeno selalu menghindari diskusi bertopik pernikahan untuknya, hingga sang ayah dan ibu putus asa untuk membujuknya menikah.

Setelah selesai sarapan, ketika para pelayan tengah membereskan meja makan, Jeno berjalan-jalan ke kebun belakang istana. Jeno berjalan-jalan kemari hampir tiap pagi dan sore apabila ia tidak sedang belajar maupun bermain biola kesukaannya.

Jeno selalu menyukai mawar putih dengan daun-daunnya yang dipotong dengan bentuk kelinci. Hal itulah yang membuat suasana hatinya baik tiap pagi, tatkala menemukan mawar putih segar di dalam vas bunga yang menghiasi nakasnya.

Tampaknya para pelayan istana begitu mengerti kesukaannya.

Ketika tengah asyik memperhatikan mawar-mawarnya, Jeno merasakan jantungnya hampir melompat keluar ketika manik Jeno bertemu dengan manik kecokelatan jernih yang tengah menatapnya dari balik pohon apel merah.

Lelaki jangkung itu menyipitkan matanya lalu menghembuskan nafas lega ketika menyadari siapa yang tengah menguntitnya.

“Renjun? Mengapa kau bersembunyi seperti itu? Kau hampir saja membuatku terkena serangan jantung, tahu?”

Bocah bernama Renjun itu nampak malu-malu keluar dari persembunyiannya lalu membungkuk hormat kepada Jeno.

“Maafkan saya, Yang Mulia. Saya hanya tidak ingin menganggu anda,” jawab Renjun dengan sopan.

Jeno tertawa pelan, lalu berujar.

“Huang Renjun, berapa kali aku memintamu untuk memanggilku Jeno dan hanya Jeno?”

Renjun mengerjapkan matanya dengan panik, lalu menjawab dengan gugup.

“A-ah, tentu saja, Jeno. Maafkan aku.”

a Big Book of NorenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang