Tak ada satupun kenangan baik yang bisa dibanggakan Kala saat berada di panti asuhan sepuluh tahun silam. Hari-harinya penuh dengan jadwal yang sudah diatur sedemikian rupa oleh para pengurus. Makanan yang terbatas, terpaksa dibagi agar semua anak mendapat jatah yang sama. Tak ada pakaian baru, kecuali hasil hibahan orang-orang dermawan yang datang tanpa jadwal. Bukannya Kala tak bersyukur, tapi dia benar-benar ingin seperti anak normal lainnya. Memiliki kedua orangtua dan kehidupan yang layak. Bukannya terbuang dan harus hidup tak jelas, menanti bantuan dari orang asing.
Air mata Kala menetes, bukan karena perih di telapak tangannya akibat menggenggam pecahan kaca selagi mengumpulkannya satu persatu. Sesungguhnya ia takut, kalau tiba-tiba ayahnya berubah pikiran dan membuangnya ke jalanan. Daripada kembali menjadi sebatang kara, Kala lebih memilih disiksa seperti ini. Tak apa sedikit berjuang, mematikan hati dan rasa asalkan masih tercatat sebagai anak yang memiliki keluarga. Kala tak kuasa lagi menahan cemoohan dari teman-temannya semasa sekolah dulu, karena menyandang status yatim piatu.
Kedua tangan Kala penuh oleh pecahan kaca yang tadi berserakan di lantai. Perlahan dia bangkit, berjalan membuang pecahan-pecahan bening itu ke tempat sampah tak jauh dari tempatnya. Sedetik kemudian, ia beralih ke wastafel, mendorong keran air dengan punggung tangannya. Gemericik air mengalir membasahi tangan Kala, mengalirkan darah yang tak lama hilang ke dalam saluran pembuangan.
Kala menghempaskan tubuhnya ke atas kursi yang menghadap jendela. Ponselnya yang sedari tadi berada di dalam saku celana bergetar halus.
Dada Kala yang tadi terasa sesak, tiba-tiba berangsur tenang ketika membaca nama Drew tertera di layar ponselnya. Sepertinya, lelaki itu memiliki indera keenam sehingga bisa mengetahui perasaan Kala meski mereka sedang tidak berada di ruangan yang sama. Tak hanya sekali dua kali Drew seperti ini.
Dari balik jendela dapur, Kala bisa melihat Drew juga sedang melakukan hal yang sama. Hanya saja, dia tidak sadar Kala sedang mengamatinya. Wajah Drew terlihat gusar sambil terus memegang ponselnya. Tak lama kemudian, Kala melihat ibu Drew datang menghampiri, membawakannya secangkir minuman yang bisa Kala tebak isinya cokelat hangat. Favorit Drew.
Wanita setengah baya itu mengusap puncak kepala Drew sebelum akhirnya duduk di salah satu kursi.
"Tuhan, seandainya aku boleh menawar, bolehkah aku memiliki seorang ibu di dunia ini?" isak Kala dengan tatapan kosong. Sementara ponselnya terus bergetar halus di atas meja.
Tiba-tiba terbersit dalam kepala Kala sebuah pertanyaan yang selama ini tak pernah hadir. "Gimana kalau Ibu masih ada di dunia ini? Gimana kalau ternyata Ibu juga sedang mencariku?"
Kepala Kala mulai dipenuhi berbagai macam pertanyaan serupa. Cepat-cepat ia bangkit dari kursi, setengah berlari menuju kamar ayahnya. Namun, sesampainya di depan pintu yang catnya mulai pudar itu, Kala justru membeku sesaat. Tangannya terulur ke arah kenop, kemudian didorongnya pintu itu hingga terbuka lebar. Aroma pengap dan memusingkan khas minuman keras menyeruak ke dalam hidungnya. Kala berjengit dan spontan menutup hidungnya dengan satu tangan.
Kamar ayahnya nyaris terlihat seperti baru saja diterjang badai. Hampir semua barangnya tergeletak tak keruan. Kala tak pernah sekalipun masuk ke ruangan itu karena ayahnya tak pernah mengizinkan. Namun, justru itu yang sekarang menguatkan Kala untuk menerobos masuk. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan ayahnya di dalam sana.
Pandangan Kala tertuju pada lemari tua di sudut ruangan. Satu pintunya setengah terbuka. Gadis itu berjalan perlahan melangkahi botol-botol kosong minuman keras yang bertebaran di lantai. Satu tangannya terulur membuka sisi pintu lemari. Di dalamnya hanya ada tumpukan pakaian ayahnya yang amburadul. Kala membongkar tumpukan itu satu persatu. Tak ada apapun di sana.
Matanya beralih ke sisi lain lemari itu. Kala membuka pintunya yang berderit. Bau khas lemari tua menguar. Isinya masih sama. Tumpukan pakaian yang tampaknya tak pernah lagi digunakan oleh ayahnya. Dengan hati-hati, Kala membuka satu persatu tumpukan itu hingga akhirnya dia menemukan sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet but Psycho
RomansaMenikah dengan orang yang dikenal saja butuh waktu yang tidak sebentar untuk memantapkan hati, apalagi menikah dengan orang asing yang hobinya mabuk-mabukan dan berjudi! Alasan itu cukup membuat Kala mantap lari dan kabur dari rumah meninggalkan Pra...