8. RINDU

2.3K 90 5
                                    

Aku bahagia mendengar kabar kehamilan kedua Mel, sekaligus sedih dan iri. Melihat perutnya yang semakin hari semakin bertambah besar untuk kedua kalinya, membuatku kian merasa tak berguna sebagai perempuan.

Aku takut kehilangan cinta Mas Aji lagi. Seperti dulu, waktu Mel mengandung Kanara. Tak hentinya dia bercerita tentang calon buah hatinya. Meski senang mendengar kabar baik tersebut, nyatanya hati kecil tetap terasa sakit. Tak berdarah, tetapi cukup membuat getaran benci di hati semakin menjadi. Aku tak suka perasaan itu.

Erik, pria yang dulu pernah menjadi tetanggaku, sekarang sudah menjadi dokter. Dia berhasil mewujudkan cita-cita yang pernah diucapkan pada almarhumah Si Mbah. Masih teringat ketika dia berpamitan.

"Aku akan merindukan kamu dan Si Mbah." Sedikit berbisik Erik mengucapkan kalimat terakhirnya.

Bukan rindu sebagai sepasang kekasih, karena aku masih terlalu kecil waktu itu. Kebersamaan kami yang sudah lama terjalin membuat perpisahan tersebut menjadi sangat tidak menyenangkan. Kami enggan berpisah.

Dia mengajariku banyak hal, termasuk cara agar tetap tegar meski anak lain mencemooh dengan mengatakan aku anak haram.

Terduduk aku di pojok mushola dengan menekuk kedua kaki di depan dada. Saat itu juga Erik mendekat. Menawarkan gula-gula dan mengajak pulang dengan mengendarai sepedanya. Kembali aku bisa mengukir senyum di sepanjang perjalanan pulang.

Kami melewati banyak kenangan manis bersama. Tertawa juga berbagi kesedihan. Caranya menuntun mengenal agama yang membuatku terinspirasi untuk tetap bisa tabah meski hidup tanpa kasih kedua orang tua.

Aku senang begitu mendengar kabar pernikahan yang dia tulis melalui surat yang dilampiri undangan. Jarak yang jauh menjadi kendala untukku bisa datang memenuhi permintaannya. Hanya bisa mengucapkan selamat melalui surat balasan yang terkirim untuknya melalui pos. Selanjutnya setiap lebaran kami saling mengirim kartu pos bergambar masjid sebagai ucapan halal bi halal.

Sering Si Mbah menanyakan kabar temanku itu. Beliau juga berpesan agar tak memutus silaturahmi dengannya.

Namun, post card terhenti setelah Erik menikah. Aku pun tak pernah lagi mencoba mengirim surat padanya. Sementara nomor telepon dan akun lain, kami tak pernah membahas itu. Erik lebih suka tetap mengirim kabar melalui surat. Lebih terasa sensasinya setiap kali harus menunggu balasan, itu yang dia bilang.

Sempat terlintas di benak, mungkin istrinya tak suka dengan apa yang kami lakukan. Bisa jadi cemburu atau entah kenapa.

Sejak saat itu tak pernah lagi kudengar kabar tentang Erik. Sekarang tiba-tiba dia ada di Malang dengan gelar dokternya. Aku senang. Cita-citanya untuk bisa menyelamatkan nyawa banyak orang akhirnya menjadi kenyataan.

~o0o~

Siang itu aku kembali menemani Mas Aji dan Mel untuk memeriksa kandungan. Pernah sekali waktu menawarkan Mel untuk tinggal denganku saja. Toh, di rumahnya, dia sendirian dengan asistennya saja. Tetapi, ditolak. Sama halnya dengan Mas Aji yang tak mengijinkan.

Di rumah sakit yang sama di mana Erik praktik. Rencananya kami akan memilih dokter perempuan untuk menangani Melati, sesuai permintaan ibu Kanara.

Tepat saat menyusuri lorong yang menuju poli, kami bertemu dengan Erik dan seorang dokter wanita cantik berpenampilan feminin. Semua berhenti dan saling bertegur sapa, Erik menanyakan kabar kandungan Mel, cukup lama mereka membahas kehamilan wanita bertubuh kurus itu. Pada pertemuan kali ini Mas Aji tampak lebih akrab dengan sahabatku. Bicara lebih banyak mengenai kondisi istri keduanya.

Dokter wanita yang bersama Erik, namanya Airin. Salah satu dokter spesialis kandungan di rumah sakit. Cantik dengan usia yang masih muda. Tampak begitu akrab dengan temanku itu. Obrolannya sangat renyah, tak formal sama sekali. Sempat aku berpikiran yang tidak-tidak pada Erik. Dia sudah punya istri, tetapi masih juga tebar pesona pada wanita lain yang jauh lebih muda darinya. Ah, dasar lelaki.

Istri Kedua SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang