#5

4.4K 518 125
                                    


"Mau apa anda mencegat saya, setelah tak bisa mendapatkan istri saya, anda malah ingin merusak keadaan yamg sudah tertata baik-baik saja, anda sudah berkeluarga, apa yang akan anda janjikan pada anak saya, apa anda akan mengorbankan istri anda demi masa lalu anda, anda datang tidak pada saat yang tepat, sendainya sejak awal anda ada di sisi anak saya, akan saya serahkan pada anda, pulanglah ke negara anda, jika anda ingin bertangung jawab pada Biru karena anda papanya silakan, anda akan bertanggung jawab secara dinansial saya terima, akan saya serahkan pada Livia, tapi jika anda berniat menikahi Livia maka tidak akan ada jalan untuk itu, jangan pernah ke sini lagi, tidak ada ruang bagi anda," Ananta menutup pintu mobilnya, sementara pintu pagar besar rumahnya telah ditutup oleh penjaga rumahnya.

Ananta melajukan mobil dengan wajah marah dan kesal.

Sekali lagi Victor menatap rumah besar itu, ia hanya ingin memeluk Biru, ia tahu ia salah tapi apakah salah jika sebagai papa ia ingin memeluk anaknya, anak yang tak pernah ia tahu keberadaannya.

Ia mengutuki kebodohannya, kecintaannya pada pekerjaannya yang berlebihan hingga mengabaikan hal yang penting, anaknya, darah dagingnya.

Besok ia akan kembali ke negara istrinya namun hatinya terasa tertinggal di Indonesia.

Wajah Biru, tatapan bening mata Biru seolah membuatnya enggan melangkah meninggalkan rumah besar itu.

Perlahan air mata Victor menggenangi matanya.

Ijinkan aku memeluk anakku, sekali saja, sekaliii saja...

****

Dua hari setelah kepergian Victor, Livia terlihat semakin diam dan murung. Ia tak banyak bicara, hanya merawat Biru seperti biasa.

Devi dan Ananta membiarkan Livia berjalan dengan pikirannya.

Hari ketiga Biru mulai mencari Adam, menangis dan sering terbangun saat malam.

Hari ke lima Biru terpaksa masuk rumah sakit, sulit makan dan selalu memanggil papa dan papa, Devi, Nanta dan Livia bergantian menggendong, mengingat ada selang infus di tangan Biru.

Livia menangis saat anaknya kembali mencari Adam.

"Bun, mas Adam ke mana?" tanya Livia pelan.

"Untuk apa kau mencari dia, dia bukan papanya Biru, bukan apa-apamu," sahut Devi.

Livia menunduk dan menangis lirih.

"Panggil laki-laki itu, suruh gendong anaknya, bukankah kamu lebih mengharap dia daripada Adam?" kembali Devi berbicara dengan ekspresi datar.

****

Sebulan sudah Adam menghilang, Ananta mencoba menghubunginya namun tak ada jawaban.

"Gimana sayang?" tanya Devi.

"Tak bisa aku hubungi, aku sudah menelpon ke rumahnya ah malah ibunya menangis sayang, ia bingung ke mana Adam," sahut Ananta.

"Kita harus menerima, jika Adam berusaha menyembuhkan rasa sakitnya, bayangkan ia menunggu sekian lama, setelah laki-laki keparat itu datang, hancur semua apa yang telah ia bangun," ujar Devi.

"Tapi masalahnya anak itu pergi ke mana?" tanya Ananta dengan wajah bingung.

"Aku yakin ia akan kembali, tapi entah kapan, ia masih menata hatinya," ujar Devi.

****

Livia menggendong Biru membawanya ke rumah Adam namun yang ia jumpai Bu Resti ibunda Adam yang menangis karena Adam yang tak berkabar padanya.

Ada penyesalan dalam diri Livia, ia telah menyakiti hati orang tua sebaik ibunda Adam.

****

"Ini kiriman dari siapa?" tanya Devi pada Ananta.

"Aku yakin dari laki-laki itu, lihat alamatnya," ujar Ananta.

"Bagaimana ini, kita berikan atau bagaimana?" tanya Devi lagi.

"Berikan saja, dari papa anak itukan, biarkan Livia berpikir, biar dia belajar dewasa, bisa membedakan mana yang memang kewajiban laki-laki itu, dan mana yang harus ia pertimbangkan lagi, masa dia jadi baper karena bingkisan, harusnya dia bisa berpikir lebih jernih," ujar Ananta.

Tak lama Biru ke luar dari kamarnya berjalan pelan dan menuju Ananta. Sedang Devi masuk ke kamarnya.

Ananta meraih Biru dan menggendongnya.

"Ikut kakek jalan-jalan ya sayang, ke depan yuk,"

Dan saat Ananta hendak ke luar pintu ia menemukan Adam yang berdiri di sana, dengan wajah tirus dan badan yang lebih kurua dari biasanya.

"Papaaaa," teriakan Biru membuat keduanya sadar dan Ananta membiarkan Biru memeluk leher Adam, sedangkan Adam merengkuh badan mungil itu.

"Dia mencarimu Dam, masuk rumah sakit juga karena sempat tidak mau makan," ujar Ananta.

"Masuklah,"

"Maafkan saya pak," sahut Adam lirih.
Keduanya duduk di kursi, tampak Biru yang terus mendekap Adam seolah takut terpisah lagi.

Livia yang baru ke luar dari kamarnya kaget saat melihat perubahan pada wajah dan badan Adam. Adam sama sekali tak melihatnya, ia asik memeluk dan menciumi Biru.

"Eh Adam ya Allah alhamdulillah, anak itu sakit saat kau tak ada Dam," ujar Devi yang baru ke luar dari kamarnya.

"Ini Livi kiriman laki-laki itu untuk Biru, maaf bunda membukanya tadi di kamar isinya mainan dan baju anak," ujar Devi memberikan barang-barang kiriman Victor pada Livia.

"Saya pamit dulu pak, bu, karena saya belum ke rumah, seelah dari Bandung saya langsung ke sini, sebenarnya saya ditawari kerja lebih lama bahkan saya diharap menetap di sana oleh teman saya, hanya saya kepikiran Biru dan ibu saya," ujar Adam.

"Yah pulanglah Dam, kasihan ibumu, ujar Devi.

Namun Biru tetap memeluk Adam bahkan menangis saat Adam pamit pulang. Terpaksa Adam kembali duduk dan menelpon pada ibumya dan berkabar bahwa ia sudah di rumah Ananta.

****

Setelah menidurkan Biru, Adam melangkah ke luar, di pintu Livia menahan lengan Adam.

"Mas ke mana saja, mengapa mas jadi begini, mas sakit?" tanya Livia menatap wajah Adam.

Adam melepaskan tangan Livia, dan berlalu sambil bergumam..

"Aku baik-baik saja," Adam berlalu dari hadapan Livia dengan ekspresi datar.

"Mas, mas Adam," Livia menatap punggung Adam yang menjauh.

"Aku juga akan melakukan hal yang sama jika dalam posisi Adam, hanya orang bodoh yang mau mencintai wanita yang mengacuhkannya, sudah berbuat banyak bahkan saat susahpun selalu ada di dekatnya, Adam orang baik, masih perjaka pula aku yakin ia akan menemukan orang baik di sampingnya, ada Fifi dan Nia yang masih single, mereka juga baik, dan dua-duanya menyukai Adam, hanya Adam saja yang bodoh mencintaimu yang telah memiliki anak," Devi yang tiba-tiba muncul mengagetkan sekaligus memukul telak dada Livia.

"Kau harusnya bersyukur dengan statusmu saat ini, ada laki-laki yang tulus mencintaimu, malah kau abaikan, jangan menyesal jika ia benar-benar menjauh darimu," Devi menekan kata-katanya sekali lagi dan berlalu dari hadapan Livia.

Mata Livia berkaca-kaca..

Bundaaaa...bundaaaa...bukannya aku menyia-nyiakannya, aku hanya bingung karena sejak awal memang hatiku telah dibawa oleh laki-laki itu..apa jadinya jika pernikahan kami tanpa cinta...

Dan Livia menangis terduduk di depan pintu kamarnya.

****

2 Oktober '19 (13.06)

Mohon maaf banget, lanjut di dreame ya 🙏🙏🙏

MENGGAPAI MIMPI (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang