Sami menuruni tangga dengan hentakan kaki keras. Wajahnya memerah menahan amarah. Mengingat kejadian tadi. Saat cowok itu menertawakan dirinya, jujur saja Sami merasa konyol.
Rasa-rasanya saat tadi ia berada di atap, Sami hanya merasakan dirinya di sana. Sendiri. Sejak kapan ada cowok itu? Seketika bulu kuduknya merinding. Sami mengusap tangannya. Matanya melirik jam yang tergantung di lorong rumah sakit. Sudah dua jam, ia meninggalkan ayahnya sendiri di ruangan.
Sami memutar langkahnya menuju ruang rawat sang ayah. Kenapa harus ia yang merawat orang itu, bukannya karma memang ada? Langkahnya terhenti. Sami menggelengkan kepalanya.
Sami memutar kembali langkahnya dan berlari menjauhi ruang rawat.
Berlari sambil menangis, hentakan kaki yang berisik belum cukup untuk menjadi pusat perhatian di lorong rumah sakit.
Isakannya makin keras, dengan tergesa Sami menghentikan angkot yang lewat di hadapannya.
Sami tidak sadar, Raksa melihatnya semenjak dia keluar dari rumah sakit. Raksa menaikkan tudung jaketnya. Terpatri senyum di wajahnya. Raksa paham. Cowok itu menertawakan akan kesesalan yang akan Sami rasakan.
Raksa menyalakan motornya dan berlalu dari parkiran rumah sakit.
***
Sami menelungkupkan kepalanya. Pandangan matanya lurus ke Pak Imam yang sedang menjelaskan pembelahan sel kromosom. Persetan dia tidak peduli. Pikirannya sudah mencabang terlalu jauh semenjak masuk pesan singkat di ponselnya.
Senggolan pelan dari Karin mengganggunya langsung Sami menegakkan kembali kepalanya. Sami menoleh ke Karin, teman sebangkunya.
"Apaan?" Tanya Sami.
"Bentar lagi bel. Tahan. Pak Imam ngeliatin lo mulu gue gak mau ikut-ikutan dihukum kayak kemaren," ucap Karin.
Sami mengendikkan bahunya dan menelungkupkan kepala.
Karin menggoyang-goyangkan bahunya. "Bangun anjir. Ihh Sam bangun!" Geram Karin.
"Berisik. Kan bentar lagi bel-" Ucapannya terpotong bersamaan dengan bunyi bel istirahat.
"Kan."
Dengan cepat Sami berdiri dan langsung menarik Karin berdiri. Karin menahan tangan Sami. Karin menggelengkan kepalanya dan menunjuk dengan dagu ke Pak Imam yang masih berdiri di depan.
"Duduk lagi. Tunjukin kalo lo masih punya adab."
Sami menoyor kepala Karin. "Sialan."
"Baik. Kita sudahi hari ini. Terakhir, Sami kamu bapak tunggu di kantor," Pak Imam berjalan meninggalkan kelas.
Sami hanya menatap Pak Imam tak acuh. Sami berdiri menarik Karin, cewek itu mengabaikan perhatian kelas yang tertuju padanya sejak Pak Imam mengatakan hal tadi. Sudah biasa, pikirnya.
Bohong. Biasa tapi Sami tetap tidak tahan dan dia juga tidak paham. Kenapa dia? Apa yang pernah dilakukannya. Untuk apapun dalam sengaja maupun
tidak yang pernah ia lakukan. Sami selalu mensyukuri satu hal. Karin, sahabatnya yang tidak pernah meninggalkannya.Sami melangkah keluar, tangannya tidak sengaja menyenggol botol minum hingga jatuh dan tumpah. Kelas yang spontan menjadi sunyi akibat aksi yang Sami lakukan.
"Puas lo? Numpahin terus mau pergi gitu aja?" Celetuk Friska. Cewek papan atas di sekolah ini.
Sami mencengkram kerah Friska. "Lo yang ngebacot selama ini. Gak pernah gue ngelakuin hal-hal yang lo cepuin ke guru atau ke temen-temen yang sejenis ama lo."
Sami melepaskan cengkramannya dan berjalan ke belakang. Bermaksud mengambil pel. Setiap Sami melangkah, orang di kelas ini yang berkerumun segera membelah kerumunannya.
Sami mengambil pel dan dengan cepat mengepel tumpahan air minum. Sami melempar pel itu dengan keras ke belakang.
Sami menoleh ke Friska yang memandangnya kesal. "Puas lo bilang? Iya. Gue puas!" Tekan Sami.
Sami berjalan ke pintu dimana Karin menunggunya sambil bersandar. Entah sejak kapan Karin menarik diri dari kerumunan. Satu hal lagi yang membuat Sami memuji Karin.
Karin mengangkat sebelah alisnya saat Sami melewatinya. "Udah?"
"Ayo. Kan lo tau gue masih ada janji sama Pak Imam kesayangan," ucap Sami sambil melirik ke seluruh penjuru kelas.
***
Raksa melompati jendela di kelasnya, jendela itu mengarah langsung ke tembok belakang yang beruntungnya mudah untuk dipanjat. Mengabaikan panggilan dan teriakan yang disuarakan oleh mayoritas siswi perempuan di kelasnya.
Kakinya berhasil menapak di tanah. Raksa memutar tubuhnya dan tangannya menahan jendela.
"Woy, Jer ambilin jaket gue dulu di atas meja," perintah Raksa yang segera dituruti Jerka.
Jerka mengambil jaket Raksa dan melemparnya ke luar jendela. Kemudian, Jerka ikut melompati jendela yang sudah ditahan Raksa. Mereka berdua dengan cepat memanjat tembok dan melompati tembok.
Raksa tertawa mendengar ancaman dan
cacian teman sekelasnya. Mereka segera berlari dengan cepat meninggalkan area sekolah. Tanpa peduli masalah yang akan ditimbulkan nantinya.Mereka menuju ke sebuah warung yang sering digunakan sebagai tempat pelarian dari sekolah. Raksa langsung mengenakan jaket. Jerka memesan minuman dingin. Raksa duduk di sebelah Jerka yang baru saja menerima minumannya
Raksa menyalakan rokok. "Gue tau tempat bagus nih sekarang."
"Kalo sejenis sama tempat kemaren gue ogah. Ngapain anjir ke tempat jual dada ama paha," ucap Jerka. Cowok itu jengah pasalnya di sana bukan hanya perempuan tulen tapi juga ada perempuan tanda kutip. Bahunya kaku seketika mengingat kejadian waktu itu.
Raksa terkekeh geli membayangkan jijiknya ekspresi yang ditunjukkan Jerka.
"Engga. Kesalahan gue tentang tempat kemaren. Yang kali ini bakalan ada imbalnya kok. Percaya ama gue," Ujar Raksa meyakinkan.
"Bukan superhero tapi bertingkah superhero. Kedok doang padahal. Dampak imej emang luar biasa ya, Sa."
Cowok itu mengangguk seraya menghisap rokoknya. Jarinya memainkan gelang yang ada di pergelangan tangan. Rautnya menggelap dengan senyum tipis. Jerka mengamati Raksa, cowok itu memang baru setahun mengenal Raksa semenjak mereka sekelas di tahun pertama SMA namun, nama Raksa bukanlah nama remeh saat mereka SMP.
Nama Raksa yang besar dikarenakan tindakan lelaki ini yang berani menantang tanpa perlu memikirkan resikonya. Jerka lagi-lagi salut pada sifat Raksa yang satu ini. Jerka tertawa kecil sambil mengingat masa lalu dimana saat itu ia masihlah seorang yang pengecut.
***
-alca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nontreal
Teen FictionKatakanlah dia Sami. Bukan primadona bahkan dianggap inangnya permasalahan. Sami merasa biasa saja karena dia tau, dia tidak salah atas perbuatannya. Sami disalahkan karena hanya dia yang dapat disalahkan. Di lain sisi, panggil dia Raksa. Cairan ter...