Kini Ara tengah mencoba beberapa gaun yang akan ia kenakan nanti. Beberapa kali gadis itu tampak berpose, dengan ibu jari yang ditempelkan ke dagunya. Sesekali Ara juga berputar untuk memastikan apa benar bahwa gaun yang dipakainya kini sudah pas atau belum untuknya.
Dengan menghentakkan kaki pelan sambil merengut sebal, kini Ara berjalan keluar dari ruang fitting room. "Daddy, bisakah Daddy saja yang memilihkan gaunnya untukku? Aku terlalu bodoh dalam hal memilih."
Dengan rengekan khasnya, kini Calvin hanya menggeleng-gelengkan kepalanya merasa lucu. Jika wanita pada umumnya, mungkin mereka akan dengan senang hati memilih gaun pernikahan yang akan mereka kenakan di hari spesialnya. Tapi disini Ara justru tidak bisa memilih dan menyuruh Calvin yang memilihkan untuknya.
"Baiklah, coba yang ini."
Ara memiringkan wajahnya sedikit seolah-olah menilai gaun pilihan Calvin, lalu sedetik kemudian wajah gadis itu kembali cerah. "Daddy memang yang terbaik, aku mau gaun yang ini saja."
"Tidak mau mencoba?"
"Malas Daddy, tinggal menyesuaikan sama ukuranku saja. Apapun pilihan Daddy aku pasti suka." lagi-lagi Ara tersenyum senang.
Senyuman gadis itu seolah-olah tanpa beban. Membuat Calvin ikut tertular oleh senyumannya, meski hanya sedikit, dan tak terlihat.
Setelah selesai dengan fitting baju pengantin mereka, kini Calvin mengajak Ara untuk pergi makan siang bersama. Mereka pergi ke restoran jepang dan memesan beef lada hitam dengan soup miso.
"Ara, apa ada yang sedang kamu sembunyikan?"
"Tidak ada Daddy." Berbeda dengan yang sebelumnya, kini Arap menatap kedua mata Calvin saat manjawabnya, tak lupa dengan seulas senyum yang mau tak mau membuat pria itu diam dan percaya. Meski dalam hati sebenarnya dia merasa ada yang tengah disembunyikan oleh gadisnya.
"Kamu tentu sangat tau kalau aku sangat benci dengan kebohongan Ara, sekecil apapun itu."
"Kenapa Daddy begitu mencurigaiku?"
"Tidak, lupakan."
"Apa Daddy akan membenciku jika aku berani berbohong."
Calvin terdiam selama beberapa saat, "iya." Cukup dengan satu jawaban itu kini telah berhasil membuat kedua mata Ara berkaca-kaca. Sebisa mungkin gadis itu tersenyum lebar pada Calvin yang sibuk memakan makanannya dalam diam.
"Daddy aku ke kamar mandi dulu, kebelet pipis."
Tak menunggu waktu lama kini Ara bergegas ke kamar mandi, sesampainya di dalam bilik kamar mandi itu kini Ara tak sanggup lagi menahan tangisannya untuk keluar. Tentu Ara sangat paham apa maksud perkataan Calvin barusan, pria itu benci dibohongi, bahkan termasuk olehnya. Pernah sekali Ara berbohong pada Calvin ketika dia membolos sekolah dengan alasan sakit padahal dia hanya malas. Namun pria itu marah besar dan mendiamkannya selama seminggu. Lantas apa yang akan pria itu lakukan jika tau bahwa Ara tengah berbohong sedemikian besarnya. Menyembunyikan hal yang bahkan gadis itu sendiri belum bisa menerimanya.
Selama beberapa saat Ara menangis di dalam toilet, kini gadis itu merasa lebih baik meski lagi-lagi rasa hangat dan anyir mengalir dari lubang hidungnya. Dengan segera Ara membasuh mimisan di hidungnya dan mengelapnya dengan tisu. Wajahnya terlihat lebih pucat kini, dan Ara segera mengeluarkan lipstick dari tasnya untuk menutupi bibirnya yang terlihat pucat.
Seperti biasa Ara kini kembali memasang wajah cerianya sekbalinya dia ke hadapan Calvin. Calvin, adalah sosok yang menyelamatkannya dulu sewaktu kecil. Pria itu bahkan tanpa takut mengalangi mereka para bajingan yang meringkus tubuh kecil Ara. Calvin pula yang berhasil memulihkan Ara dari rasa traumanya akan dunia luar, jadi mana mungkin Ara mampu melepaskan sosok yang begitu luar biasa berarti bagi Ara ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
DADDY and Me
Romance"Daddy.." "Berhenti memanggilku Daddy." "Aku sayang Daddy." Mendengarnya, membuat Calvin memeluk Ara possesif. "Aku bukan Daddy-mu." "Bagaimana kalau Daddy dari anak-anak kita nanti?" Ara tersenyum lebar dengan mengedip-kedipkan matanya nakal. Semen...