7. Membaca

54 3 0
                                    

Ringkasan cerita lalu:

Kepada Bu Guru, Tama bertanya tentang agama Pak Tuw-Han, ingin tahu bagaimana dia dikebumikan. Pak Tuw-Han tidak punya agama, jasadnya dikremasi dan abunya dibuang ke laut utara. Kemudian Tama mencurahkan hatinya bahwa orang-orang yang dia sayangi meninggal. Dia merasa itu karena dia banci, pembawa kutukan. Bu Guru meluruskan anggapan Tama dan memotivasinya bahwa dengan pengetahuan, Tama akan memahami lebih dalam tentang dirinya. Di dalam catatan harian yang diperiksa oleh Bu Guru, Tama menulis: "Satu terlalu kecil, lainnya terlalu sempit, tapi aku tidak ingin terbatas", artinya walaupun dia seorang interseks (berkelamin ganda), dia tidak ingin kehilangan cara untuk melanjutkan hidup. Tama mendapat titipan hadiah sebuah buku tulis baru dari Pak Tuw Han dan tiga buku pinjaman dari Bu Guru. Dia pulang naik bus menuju pasar, rumahnya.

***

Buku-buku yang menarik membuat Tama menginginkan tempat yang lebih kondusif untuk membaca. Di pasar, di sore hari pun masih cukup ramai. Orang-orang masih sibuk berbincang sambil mengemasi dagangan. Dengan tas cangklong yang berisi buku-buku itu Tama berjalan ke lapangan, mencari tempat teduh di bawah pohon yang ada di tepi-tepinya.

Tak sabar Tama membaca tentang 'Sang Pemimpin', sebuah buku cerita sederhana dengan tulisan yang besar-besar. Dia membaca dengan penuh penghayatan. Dia akan mengulang kembali kalimat-kalimat yang butuh pemahaman lebih dalam.

'Pemimpin adalah orang yang mengayomi.' kata buku itu, tapi Tama tergoda oleh sesuatu. Bau uap beras yang sedang dimasak terasa sangat enak. Perut Tama meronta. Tama memasukkan kembali bukunya dan berjalan menuju bau harum. Di belakang rumah yang terbuka, seorang ibu sedang menanak nasi di penanak nasi listrik. Sementara itu Tama mendengar percakapan si ibu,

"Sebentar lagi nasi matang. Kakak kan sudah mandi. Siapkan piring dan bawa panci sayurnya ke meja. Ibuk mau memandikan adik."

"Iya, Buk." Jawab si anak yang lebih besar, yang dipanggil 'kakak' oleh ibunya.

"Ayo adik mandi sekarang ya."

"Nggak mau!" si balita menangis.

"Adik harus mandi sekarang. Kalau sudah malam, adik akan kedinginan dan malas mandi. Kalau adik tidak mandi, nanti malam susah tidur dan tubuh gatal-gatal. Uh uh," Si ibu mempraktekkan gerakan menggaruk-garuk seluruh tubuh.

Si anak balita tertawa melihat tingkah ibunya, lalu dia mau mandi. Sekejap kemudian, tiga manusia itu menghilang dari pandangan Tama.

Pemimpin adalah orang yang mengayomi. Mengayomi adalah melindungi. Si ibu melindungi kedua anak itu dari rasa lapar, dari kemalasan dan dari sikap yang tidak bertanggungjawab.

Petang tiba. Pasar sudah benar-benar sepi kalau mulai gelap. Tama kembali ke 'rumahnya'. Di atas papan yang biasa digunakan Tama untuk duduk dan tidur, telah berkumpul empat ekor kucing. Mereka tampak kekenyangan karena mereka bermalas-malasan di atas papan itu. Tahu kedatangan Tama, mereka semua bangun.

"Eong!" Kata Tama menyapa.

Baru mau duduk, Tama ingat kalau dia lapar. Lalu dia meletakkan tas cangklongnya di kotak yang lebih tinggi semacam lemari kecil.

"Kalian sudah kenyang ya."

Keempat kucing mengeong, ada juga yang mengeong serak. Ada yang mendekati Tama, tapi Tama segera pergi karena dia mau membeli makan. Kucing-kucing kembali bermalas-malasan di atas papan.

Tama memesan nasi rames setibanya di warteg. Melihat nasi di piring, Tama membayangkan kejadian sebelumnya. Andai dia punya ibu yang memasakkan nasi untuknya, menyuruhnya untuk membantu membawakan piring. Dia jadi ingat nenek, ibu angkatnya yang sudah meninggal. Hatinya sangat sedih. Dia merasa sangat kesepian. Airmata hampir menetes di nasinya jika kedua punggung tangannya tidak segera menyeka.

