Lingga
Mereka berdua menaiki tangga besi yang terdengar ribut saat di injak. Lingga menggenggam jemari Dayu seakan ia takut gadis itu berhenti di tengah langkah mereka dan memutuskan pulang secara tiba-tiba karena menyadari betapa tinggi tangga yang harus dinaiki.
Ia merasakan langkah Dayu mulai tertatih, sudah empat lantai yang mereka lalui. Lingga tersenyum memberi semangat.
"Satu lantai lagi. Sory, nggak ada lift." celetuknya di antara engah nafas gadis itu.
"Tiap pagi keringetan dong kamu?"
"Haha ya anggap aja olahraga pagi."
Ada terbersit sedikit rasa aneh di dada Lingga. Rasa janggal yang menegur benaknya, mengapa ia bersikap terlalu baik pada gadis ini. Ia tak tahu harus menjelaskan dari mana.
Kamu jatuh cinta sama dia? Hatinya bertanya. Lingga menolak mentah-mentah. Kalo seleraku adalah Dayu, nggak mungkin lah aku jatuh cinta sama Damai. Penjelasan itu cukup masuk akal di kepalanya saat ini. Jadi ia meneruskan langkahnya.
Lingga mengajaknya masuk ke satu-satunya pintu yang berada di lantai paling atas. Satu-satunya pintu tanpa nomor dan berwarna berbeda dari pintu yang lain di lantai bawah.
Dayu menatap dengan takjub, mengelilingi ruangan dengan mata besarnya sementara Lingga menyibakkan semua tirai yang menutupi jendela kamar. Lalu menyiapkan teko untuk menjerang air dan membuat teh di dapur bersih.
Lingga hanya tidak menyangka dengan reaksi berlebihan Dayu. Ia hanya mengajaknya mampir, bukan memamerkan hal yang istimewa. Yah, masak iya sih ia heran dengan ranjang yang sedemikian rupa menghadap ke laut. Hal-hal yang menurut Lingga biasa aja. Bahkan Damai pun tidak menaruh perhatian lebih dengan letak kamar dan pemandangan mereka setiap sore saat kencan.
Melihat ketertarikan Dayu tentang laut dan suasana keemasan di sore hari membuat Lingga geli. Ketika ia melangkah ke kamarnya kembali bersama dua cangkir teh dan cookies yang ia temukan di kulkas, ia masih menyaksikan wajah takjubnya itu lagi, bibir yang berdecak kagum itu juga. Ia sedang memandang foto-foto yang terpajang di atas kepala ranjang. Foto-foto keluarga yang tentu saja Damai selalu berada di antara mereka. Lingga menyadari perubahan raut wajah Dayu yang tiba-tiba terdiam.
"Gimana? Suka? "
"Hmm," gadis itu mencebikkan bibir tanda ia tak tertarik. "Kayaknya kamar ini milik Damai?" gumamnya menatap Lingga menyesap tehnya.
"Kok gitu?"
"Di mana-mana ada fotonya. Di mobil, di sini, di meja sebelah sana, di atas ranjang. Jangan-jangan di toilet juga."
Otomatis jawaban itu membuat Lingga tertawa lebar. Emang ada ya, orang yang segitu kesalnya cuma gara-gara foto seseorang? Lingga dibuat heran dengan pikirannya.
" Lha, kami kan emang pacaran, Yu. "
" Iya, saking lengketnya sampe kamu tuh kayak nggak punya kehidupan lain selain Damai."
"Salah, ya?"
Bukannya menjawab Dayu malah berpaling ke arah jendela dan menatap laut lepas, membisu.
"Kenapa sih kamu benci banget sama Damai?" ia berdiri dan berjalan mendekat ke arah gadis itu.
"Aku nggak benci. Aku kagum sama dia!" Dayu menjawab dengan sengit.
"Oh, ya?"
"Dia itu cewek yang paling, paling banget. Papa bilang Damai paling sopan, Mami bilang Damai paling baik, temen-temen bilang Damai paling cantik, tetangga bilang Damai paling pinter pilih pacar. Gimana nggak kagum coba?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Salahkan Rasaku
Teen Fictiondamai dan dayu adalah saudara kembar yang harus hidup di antara perceraian orang tua mereka. sebuah keluarga yang retak ternyata cukup memberi pengaruh pada kehidupan cinta si kembar. Bagaimana labilnya Dayu dan kekecewaan Damai dalam menghadapi keh...