Prolog

471 31 4
                                    

Cowok yang sedang menyenderkan tubuhnya ke tembok kelas itu terlihat memejamkan matanya. Nampak santai, dengan memasukan ke dua tangannya ke sisi kantong celana. Padahal hatinya sedang bergejolak, otaknya pun sedang berpikir keras.

"Lo pergi ya, pergi aja. Gue nggak pernah meminta lo buat terus sama gue, kok. Lo bebas memilih milyaran cowok di dunia ini, nggak akan ada yang larang. Pacaran sama gue simple, gue nggak mau ngekang." Katanya setelah menyadari kehadiran seseorang yang berjalan menuju ke arahnya. Dari suara sepatunya saja sudah ia tebak siapa orangnya.

"Enam bulan ini bukan waktu yang sedikit. Kita sama-sama membangun komitmen untuk saling percaya dan kamu malah kayak gini. Egois banget tau ga!"

"Terus gue harus gimana? Lo maunya gue ngekang lo buat nggak jalan sama cowok lain? Gue sadar diri, gue belum bisa menetap di satu hati."

"Jahat!"

"Gue jujur, karena gue pikir kalau gue terus berbohong sama perasaan gue sendiri. Nantinya lo bakal lebih sakit setelah tau kenyataannya."

"Ya terus ini apa? Kamu pikir ini nggak sakit?"

"Cinta nggak bisa dipaksakan."

"Tapi kamu memaksakan kehendak, buat terus deket aku, sementara hati kamu buat orang lain. Kamu tau, gara-gara hal ini, aku jadi lupa caranya mencintai orang lain."

"Lupain aja, kita masih remaja. Lo bisa cari orang yang memang bener-bener cinta sama lo."

Tanpa kata yang lagi terucap, cowok itu pergi meninggalkannya, meninggalkan sejuta luka menganga lebar di hatinya. Mungkin, akan cukup lama untuk mengobatinya.

KandiasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang