Pagi-pagi sekali prajurit Kerajaan Mandaraka berangkat meninggalkan lereng Bukit Arang Lawu. Kepergian mereka dipimpin Punggawa Karpatala dengan diiringi pandangan mata Pangeran Kandara Jaya. Sebenarnya, Karpatala berat meninggalkan Pangeran Kandara Jaya seorang diri di bukit yang penuh bahaya ini. Tapi, kata-kata dan tekad pangeran muda itu sulit untuk dibelokkan lagi.
Prajurit yang jumlahnya sudah berkurang itu berjalan cepat menuruni lereng bukit, kembali ke Kerajaan Mandaraka. Pemuda pewaris tahta kerajaan itu berdiri tegak dengan tangan memegang ujung gagang pedang yang tergantung di pinggang, memandangi kepergian prajuritnya.
"Aku harus segera ke puncak bukit itu," gumam Kandara Jaya perlahan .
Kandara Jaya segera mengayunkan kakinya cepat-cepat mendaki lereng menuju puncak Pangeran muda itu berialan dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh. Begitu ringan kakinya bergerak, sehingga seperti tidak menyentuh tanah sama sekali. Kandara Jaya terus melangkah merambah hutan dan tebing batu terjal. Kadang-kadang harus melompati sungai dan jurang kecil yang menghadang.
Langkahnya mendadak terhenti ketika telinganya yang tajam mendengar suara langkah orang lain dari arah samping. Kandara Jaya segera melompat ke atas batu besar, dan berlindung di baliknya. Telinganya bergerak-gerak mendengarkan suara langkah kaki yang makin jelas dan dekat. Suara langkah kaki tanpa disertai dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh, tentu saja sangat mudah untuk didengarkan.
Tidak lama kemudian, dari balik lebatnya pepohonan muncul dua orang laki-laki dan perempuan. Mereka adalah Rangga dan Pandan Wangi. Kedua pendekar muda itu berjalan santai sambil bercakap-cakap. Tidak ada yang penting dalam percakapan mereka, bahkan tidak jarang diselingi canda dan tawa yang lepas bergerai.
"Pandan ... ," bisik Rangga tiba-tiba.
"Ada apa?" tanya Pandan Wangi ikut berhenti melangkah,
"Aku merasakan tarikan napas halus di sekitar sini," kata Rangga pelan setelah berbisik.
Pandan Wangi memiringkan kepalanya sedikit. Dicobanya untuk mendengarkan suara tarikan napas halus yang dikatakan Rangga tadi. Tapi, meskipun sudah mengerahkan ilmu pembeda gerak dan suara, tetap saja tidak mendengar suara apa-apa kecuali hembusan angin dan suara detak jantungnya sendiri,
"Kau mendengarnya, Pandan?" tanya Rangga. "Tidak," sahut Pandan Wangi.
"Hanya satu, tapi kurasa dia memiliki ilmu yang sangat tinggi. Tarikan napasya begitu halus, hamper aku tidak mendengarnya," gumam Rangga pelan sekali. . .
"Apa itu bukan tarikan napasmu sendiri, Kakang?" Pandan Wangi tidak yakin, karena tidak mendengar apa-apa.
"Aku bisa membedakan antara diriku, kau, dan orang lain. Hati-hatilah, orang itu sangat tinggi ilmunya. "
Rangga melangkah tiga tindak ke depan. Kepalanya dimiringkan ke kanan dan ke kiri perlahan-lahan. Ilmu pembeda gerak dan suara yang dimilikinya sudah mencapai tahap kesempurnaan. Baginya, suara sehalus apa pun sangat mudah ditangkapnya. Jadi, tidak heran kalau dia mampu mendengar sesuatu yang tidak dapat didengar orang lain, meskipun juga memiliki ilmu pembeda gerak dan suara.
"Kisanak, aku tidak bermaksud buruk padamu. Dan aku juga tidak mengganggumu jika kau tidak memiliki niat buruk pada kami," kata Rangga. Suaranya terdengar kecil, namun menggema ke segala penjuru. Rangga mengerahkan tenaga dalam yang sempurna sekali.
Tak ada sahutan sedikitpun. Keadaan di sekitar tempat itu tetap sunyi. Hanya desir angin yang menyahuti kata-kata Pendekar Raiawali Sakti itu.
"Baiklah. Aku tahu di mana kau bersembunyi. Kalau kau tidak ingin menampakkan diri, aku juga tidak akan mengganggu tempat persembunyianmu," kata Rangga lagi.
Rangga menjentikkan jarinya, mengajak Pandan Wangi meninggalkan tempat itu. Pandan Wangi mengikuti, dan berjalan di samping Rangga. Kedua pendekar muda itu terus melangkah biasa tanpa menoleh sedikitpun. Namun Rangga tahu kalau orang yang berlindung di balik batu besar itu tengah mengawasinya.
Pangeran Kandara Jaya baru keluar dari persembunyiannya setelah Rangga dan Pandan Wangi tidak terlihat lagi. Dia menatap arah dua pendekar tadi berlalu. Sama sekali tidak dikenalinya dua anak muda yang mungkin sebaya dengannya tadi. Tapi diakui, kalau yang laki-laki sungguh luar biasa ilmunya. Persembunyiannya dapat diketahui meskipun ia sudah mengerahkan ilmu meringankan tubuh dan pengatur pernapasan dengan sempurna sekali. Kandara Jaya mendesah panjang dan berat. Untuk beberapa saat, dia masih berdiri.
"Aku tidak bisa membayangkan apa jadinya, jika orang itu salah seorang kelompok Puri Merah," gumam Kandara Jaya pelan.
"Dugaanmu salah, sobat!"
"Heh!" Kandara Jaya terkejut setengah mati. Begitu kagetnya, sehingga ia terlonjak dan langsung berbalik. Di atas batu tempatnya berlindung tadi kini sudah berdiri Pendekar Rajawali Sakti. Kandara Jaya keheranan bukan main. Kehadiran pendekar itu tidak diketahuinya sama sekali. Tangannya bergerak perlahan menyentuh gagang pedang yang tergantung di pinggang.
"Hup!"
![](https://img.wattpad.com/cover/202889949-288-k693803.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
12. Pendekar Rajawali Sakti : Rahasia Puri Merah
ActionSerial ke 12. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.