Cap 3

2.1K 262 13
                                    

Hati yang mencintai pasti masih memiliki pengharapan, meski harapan itu adalah harapan semu. Hanya orang tegar yang bisa melewatinya tanpa perlu lagi menoleh kebelakang.

Dua minggu sudah hubungan kami berakhir dan semenjak saat itu aku belum pernah sekalipun bertemu lagi dengannya, aku sempat dengar kabar bahwa dia sudah seminggu ini absen. Sempat tersirat rasa khawatir, namun ketika mengingat bagaimana ekspresinya saat menuduhku berhianat membuatku sangat kesal.

"Sudah dengar belum, gosip terhangat?"

Dua orang perempuan yang duduk di belakangku sedang berbisik dan mulai bergosip. Sejujurnya aku tak ingin mendengarnya, namun saat nama Kasih disebut-sebut kedua telingaku pun setia terbuka lebar untuk mendengarkan.

"Kamu tahu Kasih kan?"

"Mahasiswi dari jurusan hukum itu?"

"Iya, katanya dia hamil."

DEG!

"Ehh, Kasih yang anaknya terlihat baik itu? Bukannya dia anak yang ramah dan juga baik hati, dia juga berprestasi kan...kok bisa?"

Kasih...dia hamil?

"Kamu tahu dari mana?"

"Katanya ada beberapa orang yang melihat dia muntah-muntah di toilet, terus kabarnya hari ini dia mengajukan cuti kuliah. Aku rasa dia akan menikah dan ingin menyembunyikan kehamilannya untuk sementara."

Menikah, jadi dia akan menikah dengan Dave. Ternyata benar, selama ini mereka....

"Brengsek!" Umpatanku membuat seisi kelas dan kedua gadis itu terperanjat menatapku.

"Kamu punya masalah dengan kelas saya?" Dosen yang mengajar kelas hari ini merasa tersinggung dengan ucapanku.

"Kalau kamu punya masalah dengan materi saya kamu bisa keluar sekarang!"

Aku tak menjawah ucapan dosen itu, dengan kekesalan yang berada di ujung tanduk aku pun meninggalakan kelasku pagi ini. Pikiranku kacau sekacau-kacaunya saat mendengar kabar tersebut.

Di persimpangan lorong tak sengaja aku berpapasan dengannya, dengan dia yang sudah dua minggu ini tak kulihat keberadaannya. Dia menatapku begitupun aku.

Rambutnya...dia memotongnya, batinku.

Dia tersenyum padaku seolah-olah semua baik-baik saja, sial!

"Hai," dia pun menyapaku.

"Kudengar kamu cuti kuliah," ucapku begitu saja.

Dia sempat terkejut, tapi tetap mengangguk. "Kenapa?"

"Apa untuk menutupi aibmu?" Lanjutku.

Keningnya tampak berkerut. "Aku nggak mengerti—"

"Oh, jadi ini alasannya, sekarang aku mengerti...," sergahku.

"Tapi aku nggak habis pikir kenapa aku yang harus disalahkan?"

"Berhianat ck...sekarang sudah terbukti siapa sebenarnya yang berhianat," dengusku mengejek.

"Kalian memang pandai menyimpan rahasia, tapi pada akhirnya aib itu pasti akan tercium juga. Aku nggak tahu harus berkata apa lagi, kalau begitu selamat untuk pernikahanmu dengan Dave, kudoakan semoga kalian bahagia dan calon anak kalian akan sehat selalu."

Dia memandangku dengan mata berkaca-kaca, tak ada satupun kalimat yang terucap dari bibir pucatnya. Bahkan aku sempat-sempatnya berharap dia akan mengatakan kata 'maaf', kurasa aku terlalu berharap. Sial!

Tuhan apakah ini sudah benar-benar berakhir?

"Selamat tinggal, Kasih...."

Aku meninggalkannya dan terus berjalan tanpa mau menoleh kebelakang karena terlalu berat untuk kembali mengharapkannya. Kurasa ini benar-benar telah berakhir.

Kasih SetiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang