Damai
Damai menengadah ke arah bangunan di puncak Bukit Limas. Rumah itu berada di sana, berdiri sendiri bagai sebuah kastil yang mungil. Ukuran bangunannya mungkin dua kali lebih besar dari tempat tinggal Damai, dengan jendela besar-besar yang memperlihatkan hampir separuh ruangan dalam rumah membuatnya tampak megah dan menakutkan. Dari tempat Damai berdiri tampak sofa abu-abu di ruang tengah, ayunan milikk Lily sedang bergerak pelan mengikuti tiupan angin di taman, jendela kamar putra mereka yang tinggi tertutup oleh horden putih. Itu adalah satu-satunya ruangan yang tengah tertutupi sesuatu, yang mambuat Damai berasumsi tentang hal yang tidak-tidak. Damai mendengus lelah karena harus berjalan setengah mendaki di atas titian berkerikil yang diapit tumbuhan beluntas di sepanjang jalan masuk.
Kalo bukan karena biaya kuliah, nggak bakal deh ngelakuin kerjaan yang setiap dateng musti ngos-ngosan dulu, keluhnya dalam hati. Kelak jika ia punya banyak uang, ia tidak akan beli rumah yang kalau pengen masuk aja harus naik angkot dari jalan masuk. Ia juga tidak habis pikir mengapa orang-orang kaya itu lebih senang tinggal di atas bukit ketimbang bertetangga dengan manusia lain. Karena jarak antara satu rumah dengan yang lain hampir ratusan meter jauhnya.
Seperti diketahuinya bukit Limas adalah tempat orang-orang kaya tinggal di seluruh Sedani, kota tempat tinggal Damai. Bukit itu berada hampir di ujung kota hingga memisahkannya dari keramaian. Damai tidak punya pilihan lain untuk menolak pekerjaan dengan tempat sejauh itu, karena gaji yang ditawarkan lumayan dan ia hanya bekerja selama beberapa jam dalam seminggu. Saat orang tua Lily mengurus peternakan sapi mereka di luar kota. Lagi pula, harusnya Damai merasa beruntung karena mendapatkan pekerjaan ini secara kebetulan tanpa harus repot-repot mencarinya.
Tiga minggu lalu ketika Damai pergi ke toko buku di pusat perbelanjaan di tengah kota, ia menemukan seorang gadis kecil yang sedang menangis di antara rak-rak buku tempatnya sedang membaca sinopsis novel yang akan dibelinya. Damai menenangkan gadis kecil itu dan mengantarkan ke pusat informasi. Gadis kecil itu begitu manis dan penurut, dari tata bahasanya menunjukkan bahwa ia tidak berumur empat tahun seperti yang sudah diberitahukan. Karena ia begitu pintar. Damai kagum dan mungkin akan menjadikannya adik jika saja tidak ada orang tua yang sudi mengakuinya. Belakangan, ia tahu bahwa gadis kecil itu bernama Lilian Arga Saputra. Putri dari salah satu keluarga kaya di seluruh Sedani ini.
"Waduh, telat lagi!" desahnya pelan.
Damai mempercepat langkahnya ketika tahu mobil Bu Lina sudah tidak berada di garasi. Itu tandanya mereka telah berangkat ke peternakan yang terletak di luar kota. Jadi ia berlari kecil melewati jalur mobil di samping taman. Bayangan tentang siapa yang akan menyambutnya di pintu depan membuatnya mulas karena gugup.
Damai yakin sekali ia tidak akan mendapatkan kata maklum, apalagi senyum. Karena yang tersisah di rumah mungkin hanya ada dua orang. Yang satu galaknya minta ampun, yang satu lagi pasti Lily.
Ia sampai di beranda rumah, memencet bel satu dua kali lalu menunggu dengan khawatir. Apa mungkin ia bakal kena omel di dua minggu pertama masa kerjanya. Ia menghela nafas panjang berkali-kali hingga pintu depan terbuka pelan menyambutnya.
Damai terhenyak, dugaannya tepat tentang siapa yang akan menyambutnya di pintu. Dennis Arga Saputra, si manusia es.
"Hai, Denis. Sory terlambat." Damai baru sadar jika rasa gugup mampu membuat suaranya bergetar. Ia menelusuri perawakan manusia dihadapannya dengan sisah kegugupan.
Apa-apaan nih?
Gadis itu melongo menelan ludah. Tubuh setengah telanjang di hadapannya seakan tidak menunjukan rasa malu atau bersalah. Tubuh dan rambut Denis masih basah, hanya terbalut handuk putih yang sepertinya masih baru. Gurat keangkuhanpun masih terlukis di tatapan matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Salahkan Rasaku
Fiksi Remajadamai dan dayu adalah saudara kembar yang harus hidup di antara perceraian orang tua mereka. sebuah keluarga yang retak ternyata cukup memberi pengaruh pada kehidupan cinta si kembar. Bagaimana labilnya Dayu dan kekecewaan Damai dalam menghadapi keh...