"Setiap cinta akan membawa keresahan sendiri bagi sang perasa. Entah itu resah karena rindu yang belum berhak, atau karena belum bisa menyalurkannya pada tempat yang tepat. "
🍁🍁🍁
Libur panjang akhir semester telah selesai, kini rutinitas sekolah pun kembali bermula. Dengan semangat Hazna menuruni angkot yang membawanya menuju gedung bertingkat yang terletak di tengah kota. Bermodal beasiswa penuh yang ia dapatkan dari kecerdasannya, cukup untuknya bisa bersekolah di sini. Gedung elit yang tersohor karena fasilitasnya yang tinggi.
Awalnya Hazna sempat ragu, bisakah ia bersekolah di sini? Rasanya akan sulit untuk bisa akrab dengan siswi lain yang notabene dari kalangan terpandang. Tidak seperti dirinya yang hanya seorang anak dari tukang jahit kecil-kecilan. Namun, semua itu terbantahkan dengan kenyataan yang berbanding terbalik.
Pertemuan dengan Nisa dan Herin pada hari pertama kepindahannya, sangat ramah dan jauh dari kesan merendahkan. Dari situlah persahabatan ketiganya pun mulai bermula.
Hazna Zaira Annasya, seorang gadis berusia 18 tahun yang baru sekitar enam bulan ini di Jakarta. Sebuah prahara yang terjadi pada keluarga kecilnya membuat ia terlempar ke kota keras ini. Mengais secercah harap. Semoga duka dan luka yang terjadi kemarin, mengering bersama seiringnya sang waktu.
Perlahan, kaki jenjang yang tertutup rok panjang itu melangkah. Menyusuri koridor sekolah yang kian berliku. Senyum terulas dari bibirnya, mengingat perjumpaan kembali bersama kedua sahabat. Rasanya ia sudah tidak sabar, memupuk rindu, menyemai kembali canda tawa yang sempat terhalang karena liburan sekolah.
Bukan hanya itu, rindunya juga tertuju pada seorang siswa dengan paras rupawan, yang telah sukses merenggut setengah hatinya. Langkah itu terhenti sejenak tepat di depan ruang kelas XII IPS, menatap sekilas sosok itu yang tengah terduduk di kursinya. Ia tampak sibuk dengan buku, berbeda dengan teman-temannya yang begitu ramai menumpahkan rindu.
Hazna tersenyum sejenak, detik berikutnya ia memalingkan wajah. Menetralkan debar jantungnya yang kian menggila. Hal yang selalu terjadi bila ia teringat akan sosok itu. Segera ia melirihkan istighfar, menyadari hal yang dilakukannya tak benar. Memandang seorang lelaki yang bukan mahram, tanpa keperluan, apalagi dibarengi dengan keinginan ... ah, entahlah. Dia belum berpikir terlalu jauh. Hanya saja pesona lelaki itu cukup mengusik hatinya.
Nizar, seorang ketua rohis yang kini tak lagi memegang jabatannya, sebab telah ada ketua baru yang menggantikan. Namun, kewibawaannya dalam memimpin kepanitiaan tak perlu diragukan lagi. Ia cukup lihai dalam itu. Apalagi ditambah dengan predikat shalih yang ia dapatkan menambah nilai plus untuknya.
Segera Hazna menjauh dari hadapan kelas tersebut, takut rutinitasnya tertangkap basah oleh orang lain. Bagaimana pun juga ia bukan wanita yang tak tahu malu, yang rela mengemis cinta manusia hanya demi kepuasan sesaat.
Netranya tampak berbinar kala mendapati kedua sahabat yang dirindukan tengah berlari ke arahnya.
"Hazna!" panggil mereka.
"Nisa, Herin."
Setelah berhadapan, mereka langsung berpelukan. Menumpahkan rindu.
"Ih, kangen banget, deh, gue sama lo, Haz," ucap Nisa.
"Aku juga kangen banget sama kalian berdua. Kalian apa kabar?" tanya Hazna.
"Alhamdulillah, gue baik. Baik banget malah. Hihi," jawab Nisa.
"Gak usah dibilangin itu mah, keliatan dari postur lo tuh. Bahagia banget keknya," sahut Herin, sembari menatap tubuh Nisa yang mulai gemukan. Sesaat kemudian ia terkekeh mendapati Nisa melotot ke arahnya.