Suasana begitu hening. Syeena menatap Desti yang wajahnya merah padam. Syeena tidak meragukan keberanian putrinya, tetapi Syeena juga tidak menyangka kalau putrinya bisa selantang itu mengatai Desti. "Aku minta maaf atas ucapan Tasya, Des."
Desti tersenyum tipis. "Nggak masalah, tapi jujur aku sangat nggak menyangka kalau kamu seburuk itu dalam mendidik anak kamu." Seketika Syeena menatap Desti dengan tatapan tak terbaca. "Aku tahu Natasya itu darah dagingnya Rayhan. Iya, kan? Aku juga tahu betul kejadian malam itu."
Syeena terdiam dengan tubuh yang menegang. Ia menatap Desti lekat, napasnya terasa pendek-pendek. "Ka-mu?"
"Aku nggak mungkin mengatakan semuanya di saat Rayhan mulai sadar kalau dia mencintai kamu."
Kali ini, Syeena tak bisa mengatakan apapun. Dia benar-benar terkejut. Lalu, mengapa Desti berpura-pura tidak tahu waktu pertama kali bertemu? Desti bahkan tidak mengatakan apapun pada Rayhan. Kalau memang benar sahabat, Desti pasti akan meluruskan semuanya.
"Aku juga tahu kamu mencintai Rayhan," ucapnya, "tapi maaf, Sye. Aku lebih dulu mencintai Rayhan daripada kamu." Desti mengangkat dagunya angkuh. "Jangan berharap kamu bisa menggunakan anak itu sebagai alat supaya kamu bisa merebut Rayhan dari aku."
Syeena terheyak menatap Desti yang bahkan air mukanya sudah berubah begitu datar. Syeena menggeleng pelan tak habis pikir dengan apa yang Desti katakan. "Aku nggak pernah mengatakan aku mencintai dia, Des. Aku juga nggak pernah bilang kalau aku akan menjadikan Tasya sebagai alat buat merebut Rayhan."
Desti berdecih sembari tersenyum sinis. "Palsu banget omongan kamu, Sye."
Syeena menggeleng tegas. "Aku nggak sepicik itu perlu kamu tahu, Des. Kalau memang Tasya aku jadikan alat, sudah dari dulu aku menuntut pertanggung jawaban dia, tapi mana? Aku bahkan nggak memberitahu dia tentang darahnya yang tumbuh dalam perutku."
"Kamu mencintai dia!"
Syeena mengangguk mantap. "Ya. Aku mencintainya, bahkan sangat amat mencintainya. Lalu, buat apa cinta itu kalau dia nggak mencintaiku?"
"Licik," desis Desti marah.
"Aku pergi jauh dari kalian karena aku nggak mau jadi orang ketiga di antara kalian. Aku bahkan nggak pernah berpikir buat kembali ke Jakarta hanya untuk sekedar bertemu kalian, tapi ternyata takdir berkata lain. Kita bertemu lagi, padahal aku sama sekali nggak mengharapkan pertemuan ini."
Hening. Tiba-tiba saja air mata Desti berderai. "Maaf. Aku cuman takut kalau aku kehilangan Rayhan setelah apa yang kami lakukan," isaknya pelan.
Tubuh Syeena seketika menegang, dadanya terasa dihunjam ribuan pedang. Sakit? Jangan tanyakan lagi, karena memang rasanya sangat amat sakit mendengar pengakuan itu. "Apa yang sudah kalian lakukan?"
Desti mendongak dengan linangan air mata menatap Syeena pedih. "Apalagi? Seperti yang kamu lakukan, tapi untungnya di sini nggak ada benih dia yang tumbuh sebelum waktunya."
Senyum miris tiba-tiba terbit dari bibirnya. Syeena menahan napas beberapa saat sebelum akhirnya berpindah tempat duduk di sebelah Desti, lalu merangkul Desti yang masih menangis. "Aku ngerti. Kamu nggak perlu khawatir, kamu nggak bakalan kehilangan Rayhan. Aku bisa jamin itu." hati Syeena bergetar pedih, tetapi sepertinya lebih pedih hati Desti yang takut kehilangan Rayhan. Tak apa. Dirinya sudah terbiasa dengan segala macam tempaan dari yang kecil hingga ke yang besar. Sedangkan Desti? Desti belum tentu sanggup menerima tempaan lain.
***
Kening Rayhan mengerut heran melihat Natasya yang tengah duduk di bawah pohon rindang sambil sesekali melempar batu ke danau. Rayhan kebetulan sedang ada kegiatan peninjauan lahan yang memang tidak ia sangka akan melihat Natasya. Kaki panjangnya melangkah mendekat pada Natasya.
"Kenapa nggak sekolah?"
Natasya menoleh ke arahnya yang berdiri di belakang Natasya, tatapan mereka saling bertemu. Rayhan terpaku. Tatapan itu... Manik hitam itu... Menatapnya sarat penuh kesakitan dihiasi air mata di pelupuk matanya.
Seketika Rayhan berjalan cepat kemudian mendudukan diri di samping Natasya. Merangkul Natasya masuk dalam dekapannya. Air mata Natasya mengundang denyut sakit dalam dadanya. Rayhan merasa sesak yang terasa menyiksanya.
"Kenapa menangis?" tidak ada nada ketegasan di sana. Hanya ada nada lembut dan tatapan sendu yang mewakili bahwa ia ikut merasakan sakit.
"Ayah..." Rayhan terpaku mengeratkan dekapannya. "Ayah..." Natasya mengulangnya menghantarkan ribuan hantaman ke relung hatinya. "Ayah..." Natasya semakin menangis menyembunyikan wajahnya. Rayhan menahan napas berusaha menahan sesak yang semakin menderanya. Tangisan pilu itu terdengar lelah dan hampir menyerah. Apa yang terjadi pada Natasya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Cinta Biasa
ChickLitSyeena berusaha menjadi orang tua tunggal yang baik. Namun, itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi, putrinya sering membuat ulah. Hingga Rayhan kembali mengusik hidupnya, mengorek masa lalu yang mati-matian disembunyikan Syeena.