Ibu warteg bertanya, "Kenapa, Nak?"

Wajah Tama memandang ke ibu warteg. "Ingin saya punya ibu, ingin disuruh-suruh." Kemudian Tama menceritakan sekilas kejadian yang dia lihat sebelumnya.

Mendengar cerita Tama, ibu warteg merasa trenyuh, "Kamu boleh panggil aku Ibuk, kalau mau."

Tama mengangguk.

"Kamu bisa bantu Ibuk membereskan piring-piring kotor. Bisa mencuci piring, kan?"

Lagi Tama mengangguk dengan lelehan airmata yang seperti hujan. Dia memang mudah dan seringkali menangis. Itu sudah pembawaan dia. Jangan pernah kalian menyuruhnya, 'jangan menangis', sebab itu salah satu cara mengurasi rasa deritanya.

"Nah, sekarang habiskan nasinya. Ini teh manis kamu."

Tama pun makan dengan lahap. Setelah itu dia mencuci piring di dapur warteg.

Selesai mencuci piring, Tama diberi uang oleh ibu warteg, "Nak, ini buat jajan ya."

Tama diam, memikirkan apa arti diberi uang. Perlukah dia diberi uang?

"Kan setiap anak pasti diberi uang jajan oleh ibunya. Nah, ini buat beli wedang ronde nanti malam. Sekarang lagi musim hujan, biar hangat." Kata ibu warteg menjelaskan.

Tama menerima uang itu, "Terima kasih, Buk."

"Salim sama Ibuk." Salim adalah mencium tangan tanda menghormati kepada orang yang lebih tua. Ibu warteg menyodorkan tangannya.

Tama tahu salim itu apa. Seorang anak akan salim pada orangtuanya atau kepada kerabat yang lebih tua, jika mereka saling bertemu, baik di rumah maupun di jalan. Dulu, nenek tidak pernah menyuruhnya salim, tapi hari itu dia mempraktekkannya dengan mencium tangan ibu warteg.

Kulit Tama begitu halus. Ibu warteg membuat pertanyaan di dalam hatinya. Dia belum lama tinggal di lingkungan itu, dia tidak tahu latar belakang Tama.

Hari sudah gelap, di atas dipan papan, di bawah penerangan lampu pasar, Tama kembali khusu' membaca buku, mengulang-ulang apa yang belum dia pahami. Dia juga mencatat di buku hariannya tentang segala sesuatu: kata-kata sulit, kata-kata menarik, pertanyaan, ungkapan hatinya dan pengetahuan baru yang dia dapatkan hari itu. Kata yang menarik hatinya untuk ditulis adalah salim. Itu adalah pengalaman barunya yang membahagiakan.

Saat menjelang subuh, Tama sudah bersiap di tempat bongkar muatan sayur. Dia bekerja seperti biasa, menurunkan muatan dengan cekatan. Tidak disangka, ibu warteg melintas dengan mengenakan pakaian khusus untuk perempuan bersembahyang: mukena.

"Ibuk!" Tama menghampiri ibu warteg. Dia ragu-ragu, tapi dia memberanikan diri, dia ingin salim lagi, ingin salim seperti orang-orang.

"Tama, jangan!" Ibu warteg refleks menyembunyikan tangannya, menolak diajak bersalaman. Dalam pandangan ibu warteg, Tama adalah seorang pria, karena dia tahu anak itu dipanggil Tama oleh yang lain. Tama adalah nama seorang pria. Seorang pria yang tidak ada ikatan darah dengannya adalah bukan muhrim, kalau bersentuhan, bisa membatalkan wudhu (bersuci dengan air/debu untuk bersembahyang).

Tama menurunkan tangannya.

"Ibuk ke Masjid dulu ya. Nanti Tama boleh salim setelah Ibuk selesai sembahyang."

Tama mengangguk. Jangan kalian tanyakan kenapa Tama selalu mengangguk. Anggukan dan gelengan adalah ciri khasnya. Dia bicara hanya jika isyarat tubuh tidak bisa mewakili.

Tama kembali sibuk bekerja. Dia tidak melihat ibu warteg pulang dari masjid. Selesai bekerja, Tama berjalan menuju warteg yang agak jauh dari pasar. Belum sampai warteg, Tama diserang orang dari belakang. Tengkuknya dipukul. Tama tergeletak, tidak sadarkan diri.

Celebration Day for TamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang