Sembilan

14.7K 1.5K 106
                                    

"Aku cuman mau menyenangkan Natasya doang, nggak bermaksud apa-apa." Rayhan mendesah gusar melihat tatapan Syeena yang tampak malas menerimanya bertamu. "Maaf kalau mengganggu waktu istirahat kamu."

Syeena mengedik. "Nggak masalah, Ray. Lagian juga di luar hujannya deras banget." Syeena memilih mengalah memersilakan Rayhan masuk ke rumahnya. Itupun atas ajakan Natasya yang memaksa.

"Om coba deh Tasya mau ngetes kepintaran Om." Natasya duduk lesehan di dekat kaki Bundanya membawa papan catur.

Syeena menghela napas, sedangkan Rayhan mengulum senyum geli dengan sebelah alis yang tertarik ke atas memerhatikan Natasya yang sedang menyusun bidak catur.

"Kamu suka main catur?" Rayhan ikut duduk lesehan di samping Natasya.

"Awalnya sih suka main dam-daman, Om. Tapi Bunda bilang main dam-daman nggak seru, seruan main caturnya langsung."

Rayhan melirik Syeena yang tersenyum penuh kelembutan sembari sesekali mengusap puncak kepala Natasya. Syeena memang pendiam dari dulu. Syeena hanya akan berbicara kalau dirinya atau Desti yang mengajaknya berbicara. Dan sekarang ternyata masih tetap sama. Syeena masih pendiam seperti dulu. "Bunda yang ajarkan?"

Natasya menggeleng. "Om Prakasa yang ajarkan." jawaban Natasya membuat hati Rayhan mencelus sakit. Entah kenapa, ia tak terima dengan kedekatan Natasya dan Prakasa itu.

"Kamu yakin nggak mau tidur?" suara Syeena membuat Rayhan mau tidak mau mengangkat kepalanya menatap Syeena lekat. "Sambil nunggu hujan reda, kamu bisa istirahat di kamar tamu yang di sana." Syeena menunjuk pintu yang tidak jauh dari tempat mereka duduk.

"Main dulu lah, Bun. Sekali putaran saja."

"Kamu kan mesti sekolah, Sya."

"Ya sudah kita main. Kebetulan Om juga suka banget main catur," pungkas Rayhan mengundang sorak gembira dari Natasya. Rayhan tidak bisa menyembunyikan semua rasa hangat yang melingkupi dadanya. Ia merasa Natasya adalah cintanya. Sama seperti Syeena. Apa mungkin dirinya saja yang terlalu berlebihan akan perasaannya.

"Ya sudah, Bunda ambilkan kue dulu sebentar." Syeena beranjak dari duduknya.

"Asyik dong kue kacang dikeluarin sama Bunda..."

Alis Rayhan saling bertaut menatap Natasya yang berbinar. Sungguh, tidak dipungkiri bahwa wajah Natasya begitu mirip dengan Syeena. Wajahnya persis seperti Syeena kecil waktu lalu. "Om juga kan suka kue kacang, kan?" tanya Natasya polos yang langsung ia angguki. 

"Suka banget malah," sahutnya menimpali kesenangan Natasya.

"Iya memang kalian suka. Suka banget ngabisin." kekehan geli lolos begitu saja dari bibirnya melihat Syeena yang menggerutu sambil berlalu ke dapur.

"Om."

"Hem?"

Rayhan menghentikan kegiatannya menatap Natasya lekat. "Kenapa?"

"Om jangan dekat-dekat sama Tante Desti. Tasya nggak suka." Sebelah alis Rayhan tertarik ke atas menatap Natasya.

"Tante Desti kan juga sahabatnya Bunda, Sya..."

Natasya menggeleng. "Tasya nggak suka, Om. Tante Desti itu tipe orang yang baik di luar, jahat di dalam."

Rayhan diam menatap lekat Natasya. "Kamu kok bisa mengambil kesimpulan secepat itu? Kam baru sekali bertemu."

"Justru pertemuan pertama itu penentu segalanya. Buktinya kalau sama Om, aku senang-senang saja."

"Jadi-" Rayhan menghentikan ucapannya saat melihat Syeena yang melangkah menuju ke arah mereka. Rayhan sangat tahu apa yang dimaksud Natasya. Dan dia perlu mencari kebenaran tentang semuanya. "Ayo mulai." Keduanya mulai fokus bermain mengabaikan Syeena yang hanya bertopang dagu menyaksikan permainan catur mereka.

***

Syeena bisa menyembunyikan perasaannya selama bertahun-tahun, tetapi kali ini Syeena tak bisa menyembunyikan perasaan yang terasa campur aduk dalam hatinya. Perasaan dimana haru itu bersatu dengan kesedihan. Ia merasa senang dengan kedekatan yang terjalin antara Rayhan dan juga Natasya, sisi lain ia merasa sedih karena menjadi egois memisahkan Ayah dan Anak itu.

Sudah menjelang pagi, tetapi Syeena tak kunjung menutup matanya. Ia masih setia mengusap sambil menatap putrinya. Berkali-kali Syeena mengatakan permohonan maaf lirih pada Natasya sesekali air matanya lolos setetes demi setetes. "Maafkan, Bunda..." Maaf atas segala kesakitan yang selama ini telah ia goreskan pada Natasya. Perlahan matanya mulai terpejam setelah beberapa kali mengecupi puncak kepala Natasya yang sedang tertidur begitu pulasnya.

***

"Bunda kamu ada?" Natasya mendongak mendengar suara wanita. Refleks ia mencebik menunujukan ketidak sukaannya pada wanita itu. "Bunda kamunya ada nggak, Tasya?"

Natasya membuang pandangannya. "Bunda! Ada Mak Lampir!"

Desti mengerutkan keningnya terkejut mendengar teriakan Natasya yang cukup memancing emosinya. "Kamu bilang apa?"

Natasya berdiri. "Mak Lampir. Tante nyeremin solanya," ucapnya kemudian menjulurkan lidahnya mengejek sebelum akhirnya berlalu dari hadapan Desti.

Desti menggeram, kedua tangannya mengepal kuat. "Anak sialan!"

Bukan Cinta BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang