Cap 1

4K 313 12
                                    

'Apakah mencintai dalam keraguan bisa dikatakan dengan setia?'

Menjalin kasih dengannya lebih dari empat tahun ini aku masih belum mengerti bagaimana tentang perasaannya terhadapku. Dia tidak pernah sekali pun marah padaku ataupun mencurigaiku, dia tidak pernah cemburu padaku atau melarangku saat aku dekat dengan wanita lain.

Benarkah dia mencintaiku?

Dia baik, dia sangat pengertian dan dia selalu tersenyum saat bersamaku, bahkan aku tidak pernah sekalipun mendapatinya marah padaku, sebaliknya dia selalu tersenyum dan memaafkan jika aku membuat sebuah kesalahan.

Saat bersamanya aku selalu menjadi pria yang egois, aku selalu mencemburuinya setiap saat. Bahkan saat aku mencemburuinya, dia hanya berkata 'terimakasih' sambil tertawa senang.

Aku bingung dengan maksudnya, aku tak mengerti jalan pikirannya. Kadang aku merasa dia terlalu baik, namun tak jarang aku selalu berpikir jika dia tidak sungguh-sunggu mencintaiku.

Akhir-akhir ini aku sedang mencoba menjaga jarak dengannya, aku selalu menyibukan diri dengan kegiatan club basket di kampus dan aku juga lebih sering hangout dengan beberapa teman perempuan. Aku ingin membuatnya marah dan cemburu, tapi sampai saat ini aku masih belum mendapatinya memarahiku ataupun cemburu, sebaliknya akhir-akhir ini aku lebih sering melihatnya bersama dengan Dave—sahabatku.

Aku benar-benar frustasi dengan hubungan ini, semakin hari rasa percayaku padanya semakin goyah, tapi sampai saat ini aku masih sangat mencintainya. Mencintai dia yang ada di hadapanku saat ini.

"Raka, kamu melamun?"

"Ada apa?" tanyaku dengan nada tak bersemangat. Aku lelah sekali karena baru saja selesai latihan basket.

"Hari ini kamu ada waktu untukku kan?"

"Aku kangen kamu," lanjutnya sambil tersenyum.

Kamu selalu seperti ini, tidak adakah emosimu yang bisa kamu luapkan padaku? Aku sudah mengabaikanmu bahkan tidak memedulikanmu beberapa minggu ini, tapi kamu masih saja memasang ekspersi seperti itu. Tersenyum seolah-olah tidak ada yang terjadi, seolah semua baik-baik saja, batinku kesal.

"Hari ini aku sudah ada janji dengan mereka," ucapku sambil melirik teman-teman satu timku, mereka sedang bersenda gurau dengan beberapa gadis yang mengidolakan kami.

"Dengan gadis-gadis itu juga?" tanyanya melirik kearah tatapanku.

"Hemm, aku akan pergi dengan mereka. Kamu nggak akan marah dan melarangku kan?"

Aku menatapnya dengan intens, apa dia akan marah?

"Sepertinya asik, apa aku boleh ikut?" tanyanya sambil tersenyum senang.

Dia!

"Kalau aku bilang kamu nggak boleh ikut apa kamu akan melarangku?" jawabku dengan sedikit penekanan.

Dia menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan, namun tak lama ada senyum menghiasi bibirnya. Dia menggelang sambil berkata.

"Aku nggak akan melarang kamu pergi dengan teman-temanmu, kan kamu punya hak privasi buat pergi dengan siapa pun." Ucapannya membuat hatiku sesak.

Kamu juga punya hak untuk melarangku pergi, bukankah aku ini milikmu! Batinku berteriak.

"Kalau begitu aku melarangmu ikut, karena aku nggak mau kamu mengganggu privasiku!" ucapku sarkastik lalu meninggalkannya tanpa peduli lagi terhadap ekspresinya, toh akan sama saja, dia tidak akan marah.

Ck, sampai kapan kamu akan bersikap seperti itu, Kasih?

●●●●●

'Apakah mencintai hanya dengan bermodalkan rasa percaya bisa dibilang setia?'

Dia kembali mengabaikanku....

Entah mengapa akhir-akhir ini sikapnya berubah, sepertinya dia selalu menghindariku. Sudah empat tahun aku menjalin hubungan dengannya sebagai kekasih, selama ini kami baik-baik saja, namun entah mengapa beberapa bulan belakangan sikapnya aneh.

