It Felt Like Love

3 0 0
                                    

Damai

"Bersihin kamar kamu sekarang juga. Atau kamu pilih angkat kaki dari sini!"

"Heh, keluar. Jangan masuk seenaknya!"

BRAKK!!
Sebuah sepatu melayang keluar dari pintu kamar Dennis, sesaat membentur kusen pintu sebelum akhirnya jatuh tergeletak di lantai.

"Pikirin lagi kalo ngomong 'angkat kaki' ! Kamu yang numpang di sini, bego!"

Sedetik kemudian Bu Lina keluar dengan tangan di kepala, melindungi diri dari lemparan sepatu yang satu lagi.

"Kamu bakalan nyesel, bajingan. Dasar anak setan!" wanita itu mencak-mencak di depan pintu tanpa peduli pada Damai yang sudah datang lima belas menit lalu.

"Sudah kubilang pada Gary supaya nggak pelihara binatang di sini!!"

Lima detik kemudian wanita itu menghilang menuju dapur tapi suaranya masih terdengar dari ruang tengah, mengomel tentang tata krama dan peraturan di rumah itu yang mana telah dilanggar oleh anak laki-lakinya.

Ada apa dengan keluarga ini?

Damai masih duduk di tempatnya, tak bergeming, merasa bingung dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Mengetahui bahwa Molly masih terlelap membuatnya lega. Ia datang kepagian hari ini.

Entah mimpi apa semalam hingga Damai menyaksikan peperangan yang begitu dasyat ini. Berbagai umpatan dan nama seisi kebun binatang telah ia teriakkan bagaikan nyanyian yang menyayat hati. Damai memejamkan mata dan ingin segera pulang.

Dari awal ia bekerja di sini harusnya sudah curiga dengan keluarga kecil mereka. Bu Lina terlihat masih begitu muda, mungkin baru tiga puluh lima tahun atau sekitar itu. Tapi pak Gary adalah pria gendut dengan kepala yang hampir tak menyisahkan rambut sedikitpun. Sementara putri kecil mereka terlihat seperti cucu bagi Pak Gary. Apalagi setelah tahu bahwa mereka punya anak satu lagi di rumah dengan umur yang terpaut jauh dari sang adik.

Damai menerka pasti mereka bukan keluarga yang utuh. Perkiraan itu membuat ia merasa tidak sendirian. Tapi hubungan mereka satu sama lain membuat Damai ngeri, mengingat ia tidak begitu dengan ibu tirinya.

Terdengar derum mobil yang datang dari arah jalan. Damai mengintip dari jendela yang tersingkap. Sebuah dodge terbuka tengah berhenti di jalan masuk.

Pak Gary keluar dari mobil dalam setelan kerja yang sudah lusuh, seakan ia tidak pulang semalaman karena lembur. Wajahnya lelah, matanya merah dan mengantuk. Sebelum akhirnya ia masuk rumah lewat dapur, lelaki setenga baya itu menutup pintu mobilnya keras-keras yang membuat Damai membayangkan apa yang akan terjadi pada Dennis sehabis ini.

Tak lama kemudian terdengar suaranya yang kebingungan. Suara isak tangis bu Lina pun terdengar dari sana.

"Ada apa ini? Kenapa kamu nangis sih, Sayang?"

"Anak sialan itu mulai berani ngelempar sepatu padaku, Pa." ia mulai mengadu.

Tak lama setelah itu Pak Gary menyeret anak laki-lakinya menuruni lantai dua. Tak peduli Dennis masih setengah mengantuk dengan rambut acak-acakan. Pak Gary menghujaninya dengan tinju dan kata-kata kasar tentang Gina.

" Dia bakal malu seandainya masih hidup. Kamu nih apa sih? Manusia nggak berguna, nggak tau tata krama, bikin orang tua malu!" ia kembali meninju Dennis tepat di bibirnya.

Dennis diam tak bergeming, hanya tatapan matanya saja yang bicara. Betapa penuh kebencian lirikan itu jika saja Pak Gary menyadarinya. Tapi laki-laki itu lebih fokus untuk mendaratkan pukulan ke tubuh anaknya.

"Pergi aja kalo kamu nggak bisa diatur! Siapa yang butuh kamu? Bahkan Gina pun nggak!"

Pak Gary menamparnya sekali lagi. Dennis tetap diam, sedangkan Damai tergidik ngeri di tempatnya.

Jangan Salahkan RasakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang