BAGIAN 6

1.2K 52 0
                                    

Jarum-jarum beracun meluncur deras bagai hujan ke arah Kakek Tangan Seribu dan Pandan Wangi. Mereeka berlompatan menghindari serangan gelap itu. Pandan Wangi langsung mencabut kipas saktinya, lalu menyampok jarum-jarum beracun hingga berguguran di tanah.
Kakek Tangan Seribu merapatkan kedua telapak'tangannya di depan dada, kemudian tubuhnya berputarandi udara. Seketika kedua tangannya mendorong ke depan setelah kakinya menjejak tanah. Seleret sinar merah meluncur dari telapak tangan lelaki Itu. Ledakan keras terdengar bersamaan dengan hancurnya sebatang pohon ara besar.
Hampir bersamaan, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan merah melenting ke udara, lalu meluruk turun dan menjejak tanah. Tampak seorang perempuan tua berdiri sekitar empat depa jauhnya di depan kakek dan cucu itu. Perempuan tua itu mengenakan jubah longgar berwarna merah menyala. Wajahnya penuh keriput. Seluruh giginya hitam saat menyeringai. Matanya merah menatap tajam Pandan Wangi.
"Nenek Jubah Merah...," desis Kakek Tangan Seribu.
"Hik hik hik..., orang lain boleh tertipu ke Bukit Setan. Tapi aku tidak! Bocah manis, serahkan Kitab Naga Sewu, atau kau kukirim ke neraka!" suara Nenek Jubah Merah kecil, tapi melengking tinggi.
"Kitab itu telah direbut Pendekar Rajawali Sakti. Dia sekarang ada di puncak Bukit Setan mencari Pedang Naga Geni," sahut Pandan Wangi dingin.
"Bangsat! Kau akan mempermainkan aku, heh?!" geram Nenek Jubah Merah.
"Kalau tak percaya, ya sudah!"
"Tidak ada yang percaya dengan omonganmu bocah edan!"
"Kalau aku edan, mengapa kau percaya kalau aku menyimpan kitab itu? Sama saja kau juga gila!"
"Kurang ajar! Lancang benar mulutmu! Biar robek mulutmu supaya lebih besar!"
"Silakan kalau kau mampu."
"Modar!"
Nenek Jubah Merah langsung mengebutkan tangannya. Seketika jarum-jarum beracun meluncur deras ke arah Pandan Wangi. Gadis itu mengibaskan kipas saktinya, maka jarum-jarum itu rontok sebelum mencapai sasaran.
Melihat jarum-jarum beracunnya dengan mudah dapat dirontokkan, Nenek Jubah Merah langsung menjadi makin geram. Mendadak tubuhnya melenting ke udara, lalu meluruk ke arah Pandan Wangi, atau Kipas Maut Memang, dengan kipas baja sakti berada di tangan, Pandan Wangi bagaikan singa betina siap mencabut nyawa.
Dengan jurus-jurus pendek dan berbahaya, Nenek Jubah Merah merangsek Pandan Wangi. Pertarungan berlangsung sengit dan cepat. Pandan Wangi yang telah mendapat gemblengan dari Pendekar Rajawa Sakti selama tiga hari, kini makin kelihatan gesit gerakannya. Gadis ini kini menampakkan kemajua yang amat pesat. Jurus- jurusnya tampak lebih mantap dan berbahaya.
Lima jurus berlalu dengan cepat Dan Nenek Jubah Merah semakin geram karena belum juga dapat menjamah tubuh gadis belia ini. Sungguh tidak diduga kalau Kipas Maut yang masih muda itu mampu menandinginya lebih dari  lima  jurus.  Sementara  itu  Kakek  Tangan  Seribu nampak tercengang melihat kemajuan jurus-jurus Kipas Maut yang amat pesat dalam waktu singkat.
Triing!
Pada jurus ke sepuluh, Nenek Jubah Merah tidak dapat lagi menahan amarahnya. Dikeluarkannya sebilah tongkat pendek yang masing-masing ujungnya runcing. Dengan senjatanya ini iblis itu jadi semakin garang dengan jurus-jurusnya yang berbahaya. Begitu cepat dia bergerak, sehingga yang tampak hanyalah bayangan merah berkelebatan mengurung Pandan Wangi. Beberapa kali dua senjata beradu keras menimbulkan pijaran bunga api.
Memasuki jurus ke lima belas, tampak Pandan Wangi mulai terdesak. Jurus-jurus Nenek Jubah Merah semakin cepat dan beberapa kali hampir menemui sasaran. Pandan Wangi semakin kewalahan menerima serangan-serangan nenek iblis ini. Ketika tongkat Nenek Jubah Merah menusuk ke arah dada, Pandan Wangi mengibaskan kipas mautnya.
Cring!
Pandan Wangi merasakan tangannya bergetar hebat, dan jari-jari tangannya menjadi kaku. Belum sempat melakukan gerakan lain, mendadak kaki Nenek Jubah Merah melayang cepat. Buk! Pandan Wangi mengeluh pendek. Perutnya telak kena sambaran kaki Nenek Jubah Merah. Gadis itu terjajar ke belakang.
"Hiya...!"
Nenek Jubah Merah berteriak nyaring. Secepat kilat ditusukkan tongkatnya ke arah dada Pandan Wangi. Pada saat yang genting itu, mendadak secercah sinar keperakan berkelebat cepat.
Trak!
"Setan!" dengus Nenek Jubah Merah geram. Buru-buru ditarik senjatanya kembali.
"Mundur, Pandan!" bentak Kakek Tangan Seribu yang ternyata telah melontarkan bintang perak untuk menggagalkan serangan Nenek Jubah Merah. "Kakek...!" Pandan Wangi ingin membantah.
"Mundur, kataku!" bentak Kakek Tangan Seribu. Pandan Wangi melangkah mundur. Diselipkan kembali kipas mautnya ke balik ikat pinggang. Dari pergelangan sampai  ujung jari tangannya masih terasa nyeri dan kaku. Tenaga dalam Nenek Jubah Merah memang jauh lebih tinggi. Tidak heran kalau Pandan Wangi kalah dalam adu tenaga dalam. Masih untung senjatanya tidak terlepas.
Kini dua tokoh saling berhadap-hadapan. Mereka saling pandang dengan tajam, seolah saling mengukur kepandaian masing-masing lewat sorot mata. Kakek Tangan Seribu menggeser kaki kanannya. Sedangkan nenek iblis itu mengimbangi dengan menggerak-gerakkan tongkat pendeknya melintang di depan dada. Suasana tegang menyelimuti tepian hulu Sungai Banyu Biru. Mendadak, hampir bersamaan mereka berteriak nyaring dan melompat saling menerjang.
"Hiya...!" "Hiya...!"
Kakek Tangan Seribu dan Nenek Jubah Merah sama- sama di udara. Kakek Tangan Seribu menggerakkan kedua tangannya dengan cepat, lalu mendorong kuat-kuat ke depan. Nenek Jubah Merah" melintangkan tongkat pendeknya ke depan. Pada satu titik, mereka bertemu di udara. Ledakan keras terjada memekakkan telinga.
Tampak dua tubuh terpental jatuh ke tanah. Kakek Tangan Seribu segera bangkit berdiri setelah bergulingan di tanah berbatu. Sedangkan Nenek Jubah Merah juga sudah berdiri tegak. Tampak di sudut bibir masing-masing merembes darah segar. Rupanya kekuatan ilmu tenaga dalam mereka seimbang.
Perempuan iblis, terima jurus 'Tangan Seribu' I ku!" dengus Kakek Tangan Seribu.
Secepat kilat Kakek Tangan Seribu merangsek dengan jurus 'Tangan Seribu'. Satu jurus tangan kosong yang memiliki kekuatan dahsyat. Pukulan dan kibasan tangannya mengandung hawa dingin membekukan tulang. Jangankan tubuh manusia, batu cadas sekali pun bisa hancur jika terkena pukulannya. Sementara itu Nenek Jubah Merah melayani dengan jurus 'Bayangan Merah'. Jurus itu tidak kalah dahsyatnya, apalagi di tangan Nenek Jubah Merah tergenggam senjata. Gerakan tangan, kaki, dan tubuhnya sangat cepat, sehingga yang terlihat hanya kelebatan bayangan merah saja.
Meskipun Kakek Tangan Seribu tidak menggunakan senjata, tapi gerakan tangannya sangat cepat, dan mampu menandingi jurus  'Bayangan Merah'.  Seolah-olah tangan kakek tua itu jadi seribu jumlahnya. Berkelebatan mengurung  tubuh  Nenek  Jubah  Merah  yang  bergerak cepat, seakan juga mengurung Kakek Tangan Seribu.
"Lihat  kaki!"  tiba-tiba Nenek Jubah Merah berseru keras.
"Uts!" Kakek Tangan Seribu langsung melompat begitu tongkat Nenek Jubah Merah menyambar ke arah kaki. Belum lagi Kakek Tangan Seribu menjejakkan kaki di tanah, secepat kilat tangan kiri Nenek Jubah Merah menyodok ke depan. Kakek Tangan Seribu mengibas-kan tangannya melindungi dada dari sodokan yang cepat dan tiba-tiba itu.
Trak!
Dua tangan beradu keras. Saat Nenek Jubah Merah menarik  tangan kirinya pulang, dengan cepat Kakek Tangan Seribu melayangkan kakinya menyampok ke arah pinggang. Nenek Jubah Merah berkelit mundur satu langkah. Kaki kanan Kakek Tangan Seribu melayang menghantam ruang kosong perut perempuan itu.
Pada saat jarak mereka agak merenggang, tiba tiba Nenek Jubah Merah mengibaskan tangannya dengan cepat.
Wut!
Jarum-jarum beracun meluncur deras ke arah Kakek Tangan Seribu. Tentu saja dalam jarak yang demikian dekat dan disertai dengan gerakan yang tidak terduga-duga itu, membuat kakek itu jadi kelabakan. Dia berlompatan di udara, tapi....
"Akh!"
Kakek Tangan Seribu tidak dapat menghindari beberapa jarum beracun. Tiga jarum menancap di pundak kiri, dua di perut, dan satu lagi tepat menancap di kening. Kakek Tangan Seribu jadi limbung.
"Setan...!" geram Kakek Tangan Seribu. Sebelum tubuhnya ambruk mendadak ia mengebutkan tangannya dengan cepat.
Sinar-snar keperakan bertebaran, meluncur deras ke arah Nenek Jubah Merah. Kakek Tangan Seribu melontarkan bintang peraknya sambil berlompatan dengan sisa-sisa kekuatannya.
Nenek Jubah Merah pun juga berlompatan mengibaskan tongkat pendek, menyampok bintang-bintang perak yang mencecar tubuhnya bagai hujan. Jarak antara dua tokoh itu makin dekat saja. Sementara bintang perak terus bertebaran mengurung Nenek Jubah Merah dari segala arah.
"Hiya...!"  seketika Kakek Tangan Seribu berteriak nyaring. Bersamaan dengan itu, tubuhnya meluncur menerjang Nenek Jubah Merah. Tentu saja perempuan tua itu menjadi kaget setengah mati melihat kenekatan lawannya. Tidak ada pilihan lain lagi, kecuali mendorong ujung tongkatnya ke depan. Crab!
Tongkat Nenek Jubah Merah menancap dalam, tepat di jantung Kakek Tangan Seribu. Darah segera muncrat keluar. Namun, sebelum menemui ajal, kakek tua itu sempat melontarkan bintang peraknya beberapa kali. Melihat hal itu, Nenek Jubah Merah yang tongkatnya masih tertanam di dada Kakek Tangan Seribu, menjadi terkejut.
Buru-buru dilepaskan genggaman  pada tongkatnya, lalu melenting menghindari bintang-bintang perak. Tapi terlambat. Satu bintang perak menancap dalam di bagian paha kiri.
"Akh!" Nenek Jubah Merah memekik tertahan. Begitu tubuh Nenek Jubah Merah meluncur jatuh, dengan cepat Pandan Wangi melenting sambil mengibaskan kipasnya ke arah leher Nenek Jubah Merah.
"Akh!"  kembali  Nenek Jubah Merah memekik. Nenek Jubah Merah memang tidak mungkin lagi mengelak. Tanpa ampun lagi lehernya terbabat ujung kipas Pandan Wangi. Dia jatuh bergulingan di  tanah. Darah mengucur deras dari leher yang koyak lebar. Hanya sebentar perempuan tua berhati iblis itu kelonjotan, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi.
"Kakek...!" seru Pandan Wangi. Segera gadis itu berlari menubruk kakeknya yang menggeletak dengan beberapa jarum tertanam dl tubuhnya. Tongkat pendek Nenek Jubah Merah masih tertanam dalam di dadanya. Kakek Tangan Seribu diam tak bergerak lagi. Nyawa satu-satunya telah melayang, bersamaan dengan terlontarnya bintang bintang perak dari balik lengan bajunya.
"Kakek...,"  rintih Pandan Wangi sambil memeluk tubuh kakeknya.
Pandan Wangi tak kuasa lagi menahan air mata yang meluncur deras membasahi pipi yang putih kemerahan. Bibir yang merah alami bergetar menyebut-nyebut nama kakeknya. Pandan Wangi membopong tubuh kurus tua yang telah menjadi mayat. Langkahnya lesu meninggalkan tepian Sungai Banyu Biru.
Sambil membopong tubuh kakeknya, Pandan Wangi melangkah pelan menuju pondok yang tidak jauh dari hulu Sungai Banyu Biru. Air matanya terus mengalir bagai anak sungai. Pandan Wangi terus melangkah memasuki rumah kecil  itu,  kemudian meletakkan tubuh  laki-laki tua yang telah menjadi mayat itu di dipan. Sebentar dipandanginya orang yang telah menjadi payung dan tiang utama kehidupannya.
"Maafkan Pandan, Kek," rintihnya lirih. "Pandan janji tidak akan membuat ulah lagi Pandan akan menjadi pendekar pilih tanding, dan memberantas segala macam kejahatan."
Pandan Wangi berlutut di depan mayat kakeknya.
Kemudian dia berdiri dan melangkah mundur. Matanya basah bersimbah air mata, menatap sayu tubuh kurus yang terbujur di dipan kayu. Pandan Wangi terus melangkah mundur sampai ke luar pondok.
"Selamat jalan, Kek. Hanya aku yang bisa melaksanakan keinginanmu," bisik Pandan Wangi lirih.
Tangannya bergetar mengambil obor yang tertanam di depan  pondok. Sebentar dia berdiri mematung memandangi ke dalam pondok yang terbuka pintunya. Dengan hati berat, gadis itu melemparkan obor ke atap rumah. Dilaksanakan pesan kakeknya agar membakar pondok ini beserta mayatnya. Pandan Wangi mundur beberapa langkah ketika api makin besar melahap pondok itu. Bunyi kayu terbakar meletup, menambah kepedihan hati gadis itu. Api terus merambat melahap kayu-kayu pondok. Letupan-letupannya memercikkan bunga-bunga api yang membumbung tinggi ke angkasa. "Kakek...," rintih Pandan Wangi.

***

Bukit Setan tampak angker menjulang menantang langit. Seluruh permukaannya ditumbuhi pohon-pohon besar dan kecil yang rapat. Sulit untuk mencapai puncak bukit yang penuh oleh pepohonan dan batu-batuan yang besar, membentuk lembah dan jurang-jurang terjal. Keadaan yang sulit dijamah ini, menjadi tidak mengherankan kalau penduduk Desa Banyu Biru yang berada dekat bukit itu enggan untuk memasukinya.
Sebenarnya bukit ini tidak seseram seperti namanya. Bukit ini tampak begitu indah dan sejuk udaranya Mungkin karena memiliki banyak jurang dan lembah yang dalam serta pepohonan yang rapat, sehingga tampak menyeramkan. Belum lagi batu-batuan yang mudah gugur dan lumpur-lumpur hidup yang siap memangsa apa saja yang masuk ke dalamnya.
Rangga yang sudah mencapai puncak Bukit Setan itu, berdiri mematung memandangi sekitarnya. Tampak di sebelah Timur, Desa Banyu Biru terlihat indah dengan sungainya yang meliuk-liuk melingkari lereng bukit.
"Hm, di mana letak goa yang didiami pertapa itu?" tanya Rangga dalam hari.
Kembali matanya beredar ke sekeliling. Yang tampak hanya pepohonan dan batu-batuan. Sedikit pun tak nampak tanda-tanda kalau di puncak Bukit Setan ini pernah terjadi kehidupan. Bahkan, sepertinya binatang pun enggan hidup di sini. Sejak tadi Rangga tidak menemukan seekor cacing pun di puncak bukit ini. Benar-benar senyap dan mati suasananya.
Ketika Pendekar Rajawali Sakti itu dalam kebingungan, mendadak telinganya yang tajam mendengar suara mencurigakan dari arah Barat. Rangga segera mengarahkan pandangannya ke sana. Tampak gerumbul semak bergoyang-goyang seperti terlanda sesuatu yang berjalan mendaki puncak bukit ini.
"Hup!"
Seketika Pendekar Rajawali Sakti itu melenting tinggi ke angkasa. Sedikit kakinya menjejak ranting pohon, lalu melenting lebih tinggi lagi. Sampai pada tempat yang paling tinggi di pohon besar, Rangga duduk mengawasi keadaan di bawahnya. Matanya yang tajam bagai mata elang, langsung melihat empat orang sedang berjalan merambah semak belukar menuju puncak.
Rangga kenal betul terhadap empat orang itu. Mereka adalah Empat Setan Jagal. Golok mereka berkelebatan menebas semak yang menghalangi langkah mereka. Rangga  segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Seorang tokoh sakti sekali pun, masih cukup sulit untuk mengetahui keberadaannya kalau dia sudah mengerahkan ilmu ini.
Sementara itu Empat Setan Jagal telah mencapai puncak. Mereka berhenti tepat di bawah pohon, tempat Pendekar Rajawali Sakti bertengger di atasnya. Bagi Pendekar Rajawali Sakti, tidak terlalu sulit menangkap pembicaraan mereka. Lebih-lebih setelah ia mengerahkan ilmu pemecah suara dan pembeda gerak.
"Huh! Gara-gara Kipas Maut, kita yang sulit jadinya," dengus Jagal Merah.
"Iya. Kalau saja tidak ada Pendekar Rajawali Sakti, telah kutebas leher gadis liar itu!" sambung Jagal Biru.
"He he he..., paling-paling kau nikmati dulu tubuhnya," olok Jagal Kuning.
"Bukan aku, tapi kita!" rungut Jagal Biru.
Ketiga jagal itu tertawa gelak, kecuali Jagal Hitam. Dia berdiri tegak menatap ke arah Desa Banyu Biru. Mulutnya terkatup rapat, menampakkan wajah tegang.
Tawa ketiga jagal berhenti saat melihat Jagal Hitam tidak berkedip memandang ke arah Desa Banyu Biru Memang, dari tempat itu mereka bisa memandang dengan jelas ke arah desa dan lereng.
"Apa yang kau pikirkan, Jagal Hitam?" tanya Jagal Merah.
"Hm...," Jagal Hitam hanya menggumam tidak jelas. Jagal Merah mengarahkan pandangannya pula ke sana. Keningnya berkerut begitu melihat titik merah bergerak ke arah yang sama. Wajah mereka langsung menegang melihat titik merah yang kini makin nyata menjadi sebuah bayangan yang bergerak cepat seperti melayang dari puncak pohon yang satu ke puncak pohon yang lain.
"Aku tidak mengerti, mengapa mereka jadi beralih ke Bukit Setan?" Jagal Hitam bergumam seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Pendekar Rajawali Sakti telah menyebar kabar kalau kitab dan pedang pusaka itu ada di sini," jawab Jagal Kuning.
"Gila! Dari mana kau tahu?" dengus Jagal Hitam.
"Semua orang telah tahu. Hampir setiap hari Desa Banyu Biru menjadi ajang pertarungan orang-orang yang mencari benda pusaka itu," sahut Jagal Kuning.
"Phuih! Bukit Setan bakal jadi ajang pertarungan!" dengus Jagal Hitam geram.
'Tempat pembantaian tokoh-tokoh sakti rimba persilatan," sambung Jagal Biru.
"Mau tidak mau, kita harus mempertahankan tempat ini," kata Jagal Merah.
"Mustahil. Kita tidak mungkin bisa menghadapi mereka," sahut Jagal Hitam yang menyadari kalau yang akan dihadapi mereka adalah tokoh-tokoh sakti berkemampuan tinggi.
"Lantas, apa tindakan kita?" tanya Jagal Kuning.
"Biarkan mereka saling bunuh di sini. Aku tidak peduli tempat ini akan banjir darah dan mayat," sahut Jagal Hitam.
Sementara itu bayangan merah yang bergerak cepat mendaki bukit sudah semakin jelas terlihat. Jagal Hitam mengedarkan pandangannya ke sekeliling, lalu memberi isyarat agar yang lainnya bersembunyi di balik sebuah batu besar tidak jauh dari tempat ini. Bergegas mereka berlompatan ke arah yang ditunjuk Jagal Hitam.
Sedangkan Rangga yang menyaksikan sejak tadi di atas pohon, hanya tersenyum tipis. Rencananya sudah kelihatan berjalan. Dia juga sudah melihat bayangan merah semakin mendekati puncak Bukit Setan. Rangga tersenyum ketika mengenali bayangan merah yang ternyata adalah wanita cantik yang ditemuinya di  kedai Wanita yang berjuluk Pisau Terbang, dan yang telah membunuh Iblis Kembar Hitam. Rupanya Pisau Terbang tertarik juga dengan kabar tentang adanya Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni di Bukit Setan.
"Sayang, cantik-cantik serakah," gumam Rangga dalam hati.

***

7. Pendekar Rajawali Sakti : Pertarungan Di Bukit SetanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang