x. Waiting

3.7K 438 47
                                    

    Ini sudah menit ke-84 Renjun menunggu.

Kakinya yang berbalut sepatu kanvas ia ketuk-ketukkan ke lantai dengan tidak sabaran. Sesekali maniknya melirik ke jendela, mengawasi suasana di luar restoran, berharap yang ditunggu akan datang.

“Sudah siap untuk memesan?” Pelayan dengan rambut bercepol yang memakai name tag bertuliskan Jane itu tersenyum saat menghampirinya.

Renjun membalas senyumnya dengan lemah seraya menggeleng pelan. “Nanti saja, Nona. Aku masih menunggu.”

Jane mengangguk kecil dan pergi meninggalkan meja Renjun. Pemuda manis itu dapat merasakan rasa iba sang pelayan kepadanya, membuatnya merasa semakin terpuruk.

Kemarin sore, Donghyuck, kekasihnya, mengajak Renjun bertemu di restoran ini. Namun seperti yang biasanya Donghyuck lakukan, pemuda berpostur tinggi itu akan selalu terlambat di setiap janji kencan mereka berdua.

Donghyuck itu sibuk. Begitu yang selalu Renjun pikir.

Namun apabila setiap saat selalu membatalkan janji, apakah memang sesibuk itu? Apakah wajar bagi Renjun untuk curiga?

Bahkan Jisung—adik Renjun—pernah mengatakan bahwa ia bertemu dengan Donghyuck di kafe pinggiran kota bersama seorang gadis yang cantik.

Renjun berusaha untuk mengabaikan itu. Tidak mungkin Donghyuck mengkhianatinya. Renjun percaya dengan Donghyuck.

Pemuda itu membuka fitur pesan, dan kembali mengirimkan runtutan kata yang menanyakan keberadaan Donghyuck.

Kau di mana?
21.16 Delivered

Donghyuck-ah.
21:17 Delivered

Renjun menghela nafasnya berat. Ia berusaha bersabar dan kembali meletakkan ponselnya di meja. Donghyuck pasti akan datang.

Irisnya bergerak menelisik suasana restoran. Dekorasi restoran itu telah berubah menjadi bernuansa romantis. Potongan-potongan gabus berbentuk hati ditempeli pada dinding restoran.

Begitupun pengunjungnya, pasangan-pasangan yang berniat merayakan hari kasih sayang, memenuhi seisi restoran.

Renjun semakin merasa terintimidasi. Ia merasa seperti sedang dibuang.

Pemuda Huang itu menunduk dengan sendu. Sesekali ia dapat mendengar bisikan para pengunjung yang merasa iba padanya.

Jujur saja, Renjun benci dikasihani.

'Kling'

Pintu restoran terbuka, sesosok pemuda bertubuh jangkung masuk ke dalam dan segera saja berjalan dengan cepat menuju pojok restoran, tempat Renjun terduduk sendirian.

“Hai, sayang. Maaf lama. Ibuku memintaku untuk mengantarnya belanja. Lain kali, kita harusnya merayakan di rumahku saja,” ucap sang pemuda yang baru masuk.

Mau tak mau, atensi pengunjung dan bahkan pelayan, sedikit teralihkan. Oh, jadi dia, yang ditunggu sedari tadi.

Tetapi tidak dengan Renjun. Maniknya membulat menatap sosok di hadapannya ini.

Pemuda itu begitu tampan. Rambutnya tersisir ke belakang dengan rapi. Kemejanya yang berwarna hitam begitu pas membalut tubuh kekarnya.

Definisi dari sempurna.

Masalahnya adalah,

Renjun tak mengenal pemuda itu.

Renjun mengerjapkan matanya menatap pemilik surai pirang di hadapannya itu.

Sang pemuda hanya tersenyum kecil dan berbisik,

“Ikuti saja. Namaku Lee Jeno. Aku tidak suka kau dibicarakan oleh para pengunjung begitu,” bisiknya pada Renjun

Huang Renjun mengangguk lamat-lamat. Baiklah, mari ikuti pemuda ini. Sesegera saja, ia memasang senyuman termanisnya.

“Tentu, sayang. Tidak apa-apa. Ayo kita pesan?”

Dan seketika seluruh tatapan iba itu berhenti, membuat Renjun merasa lega.

Tidak banyak percakapan mereka selain komentar-komentar Jeno tentang masakan di restoran itu atau sesekali lirikan mata Jeno yang akan diakhiri dengan senyuman kecilnya seraya menelisik wajah Renjun.

Hal itu membuat dada Renjun berdebar juga. Jeno sangat perhatian padanya. Ia bahkan membantu Renjun memotong steak-nya, mengetahui kesulitan pemuda Huang itu dalam menggunakan pisau.

Ia bahkan mengomeli Renjun saat ia akan memesan soda. Menurutnya, itu tidak sehat.

Perhatian-perhatian kecil yang tak pernah Renjun dapatkan dari Donghyuck itulah yang membuat dadanya menghangat.

Jadi begini rasanya dicintai?

Selepas makan malam, Jeno membayar semua makanan mereka, dan menggandeng tangan Renjun ke luar, tanpa memberi kesempatan Renjun untuk protes.

Renjun menunduk, merasakan pipinya memerah dengan lancang. Hatinya berbunga-bunga meliriki tautan jari itu.

Inikah rasa kencan yang sebenarnya?

“Hei,” panggil Jeno. Renjun menoleh.

“A-ada apa?”

Jeno menggaruk tengkuknya, nampak gugup. “Aku tahu, ini pasti kedengaran aneh, dan aku tahu ini pasti membuatmu tidak nyaman, tapi ...”

Renjun menautkan alisnya. “Tapi ...?”

“Bolehkah aku meminta nomormu, dan mengenalmu lebih dalam?”

Dengan gemetar, Renjun mengangguk cepat, tanpa mengatakan apapun.

Mereka berdua bertukar nomor dan Jeno memanggil serta membayarkan taksi untuk Renjun.

“Lain kali aku yang akan mengantarmu pulang,” ujarnya pada Renjun sebelum taksi itu berangkat.

Renjun tertawa gugup. “Lain kali kau harus, bercerita banyak padaku, banyak hal yang harus kau jelaskan,” balasnya.

Jeno tergelak. Ia paham, Renjun butuh penjelasan mengapa Jeno tiba-tiba muncul dan memutuskan untuk membantunya.

“Tentu. Lain kali. Sampai bertemu lain kali, Renjun-ah.”

Taksi itu pun berjalan memisahkan kedua anak Adam yang saling memasang senyum di wajahnya kendati sudah berpisah.

Kali ini, Renjun merasa senang akan janji Donghyuck yang terbatalkan.

Karena terbatalkan itu, ia dapat merasakan kencan yang sesungguhnya.

“Terima kasih, Donghyuck-ah,” ucapnya pelan sambil tersenyum.

• • • •

BOOK INI UP JUGA YA AKHIRNYA

BERI SAYA PENDAPAT KALIAN SOAL CERITA INI?

a Big Book of NorenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang