Tujuh

17.4K 1.7K 174
                                    

Kening Syeena mengernyit melihat pakaian sekolah Natasya yang kotor. "Kamu habis ngapain? Kenapa bajunya kotor begini?" cecar Syeena sembari menghampiri Natasya.

Natasya mengangkat bahu ringan. "Tadi aku jatuh pas mau ke toko, Bun," jawabnya santai.

Syeena memeriksa tubuh bagian luar Natasya, dari kepala sampai ujung kaki. Syeena menghela napas lega setelah melihat tidak ada luka serius di tubuh putrinya. "Nanti kalau jalan hati-hati, untung cuma lecet."

Natasya mengangguk, berjalan menuju lantai dua. Sebenarnya, Natasya sedang dilanda cemas, takut ada yang datang dan mengadu pada bundanya.

"Kamu kelihatannya tegang banget, kenapa?" Syeena menatap Natasya yang gelagapan penuh selidik. Syeena semakin mendesak, "Kamu nggak berantem lagi, kan?"

Natasya menggeleng, mencoba semeyakinkan mungkin. "Aku sudah bilang jatuh. Kalau aku berantem, pasti bakalan ada yang datang seperti biasa."

Walau yakin Natasya menyembunyikan sesuatu, Syeena hanya mengembuskan napas pelan. "Ingat, kamu sudah janji sama Bunda, nggak berantem lagi. Jangan diingkari!"

Natasya berdeham pelan, memakan kue kacang yang ada di meja. "Bun."
"Hem?" Syeena sedang membuat cake pesanan dua hari yang lalu untuk acara ulang tahun.

"Tadi, sebelum berangkat sekolah, ketemu sama Om Rayhan."

Syeena berhenti sesaat, kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya. "Terus?"

"Waktu Tasya lihat Tante temennya Bunda, Tasya takut. Pas kepala Tasya diusap-usap gitu, makin takut. Senyumnya juga, Bun, aneh banget. Nggak enak dilihat."

Syeena menghentikan kegiatannya, kemudian berbalik menatap putrinya. "Dimana-mana, kalau orang senyum, ya enak dipandang dong. Mana ada senyum nggak enak dilihat?" Syeena terseyum menggeleng-geleng. Namun, dalam hati, Syeena membenarkan apa yang dikatakan putrinya. Dia pun merasa tak nyaman berada di dekat Desti, sikap yang ditunjukkan Desti padanya terkesan dipaksakan.

Natasya melepas kaos kakinya, mengangkat kaki ke sofa, menidurkan dirinya di sana. Natasya menguap lebar, matanya berkedip menghalau kantuk. "Tapi, Bun, menurut Tasya, senyuman Bunda paling indah. Nggak ada duanya. Apalagi kalau Bunda ketawa, Tasya senang banget lihatnya."

Syeena tersenyum menggeleng pelan, mencuci tangan, menghampiri putrinya, duduk di tepi sofa. Syeena menganjurkan tangan, merapikan rambut putrinya. "Anak bunda udah besar ya sekarang, bisa merayu Bunda." Tangan Syeena beralih menjawil hidung putrinya lalu memencetnya beberapa detik gemas. “Bisa juga menghindari omelan Bunda. Ayo bangun, terus pulang. Mandi, makan, tidur siang.”
Natasya memberengut, bangkit dari tidurnya. "Bunda tahu aja," cebiknya kemudian berdiri, memakai sepatunya asal.

Syeena tertawa kecil. Natasya menjadi pelebur ketegangan dari pertemuannya dengan Rayhan dan Desti tadi pagi. Senyum Syeena tetap bertahan sampai Natasya keluar dari toko. Syeena menghela napas lelah, kemudian melanjutkan menghias kue.

***

"Apa maksud kamu membicarakan hal yang nggak penting pada Syeena?" Rayhan mendesis,berusaha mengendalikan amarahnya.

"Apa?" Desti memasang wajah polos tanpa merasa bersalah. "Aku nggak ada maksud apa pun."

Rayhan menjambak rambutnya frustrasi. "Kamu jelas tahu, kalau pernikahan kita itu sangat sulit terjadi. "

Desti menatap Rayhan marah. "Aku nggak peduli, Ray. Yang jelas, kamu harus menikahi aku karena kamu yang telah merenggut kehormatanku."

Rayhan dibuat bungkam, matanya yang menyorot tajam perlahan meredup. Setiap kali mereka terlibat perdebatan seperti ini, Desti pasti akan mengingatkan kesalahan fatalnya di masa lalu. "Aku tahu itu perbuatan salah, dan aku akan bertanggung jawab, tapi nggak dalam waktu dekat." Rayhan melunakkan nada bicaranya, dia tidak ingin Desti mengungkitnya semakin dalam dan jauh.

Desti mengangkat tangannya, mengayun hingga membuat wajah Rayhan terlempar ke samping meninggalkan jejak merah.

"Berulang kali kamu bilang akan tanggung jawab, tapi sampai saat ini, mana?! Bahkan kamu keberatan menikahi aku!" bentak Desti menggebu.

Rayhan menatap sengit, mengusap pipinya. Amarah menggelegak dalam dadanya, tamparan Desti adalah hinaan baginya. Rayhan berjalan melewati Desti begitu saja, adu mulut dengan Desti hanya akan semakin memancing amarahnya. Dia tidak mau membuang-buang tenaganya meladeni Desti.

Desti menatap nanar punggung kokoh Rayhan yang menjauh. Tidak, Dia tidak akan membiarkan Rayhan pergi. Mengepalkan kedua tangannya, dia menggeram, "Harusnya mereka nggak bertemu." Seharusnya usaha yang dia lakukan tidak berakhir sia-sia, mengingat dirinya berjuang keras menutupi kebenaran tragedi malam itu. Desti juga sudah bersusah payah membuat Syeena menjauh, tanpa menunjukkan ketidaksukaannya.

"Aku hanya mau mempertahankan apa yang seharusnya menjadi milikku, Ray. Aku nggak mau kalian bersama, sementara kamu lebih dulu mencintaiku." Hatinya terasa sakit ketika Rayhan mengatakan bahwa hatinya sudah berubah mencintai Syeena. Rasa cintanya berubah menjadi obsesi untuk tetap memiliki Rayhan. Sekalipun Syeena dan Rayhan saling mencintai, dia akan menjadi penghalang untuk mereka. Mereka tidak akan pernah bisa bersama.

Dia akan menabur racun yang membuat Syeena kesakitan secara perlahan sampai memilih untuk pergi lagi. Desti menyeringai, tidak akan ada yang tahu betapa mematikannya racun yang akan dia sebar nanti.

Bukan Cinta BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang