Bab 3

12 4 0
                                    

Mereka dapat menghabiskan sepiring rumput dan jari-jemari kakek-kakek. Anak-anak yang manis bermain seperti Katak, Anak Sapi, Kudanil, Kecoak, Kelabang, berkumpul di kubangan berlumpur—dan beberapa lainnya yang rakus permen karet, terlalu hambar untuk diperdebatkan—dan Indra menemukan Irfan duduk di atas kaleng biskuit. Nanti ayahnya akan marah jika terlalu lama bermain dan membiarkan kegembiraan itu melonjak tinggi, tetapi jangan dipikirkan; lambang tak mudah goyah menjadi suatu proses kegembiraan. Posisi duduk anak itu di undakan tangga besi berkarat, memang ada pilar-pilar bertengger tidak jauh dua meter melengkung ke atas dan Dewa Langit akan marah kemudian berkata; jangan kaudekati dia, jangan kautampar dia, demikian Indra berkhayal. Intuisi yang mengejutkan, dan itu tidak hanya untuk Profesor, Anak SMP sudah banyak seperti itu.

Langkahnya sudah cukup pantas, dan keyakinan itu berada di posisi terdepan, ideal dan eskalasi kepercayaan diri meningkat walau hanya satu tarikan napas sesudah keriangan itu tercemar di batok kepalanya. Dia bertanya pada Irfan, ''Kapan kamu pulang?'' dan Irfan menjawab, ''Setengah jam lagi.'' Kemudian Irfan mengenalkan satu persatu teman barunya pada sang kakak—tentu saja ada ingatan tentang kakek Beni yang sudah mengajarkan tema persahabatan pada mereka—dan paman Jack juga sudah memberikan pengajaran yang bagus; tetapi unsur kekuatan insting itu kurang tepat ketika lelaki itu berkata. "Hari gini, jangan berteman sama orang yang tak punya uang." Keheningan menyeruak dan tinggal pada kenangan busuk, tetapi itu cukup penuh dan mendadak menyurut ketika paman melanjutkan. "Kalau kamu berteman dengan orang yang tidak punya uang, mau dibawa ke mana penis kecilmu nanti."

Irfan melihat teman barunya yang bernama Danil sebagai impian setan-setan di neraka—terlalu canggung—dan bahkan kebijakan menyeruak di bulu kelaminnya; rambut keriting dengan wajah serupa tutup termos dan diduga minum susu setelah kencing dan kesulitan memutar kenop pintu. Danil tinggal di Blok B di Perumahan terbaik di Cijantung dan pertimbangan mereka untuk mendaftarkan diri sebagai member Crossfire Next Generation, sudah cukup tepat—dan terlalu dekat. Kalau sarapan pagi dengan suasana hati runyam, banyak perebutan hak individual tak penting seperti satu gelas susu yang harus ditaburi gula dua sendok teh dan telur dadar dengan kecap selagi digoreng. Tak masalah, pikir Irfan setelah mendengar kisah kehidupan teman barunya—dan Danil sungguh menyukai sikap persetujuan anak itu. Anak-anak dapat bertindak semaunya dan berteriak, ''Permen Karet rasa jeruk jika dimakan di atas tanah perkuburan akan menjadi rasa mayat.''

Hantaman udara seperti apa yang Indra terima jika dia tidak membawa adiknya segera pulang ke rumah, dan sungguh, Irfan sudah meyakini bahwa itu bagian kisah di Hari Paling Buruk. Ini masih pukul sepuluh pagi dan Danil akan kembali siang nanti, sebaliknya Irfan menyukai kebiasaan teman barunya, jika salah satu dari mereka pulang ke rumah terlalu cepat, akan ada tindakan menyeluruh dengan sedikit penekanan kata 'ANAK PENAKUT' dan Indra tidak menyukai sebutan itu, secara kebetulan.

"Kita akan ke toko roti," Dani mengajak dan itu suatu ambisi memecah kebosanan.

"Untuk apa pergi ke toko roti? Aku juga tidak bawa uang." Irfan memiliki uang cukup banyak dan itu disimpan di bawah ranjang di toples plastik.

"Lebih baik kita pulang saja, Fan." Indra menegaskan cukup lembut yang menunjukkan gaya bicara cukup santun.

"Jangan dulu!" seru Danil. "Toko roti yang akan kita datangi ini, bukan toko biasa yang kalian pikir."

Semuanya akan tampak jelas selama keadaan menjadi lebih baik. Satu alasan, dua pertimbangan, tiga tanda tanya dan empat keriangan untuk memaksakan langkah-langkah itu menjadi paling terdepan dan akhirnya mereka pergi ke tempat yang tidak direstui Tuhan.

DELIVERYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang