Bide

142 26 1
                                    

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Tanyaku. Aku menatap enam orang lainnya yang kini tertunduk lesu.

"Kita tunggu sampai ada kabar." Ucap Ram sambil memandangi layar ponsel di tangannya."Aku yakin akan ada seseorang yang membantu kita keluar dari sini."

Aku menghela nafas kasar. Itu artinya kami harus duduk diam tanpa melakukan apapun? Aku berdiri. Semua orang menatapku dengan tatapan 'mau apa kau?'.

"Aku akan mencoba mencari sinyal di ruangan ini."

"Percuma, kami sudah mencobanya tadi dan sinyalnya tak berubah." Balas Reina.

"Tak ada salahnya mencoba lagi." Ujarku.

"Terserah kau saja." Ucap Reina tak peduli.

Aku menatap semua orang yang ada di laboratorium ini. Tak ada respon. Mereka hanya menatapku sekilas dan kembali sibuk dengan pikiran masing-masing.

Aku meminjam ponsel Anna dan mulai berjalan menyusuri meja-meja praktek di laboratorium ini. Tanganku terangkat ke atas, berharap ada sinyal yang tertangkap.

Kakiku berbelok ke kiri, ke arah lemari yang terletak di belakang ruangan. Aku kembali menurunkan tanganku saat menyadari hal yang kulakukan tak menghasilkan apapun. Aku menatap layar ponsel Anna, berharap ada keajaiban yang terjadi. Tapi sekali lagi, yang kulakukan sia-sia.

Aku memasukkan ponsel Anna ke saku seragamku. Aku berjalan ke arah jendela di dekat wastafel belakang. Tanganku menyibakkan tirainya sedikit. Sinar matahari masuk melalui celah yang kubuka. Langit cerah di luar sana sangat berbanding terbalik dengan suasana mencekam yang saat ini kami hadapi.

Tatapanku beralih ke bawah, mengintip keadaan di lapangan belakang sekolah. Kosong. Tak ada satupun dari mereka yang berada di lapangan belakang. Apa karena tak ada manusia hidup yang bisa dimakan? Aku bergidik dan buru-buru menghapus pikiran mengerikan itu dari kepalaku.

Aku mengambil ponsel Anna dari saku dan kembali mengangkat tanganku mencari sinyal. Kami berada di lantai paling atas, seharusnya lebih mudah untuk mendapatkan sinyal darisini, kan?

Seakan menjawab pertanyaanku, ponsel Anna bergetar. Aku membulatkan mata. Berpuluh-puluh pesan masuk dan panggilan tak terjawab tertera di layar ponsel.

"Aku dapat sinyal!" pekikku.

Aku buru-buru menutup mulutku saat mendengar geraman dari luar laboratorium. Ram meletakkan jari telunjuknya di depan bibir menyuruhku untuk diam. Yang lain menatapku kesal.

Geraman kembali terdengar. Jantungku berpacu. Aku menutup mulutku kuat-kuat berusaha tak mengeluarkan suara dan mengabaikan tatapan-tatapan kesal dari yang lain. Geraman terdengar menjauh dan kemudian senyap.

Ram terlihat berdiri dan berjalan pelan ke arah jendela di dekat pintu. Ia menyibakkan tirai itu sedikit dan mengintip ke luar. Ram kemudian menutup tirai tersebut dan mengacungkan jempolnya ke arah kami. Aku menghembuskan nafas yang sedari tadi kutahan.

"Kau mau menjadikan kita semua santapan makhluk jelek itu, huh?!" Amuk Reina dengan suara tertahan.

"Maafkan aku, aku tak bermaksud." Ucapku pelan.

"Sudah cukup!" Sergah Ram saat Reina mulai membuka mulutnya untuk mengomeliku,"Jangan mengundang makhluk itu untuk kembali kesini, Rein."

Reina mengatupkan kedua bibirnya. Entah apa hubungan keduanya sampai Reina selalu menuruti ucapan Ram.

"Aku benar-benar minta maaf. Aku hanya .." ucapanku terpotong saat ponsel Anna kembali bergetar. Nama Will terpampang di layarnya. Tanpa pikir panjang aku menekan tombol hijau di ponsel itu.

Z:ESCAPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang