Senyum manis pada akhirnya muncul di bibir ranum milik Ara, saat Calvin mengatakan hal yang sangat dinanti-nantikannya. Kedua matanya masih berkaca-kaca menahan rasa sesak, rasa yang merupakan perpaduan antara senang, bahagia, dan rasa sedih yang menjadi satu. Tak ingin lagi membuang-buang waktu, segera saja Ara berjalan ke arah Calvin untuk memeluk pria jakung itu erat.
"Ayo besok kita menikah,"
"Ara.." Ayahnya yang sedari tadi menonton kelakuan anak dan calon menantunya itu hanya bisa mengelus dadanya pelan. Kelakuan putrinya kali ini memang benar-benar di luar prediksi.
"Iya Pa, Ara bercanda kok. Minggu depan aja gakpapa nikahnya." dengan senyuman lebar yang dibuat tanpa dosa sama sekali, Ara menatap pada Ayahnya yang hanya bisa menghela napas pelan.
"Calvin, Om serahkan Ara sama kamu. Jangan pernah membuat putri Om menangis, atau kamu akan tau akibatnya."
Calvin yang mendengar wejangan dari calon Ayah mertuanya hanya bisa mengangguk pelan dengan ekspresi muka seperti biasanya, tanpa riak yang menurut Ara justru terlalu kaku. Tapi Ara masih tetap sayang meskipun begitu.
"Om saya ingin berbicara berdua dengan Ara."
Permintaan izin Calvin hanya dibalas dengan anggukan pelan dari Tuan Reno yang memberikan ruang privasi bagi kedua sejoli ini untuk berbicara. Dengan pelan Calvin menggenggam pergelangan tangan Ara ke arah taman belakang pekarangan rumah gadis itu.
"Apa ada yang kamu sembunyikan Ara?"
Spontan Ara menundukkan wajahnya dengan kepala yang menggeleng pelan, ia tak sanggup menatap kedua mata Calvin yang kali ini tengah menatapnya dengan begitu intens. Namun lelaki tersebut tak gentar, ia kini mendongakkan dagu gadis itu agar menatapnya. Ibu jari dan telunjuk tangannya yang besar kini berada di dagu Ara, dengan pelan membuat gadis itu mau tak mau harus menatap Calvin yang mengintimidasinya.
"Emangnya Daddy gak mau nikah sama aku, Daddy keberatan sama permintaanku?" Ara yang memang ingin menghindari tatapan mata Calvin, kini hanya mengalihkan pandangannya ke arah lain. Kedua pelupuk matanya telah berkaca-kaca karena perpaduan rasa sesak yang menghimpit dadanya secara perlahan.
Mendengar getar suara Ara, membuat Calvin tak tega untuk terus menatap Ara dengan pandangan menyelidik. Mana mungkin dia bisa melihat gadis yang dicintainya dalam kondisi rapuh seperti saat ini, perasaannya terasa tercubit oleh sesuatu tak kasat mata. "Sudah, jangan menangis lagi."
"Daddy jahat..," dengan mengerjap-ngerjapkan matanya yang berair, kini Ara hanya bisa pasrah ketika lengan kekar Calvin tengah melingkupi tubuhnya dengan hangat. "Pertanyaan Daddy seolah-olah emang Daddy terpaksa nikahin Ara, kalau emang Daddy gak mau nikahin Ara, mungkin Ara bisa menikah sama pria la__"
"Mph.." belum sempat Ara melanjutkan perkataannya, ketika bibirnya telah dipagut dengan mesra oleh Calvin.
Sungguh pria itu sangat benci ketika Ara ada pikiran akan bersama dengan pria lain, apalagi sampai menggantikan posisinya di samping Ara. Calvin, tidak akan rela. Sampai matipun, dia tidak akan sudi.
"Aku nggak suka kamu ngomong gitu lagi."
"Kan kakak duluan yang mulai..."
"Tidak ada tapi-tapian!"
"Ish arogan," meski dengan nada mengomel, pada nyatanya Ara tetap saja masih menempel manja pada Calvin. Gadis itu seolah menikmati detik demi detik waktu yang dimilikinya bersama Calvin.
"Ara mau nikah secepatnya sama kakak."
Calvin hanya diam, ia semakin mempererat pelukan Ara yang kini terasa berbeda. Apalagi jika gadis itu sudah menyebut dirinya dengan panggilan 'kakak', sudah jelas kalau ada sesuatu yang tidak beres disini, dan Calvin akan mencari tahu hal itu bagaimanapun caranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DADDY and Me
Romance"Daddy.." "Berhenti memanggilku Daddy." "Aku sayang Daddy." Mendengarnya, membuat Calvin memeluk Ara possesif. "Aku bukan Daddy-mu." "Bagaimana kalau Daddy dari anak-anak kita nanti?" Ara tersenyum lebar dengan mengedip-kedipkan matanya nakal. Semen...