BAGIAN 3

1.2K 64 1
                                    

Suasana kota Kadipaten Karang Asem tampak begitu tenang dan lengang. Udara malam yang terasa sejuk oleh hembusan angin lembut, seperti ikut menyiratkan kedamaian. Rangga atau si Pendekar Rajawali Sakti pun benar-benar menikmati suasana di keheningan malam bersama Pandan Wangi. Sudah dua hari ini mereka tinggal di sebuah penginapan yang cukup besar.
"Seharusnya kau memesan dua kamar, Kakang," kata
Pandan Wangi agak ketus.
Rangga hanya diam saja membisu sambil matanya menatap ke luar dari jendela yang terbuka lebar. Sudah dua hari ini Pandan Wangi  selalu  menggerutu kesal lantaran Rangga hanya memesan satu kamar untuk mereka berdua. Rangga bisa memaklumi kalau gadis itu merasa risih berada dalam satu kamar bersama pemuda yang hanya sahabat saja. Tapi Rangga punya alasan tersendiri memesan satu kamar untuk mereka berdua.
"Tidak mungkin, Pandan," kata Rangga begitu telinganya mendengar gerutuan Pandan Wangi yang tidak berhenti. Tapi tatapan Pendekar Rajawali Sakti itu tetap tidak berpaling dari jendela yang terbuka lebar.
"Kenapa tidak mungkin? Bukankah bekal kita cukup untuk memesan dua kamar?" sergah Pandan Wangi bernada kesal.
"Memang...," desah Rangga agak acuh. Dia tetap tidak memalingkan mukanya. Matanya tetap menatap keramaian yang mulai nampak di luar sana. Keramaian yang jarang dia nikmati di malam hari, kalau tidak kebetulan berada pada suatu kota.
"Lalu, kenapa kau hanya menyewa satu kamar?"
"Karena aku sudah mengatakan kalau kau istriku pada pemilik penginapan ini," sahut Rangga kalem sambil mengulum senyum di bibirnya.
"Edan!" dengus Pandan Wangi.
"Ingat, Pandan. Kita datang ke sini dengan satu tujuan. Dan aku belum mau menarik perhatian orang," Rangga berusaha menjelaskan.
"Aku tidak mengerti maksudmu?"
"Kita datang berdua. Kalau menyewa dua kamar, tentu bisa menarik perhatian orang. Aku tidak mau kita menemui kesulitan sebelum tahu maksud Panglima Lohgender mencariku. Kau harus mengerti, Pandan. Toh, kita tidak melakukan apa-apa di sini, kan?"
"Tapi, kau kan bisa mengaku aku ini adikmu, atau apa saja yang lain asal jangan itu!" sergah Pandan Wangi tetap tidak setuju dengan alasan Rangga.
"Mungkin itu bisa kulakukan kalau keadaannya lain." "Lain bagaimana?"
"Aku bisa mengaku kau sebagai adik kalau sudah tahu alasan Panglima Lohgender mencariku. Sedangkan sampai saat ini, kita belum tahu apa-apa. Apakah dia itu lawan atau kawan? Aku hanya bermaksud untuk menjaga segala kemungkinan saja."
"Kalau cuma itu alasanmu, aku bisa menjaga diri!"
"Aku percaya, apalagi kau sekarang sudah menguasai Pedang Naga Geni dan Ilmu Naga Sewu yang dahsyat. Kau bukan lagi gadis lemah yang selalu minta dilindungi."
"Ah, sudahlah!" tukas Pandan Wangi. Dia sadar kalau tidak akan bisa menang berdebat dengan pemuda itu. "Sekarang, apa rencanamu selanjutnya?" suara Pandan Wangi mulai melembut.
"Menyelidiki kadipaten." sahut Rangga. "Bukankah Kakang sudah lakukan itu semalam?"
"Semalam aku hanya melihat-lihat  dari luarnya saja. Penjagaan di sana kelihatannya sangat ketat. Prajurit- prajurit Kerajaan Limbangan tampaknya sudah mulai berdatangan ke Kadipaten Karang Asem ini," kata Rangga memberitahu.
"Mungkin...."
"Ssst...'" Rangga memotong ucapan Pandan Wangi cepat-cepat sambil  menyilangkan jarinya di sudut bibir gadis itu.
Pandan Wangi langsung terdiam. Matanya mendelik merasakan ujung jari telunjuk Rangga menyentuh bibirnya. Segera dia menarik kepalanya ke belakang. Mendadak saja jantungnya jadi berdebar keras.  Entah apa yang tengah dirasakannya saat ini.
"Kau di sini saja, tutup jendela setelah aku ke luar," kata Rangga berbisik pelan.
Pandan Wangi belum sempat lagi membuka mulut, tiba-tiba saja tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu sudah mencelat ke luar meloncati jendela. Dengan masih diliputi tanda tanya, gadis itu segera menutup jendela setelah mengamati keadaan di luar sebentar. Dia mencoba mengerahkan pendengarannya dengan tajam, tapi tidak terdengar apa-apa, selain suara percakapan orang-orang yang ramai di luar penginapan ini.
Sementara itu, Rangga yang tadi sempat mendengar sekilas suara mencurigakan di atas atap, langsung melompat naik ke atas kamar penginapannya. Matanya yang setajam mata rajawali, menangkap sesosok bayangan hitam berkelebat cepat dari satu atap ke atap rumah lainnya. Rangga segera mengikutinya dari jarak yang cukup jauh.
Tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu bergerak ringan bagai kapas tertiup angin. Melenting indah mengikuti jejak si bayangan hitam itu. Sesaat kening Rangga berkerut, begitu melihat bayangan hitam itu arahnya menuju ke rumah kediaman Adipati Karang Asem. Rangga langsung melentingkan tubuhnya ke sebuah pohon yang besar dan rimbun ketika  bayangan hitam itu berhenti di sebuah pohon dekat tembok kadipaten. Orang yang mengenakan baju serba hitam itu sepertinya tengah mengamati keadaan.
"Hm..., siapa orang itu? Apa maksudnya dia berada di dekat benteng kadipaten?" gumam Rangga dalam hati. Matanya tajam memperhatikan bayangan hitam yang
tengah diincarnya.
Orang berbaju hitam itu melenting lagi melewati tembok benteng kadipaten yang tinggi dan kokoh. Rangga segera melompat mengikuti dengan gerakan yang ringan tak bersuara. Sesosok tubuh yang dikuntit itu lalu menyelinap ke tembok rumah, kemudian mengendap-endap mendekati sebuah jendela. Tampaknya cahaya pelita membias ke luar begitu jendela dibuka. Dengan satu gerakan ringan, sosok tubuh berbaju hitam itu meloncat masuk ke dalam. Rangga segera mendekat.
"Kamar tidur...," bisik Rangga dalam hati.
Dari sebuah celah kecil, dia bisa melihat keadaan kamar. Tampak orang yang berpakaian hitam itu menghadap ke arahnya. Tapi tubuhnya membelakangi pelita, sehingga agak sulit dikenali wajahnya. Rangga mengalihkan perhatiannya pada seseorang yang duduk membelakangi.
"Hm..., aku harus menggunakan ilmu  pembeda gerak dan suara," gumam Rangga dalam hati.

8. Pendekar Rajawali Sakti : Iblis Wajah SeribuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang