Burung rajawali raksasa mengepakkan sayapnya, melambung tinggi ke angkasa. Rangga memandanginya hingga tidak terlihat lagi, lenyap di balik gulungan mega. Sementara itu Kandara Jaya tetap berdiri di sampingnya. Pikirannya masih dipenuhi berbagai macam pertanyaan yang berkecamuk. Pertanyaan-pertanyaan yang sulit terjawab, dan membuatnya masih terheran-heran.
Rangga melangkahkan kakinya mendekati bibir jurang. Dia berdiri tepat di tepi jurang yang menganga lebar. Pandangannya lurus menatap ke bawah yang gelap berselimut tebal. Rasa penyesalan kembali melanda hatinya. Entah bagaimana nasib Pandan Wangi di dalam jurang sana. Agak lama juga Rangga berdiri memandang ke dalam jurang. Sambil melepaskan napas panjang, dibalikkan tubuhnya.
"Natrasoma, ceritakan yang sebenarnya. Kenapa kau lemparkan wanita tadi ke dalam jurang?" tanya Rangga.
"Ampunkan hamba, Gusti Dewa Agung. Hamba terpaksa melakukannya. Seluruh bangsa hamba terancam musnah bila tidak menuruti kehendak Yang Mulia Dewi Sri Tungga Buana," sahut Natrasoma seraya membungkukkan badannya.
"Dewi Sri Tungga Buana? Siapa dia?" desak Kandara Jaya.
"Dewi yang memberi kami hidup abadi dan kedamaian di alam mayapada ini."
"Dengan mengorbankan gadis-gadis?" Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Gadis-gadis itu pilihan Yang Mulia Dewi Sri Tungga Buana. Mereka akan dijadikan dayang-dayang penghias istana kerajaan para dewa di kahyangan."
"Kenapa harus diceburkan ke dalam jurang ini?" tanya Kandra Jaya masih belum mengerti betul.
"Itulah jalan satu-satunya menuju istana dewa. Yang Mulia Dewi Sri Tungga Buana yang memerintah kami untuk menunjukkan jalan bagi gadis-gadis itu."
Kandara Jaya memandang Rangga dengan sinar mata tidak mengerti. Rangga mengayunkan kakinya mendekati Natrasoma yang berdiri paling depan di antara yang lainnya. Mereka berdiri dengan kepala tertunduk. Entah kenapa. Begitu melihat sinar biru terpancar dari pedang Rajawali Sakti, mereka langsung menyangka kalau Dewa Agung mereka datang. Lebih-lebih setelah kemunculan burung rajawali raksasa.
Rangga yang menyadari salah pengertian ini, memanfaatkannya dengan baik, meskipun benaknya masih terus bertanya-tanya. Bagaimana mungkin mereka menganggapnya dewa? Dia adalah manusia biasa. Sama dengan mereka. Tapi Rangga tidak ingin mempersoalkannya. Maka dimanfaatkannya kesempatan itu untuk menyingkap misteri yang terkandung di Bukit Arang Lawu ini.
"Natrasoma, di antara rakyatmu ada yang wanita, bukan? Nah! Mengapa harus menculik gadis-gadis dari desa lain? Bahkan membunuh semua penduduknya. Apakah semua yang kau lakukan itu juga kehendak Dewi Sri Tungga Buana?" Tanya Rangga mulai memancing.
"Benar, Gusti Dewa Agung," sahut Natrasoma seraya membungkuk.
"Lalu, siapa tadi yang kau ceburkan?" ada sedikit tekanan pada suara Rangga.
"Seorang gadis yang kesasar masuk wilayah kami. Dan Yang Mulia Dewi Sri Tungga Buana menginginkan segera dikorbankan."
"Gadis kesasar?" Rangga mengerutkan keningnya.
"Benar, Gusti Dewa Agung. Rakyatku menemukannya tengah hanyut di sungai. Di tubuhnya terdapat sebilah pedang dan kipas dari ba .... "
"Setan! Kau bunuh Pandan Wangi, heh!" geram Rangga memotong kata-kata Natrasoma.
"Ampun, Gusti Dewa Agung. Kami hanya menjalankan perintah Dewi Sri Tungga Buana," suara Natrasoma terdengar bergetar. Tubuhnya pun menggigil ketakutan.
Rangga menjadi geram, dan memuncak kemarahannya. Tapi tiba-tiba saja dia tidak sampai hati ketika orang-orang berjubah merah di depannya menjatuhkan diri dan berlutut.
"Ah, Pandan ... mengapa sampai dua kali kau jatuh ke jurang ?" desah Rangga bergumam penuh dengan ketidakmengertian.
"Hamba menerima salah, Gusti Dewa Agung. Kami semua siap menerima hukuman," kata Natrasoma bergetar.
"Bangunlah kalian semua," kata Rangga. Suaranya agung dan berwibawa.
Kandara Jaya sendiri sempat melongo mendengar suara Rangga begitu agung penuh kewibawaan. Hampir seharian saling berbicara dan saling mengenal tapi baru kali ini Kandara Jaya mendengar suara yang begitu agung meluncur dari bibir Rangga. Kesepuluh orang berjubah merah beranjak bangkit berdiri. Kepala mereka masih tetap menunduk tertutup kain merah berbentuk kerucut.
"Kami semua siap menjalankan perintah dan menerima hukuman, Gusti Dewa Agung," kata Natrasoma. Suaranya masih terdengar bergetar bernada takut."Tidak ada gunanya menghukum kalian. Aku tahu kalian tidak bersalah dan ditekan oleh kekuatan iblis yang mengaku sebagai Dewi Sri Tungga Buana," kata Rangga penuh wibawa.
Tidak ada yang membuka suara. Suasana hening untuk beberapa saat. Rangga memandangi sepuluh orang yang berdiri membungkuk di depannya. Dari sinar matanya, terlihat kalau dia tengah berperang dengan batinnya sendiri. Rangga kini dihadapkan pada dua pilihan yang sangat sulit dipecahkan.
Di satu pihak, dia sangat mencintai Pandan Wangi yang kini entah bagaimana nasibnya di jurang sana. Rangga tidak bisa membohongi dirinya lagi. Dia benar-benar mencintai gadis itu. Tapi di pihak lain jiwa kependekarannya dituntut untuk menyelesaikan kemelut yang tengah dihadapinya. Dari jawaban dan keterangan yang diberikan Natrasoma, ada kesimpulan kalau orang-orang berjubah merah ini dalam keadaan tertekan suatu kekuatan iblis.
Jiwa kependekaran Rangga mengatakan kalau dia harus menolong orang-orang berjubah merah ini. Orang-orang yang disebut sebagai Kelompok Puri Merah. Rangga meminta mereka untuk membawanya ke puncak Bukit Arang Lawu. Tentu dengan senang hati mereka akan mengantar Rangga yang dianggap sebagai Dewa Agung. Dewa yang menurut kepercayaan mereka adalah raja dari segala dewa yang ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
12. Pendekar Rajawali Sakti : Rahasia Puri Merah
AcciónSerial ke 12. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.