lokal!AU
Gambir, 1995
Adzan maghrib baru saja selesai berkumandang ketika sesosok tubuh mungil itu berlari menerobos hiruk-pikuk di dalam stasiun. Kakinya ia gerakkan secepat mungkin. Dipunggungnya terdapat sebuah tas ransel berwarna hitam yang nampak penuh.
Liburan telah usai. Sekolah-sekolah telah memulai kegiatan belajar-mengajar. Beberapa kampus pun telah memulai perkuliahan.
Begitu pula Renjun Wardhana, yang merupakan seorang mahasiswa salah satu universitas negeri Yogyakarta. Ia harus kembali ke Yogya untuk melanjutkan misinya menimba ilmu.
Di antara kerumunan manusia itu ia menyeruak berlari menuju gerbang keberangkatan. Ia menghela nafas lega ketika menyadari dirinya tidak terlambat.
Setelah masuk ke dalam rangkaian kereta, Renjun bolak-balik mencari tempat duduknya. Ia menghempaskan pantatnya pada kursi kereta, dan bersandar. Pemuda itu merasa kelelahan pasca berlarian setelah turun dari angkot.
Pikiran pemuda itu semrawut. Pengerjaan skripsinya tengah berada pada fase paling melelahkan. Ia berulang kali revisi. Tidak berhenti sampai sana, kekasihnya, memutuskan hubungan mereka berdua secara sepihak, lewat sepucuk surat yang datang padanya.
Renjun tidak menangis ketika ia dicampakkan, ia merasa maklum. Ya, apa yang bisa diharap dari hubungan sesama jenis? Terus bersama hingga menikah di luar negeri? Semuanya tidak semudah itu.
Renjun paham, bagi orang-orang dengan orientasi seksual menyimpang sepertinya, happy ending itu nyaris tidak ada.
Ketika tengah sibuk dengan pikirannya, seseorang berjalan mendekat dan duduk tepat di seberangnya.
Sesosok laki-laki berpakaian teramat rapi menaruh barangnya pada kursi kereta dan duduk di seberangnya. Ia lalu kembali sibuk membaca berita pada surat kabar. Pemuda itu begitu serius membaca hingga tidak menyadari kehadiran Renjun.
Renjun sendiri berusaha tak acuh. Ia mengambil walkman dari tasnya lalu mendengarkan musik. Suara keras sang vokalis memenuhi pendengarannya.
Rangkaian kereta mulai berjalan. Suaranya yang bergesekan dengan rel menyeruak dalam heningnya malam.
Petugas restorasi berkeliling, menawarkan makanan. Renjun menatap nasi goreng seafood—meski isinya hanya terdapat udang—yang dibawa dalam kereta dorong. Perutnya lapar tetapi mengingat isi dompetnya yang pas-pasan, Renjun menahan dirinya.“Makan malamnya, Mas?”
Renjun membuka mulut, namun lelaki berpakaian rapi itu mendahuluinya. “Enggak, Mbak.”
Pemuda di seberangnya kini tidak lagi membaca koran. Ia tampak menatap keluar jendela. Pakaiannya begitu rapi, nyaris seperti kaum elite tetapi karena ia menaiki kereta api kelas ekonomi, tentu saja ia tidak berbeda jauh dengan Renjun. Atau ia kehabisan tiket?
Pemuda itu memiliki rahang yang tegas. Matanya kecil namun tampak jenaka. Renjun tanpa sadar memperhatikan pria itu tanpa berkedip.
Ketika ia bersuara menolak tawaran petugas restorasi tadi, suaranya bagai—oh, bagaimana Renjun mendeskripsikannya?—Suaranya bagai lelehan karamel yang kerap ibunya masak ketika akan membuat pudding.
Renjun berdeham mencoba menyadarkan dirinya sendiri untuk berhenti menatapi pemuda di hadapannya ini. Ia mencoba menyibukkan dirinya dengan melihat suasana kereta.
Seorang ibu dan anaknya tengah menyantap nasi goreng seafood tadi. Si anak tampak tidak begitu ingin makan, namun sang ibu memarahinya hingga si anak memakan itu dengan terpaksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
a Big Book of Noren
FanficKumpulan oneshoot atau twoshoot dari pairing Jeno x Renjun.