–Mengeluh
Sudah beberapa hari yang lalu pikiran meminta untuk istirahat bahkan kerap menemukan bahwa tubuhku sudah cukup ingin sedikit tenang. Tak tanggung, beberapa hari yang lalu menerima banyak sekali ujian bukan ujian tertulis tapi ini memang ujian hidup.
Sudah beberapa hari yang lalu pula, merapatkan kedua tangan dan mengangkatnya ke udara lalu menutup mata dan menangis tanpa suara. Hampir mengeluh.
Tapi, lagi-lagi seolah semuanya memang Tuhan rencanakan demikian. Ujian itu bukannya selesai malah bertambah. Setiap kali melangkah menuju rumah, rasanya ada sebilah rantai melilit pergelangan kaki sampai melangkah pun berat rasanya. Sampai tertidur pun rasanya masih diberi banyak beban.
Tiap kali sehabis berbenah siap tidur dan merapikan beberapa buku, mata ini memanas. Bahkan sampai menangis tanpa suara. Meredamnya dengan lagu-lagu galau.
"Kenapa bisa sampai seberat ini?" Tak sesegukkan tapi pertanyaan itu seolah bukan pertanyaan melainkan pernyataan. Tulisan rancu tak terbaca tertulis dalam sebuah buku tanpa judul. Tak ada yang tahu keadaanku selain Tuhan juga diriku. Pasalnya malam sudah hampir tengah dan semua lampu rumah sudah sebagian dipadamkan.
Keadaan perih ini kadang usai dengan sendiri. Kadang pula dengan keberanian dalam diri untuk terus maju melawannya. Tapi, tak semudah tulisan ini. Rasanya bahkan lebih pahit dari racun dan lebih perih dari patah hati. Benar-benar tengah diuji.
Ada banyak jenis manusia di muka bumi ini. Salah keduanya, ada yang memberi dorongan ke depan ketika tahu masalah ini. Ada pula yang tetap memberi dorongan namun ke belakang.
Di bagian ini yang menurutku paling melelahkan. Karena kadang dua jenis manusia itu berada dalam lingkar kedekatan diriku dengan mereka. Kadang menimbulkan perselisihan dengan pikiranku sendiri, lelah dengan sebab ini malah semakih membuatku terjatuh.
Ujian ini malah semakin membuatku terjatuh dan jauh. Dua jenis manusia itu malah didominasi orang-orang yang mendorongku ke belakang. Pengkhianatan terjadi dengan mulus tanpa kuketahui. Hatiku teriris oleh benang kehidupan yang tajamnya melebihi sebilah belati.
Tapi, segenap seluruh dunia dan isinya tak pernah sekali pun melarang setiap manusia untuk bersedih bahkan beristirahat. Setiap kepala butuh didinginkan oleh keheningan. Tapi, dengan cara yang benar. Dengan cara baik tanpa merusak apa pun yang akan terjadi.
Dengan kejadian ini pula, meski rasa sakitnya belum sampai hilang sepenuhnya. Tapi, Tuhan punya sesuatu di balik semuanya. Dia punya rencana yang tak kita ketahui seperti apa, yang jelas seharusnya kejadian ini menjadikan kita lebih dewasa bukan semakin terjatuh.
Kalimat singkat itu, malah membuatku tertampar dan dihempaskan lalu berhamburan entah ke mana. Aku merasa hampa. Antara harus seperti apa atau harus bagaimana, yang jelas. Setelah kalimat singkat itu kubaca, aku malah bangkit. Kusebutkan, meski rasa sakit itu masih ada. Tapi, ingat sebuah berlian akan bersinar melewati cara menyakitkan. Digosoknya hingga mengkilap.
Lalu, akhirnya inilah aku. Seorang manusia yang bisa berdiri dengan kakinya sendiri dan pikirannya yang tak banyak diketahui orang lain. Intan berlian yang sedang digosok.
Tuan rumah
KAMU SEDANG MEMBACA
Pintu ; Seri "Rumah"
Short StorySelamat datang. Senang bisa menyambut seseorang yang membuka pintu ini. Peraturan dibutuhkan dalam setiap pintu, yang salah satunya; keheningan. Terharu bisa menjadi bagian dari keheningan itu sendiri. Semoga Pintu-Pintu ini membawamu pada apa ya...