Apa aku membuat kesalahan?

Aku hanya bisa menatap nanar punggung berlalunya, sejujurnya ada yang ingin kuceritakan padanya. Kesibukannya membuatku susah untuk berkomunikasi secara langsung.

Jadi apa yang harus aku lakukan? Kapan aku bisa mengatakannya. Haruskah kukatakan atau kusimpan sendirin? Tapi aku butuh dia disampingku saat ini.

Apakah aku jahat dengan membiarkan atau memaksa dia tetap berada disisiku? Sejujurnya dia bisa mencari gadis yang lebih baik dariku, mencari gadis yang sehat dan bisa memberikan kebahagiaan lebih, bukan seperti aku yang akan memberinya rasa kecewa. Tapi, apakah aku sanggup melihatnya bersama wanita lain?

Aku mencintainya, sangat-sangat mencintainya dan kurasa aku tidak akan bisa merelakannya.

"Kok melamun?"

"Dave! Kamu mengagetkanku," ucapku pada Dave yang tiba-tiba saja menepuk pundaku dari belakang.

"Hehe, maaf...."

"Sendirian? Mana Raka?"

"Dia ada janji dengan teman-teman satu tim-nya."

"Akhir-akhir ini aku jarang sekali melihatmu bersama dengannya. Kalian baik-baik saja?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Baguslah, aku kira kalian sedang bertengkar."

"Raka itu beruntung ya punya pacar yang nggak pernah melarangnya untuk berteman atau dekat dengan siapa saja," ucap Dave.

"Maksudnya?" tanyaku.

"Iya, kamu itu terlalu baik. Coba aku tanya, apa kamu pernah melarangnya dekat dengan seseorang terutama perempuan? Nggak pernah kan, makanya itu aku bilang kamu terlalu baik. Bagaimana kalau Raka selingkuh, bagaimana kalau dia memanfaatkan kebaikanmu?"

"Dave, kamu ini sahabatnya atau bukan sih?" tanyaku heran dan dia tertawa terbahak-bahak.

"Ahh, kamu ini diajak berandai-andai aja nggak bisa."

"Kita berdua kan tahu bagaimana pribadi Raka. Dia nggak akan mungkin seperti itu dan lagi aku percaya padanya."

"Kamu yakin banget kalau dia setia, kamu dapet keyakinan dari mana sih?"

"Dari empat tahun berhubungan dengannya."

Dave tersenyum. "Makanya itu aku bilang kamu itu terlalu baik, bahkan aku belum pernah melihat kamu sekalipun marah padanya."

"Habis nggak ada yang bisa membuatku marah, dia selalu membuatku bahagia. Dari rasa cemburu yang dia perlihatkan secara terang-terangan aku bisa tahu kalau dia sangat mencintaiku, makanya itu aku hanya bisa membalas perasaannya dengan mempercayainya."

"Kamu ini...andai semua perempuan berpikir sesimpel kamu maka berbahagialah kaum adam yang ada di muka bumi ini," ujar Dave. Aku tertawa dibuatnya.

Tak berselang lama tiba-tiba saja rasa sakit itu kembali menghantam kepalaku. Rasa nyerinya membuatku sedikit merintih.

"Kasih, kamu kenapa?" Aku menggelang menjawabnya.

"Kamu pucat, kamu sakit?" Dia memegang bahuku untuk berjaga-jaga siapa tahu saja aku akan luruh.

"Aku nggak papa, hanya pusing dan sedikit kelelahan. Kurasa sebaiknya aku pulang dan istirahat dirumah," ujarku.

"Kalau begitu aku yang antar."

"Tapi, bagaimana dengan jadwal kelasmu?"

"Nggak masalah sudah selesai...."

Aku tersenyum dan mengangguk. Aku pun diantarnya pulang menggunakan motornya.

●●●●●

Coppyright2019_by.RennySande

Untuk cerita ini aku langsung kasih bab 1, karena memang gak ada Prolog. Cerita ini termasuk golongan Novlet yang panjang bab-nya gak lebih dari 20 bab. Dan setiap bab-nya gak lebih dari 1000 word.

Oke jangan lupa vote & comment ya, dukungan kalian penting buatku, karena dari dukungan kalian aku jadi punya semangat lebih buat update cepat ;)

Dan jangan lupa follow aku ya, agar setiap kali aku update cerita kalian akan langsung dapat notifikasi-nya ^^

See u soon *kiss

Kasih SetiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang