"Cinta itu menjaga. Bukan dengan pacaran, melainkan pernikahan."
🍁🍁🍁
"Hazna, ayo masuk!" ucap Herin tiba-tiba.
Nizar yang sedari tadi kurang menyukai kehadiran Herin mendadak menoleh saat kata Hazna disebut.
Pandangannya mengikuti arah pandang Herin, yaitu pintu. Wajah gadis itu sedikit terlihat dari kaca kecil di pintu itu. Paras ayu yang tiba-tiba hadir, membuat Nizar merasa lebih segar. Bibirnya sedikit mengulum senyum.
Namun, itu tak lama. Nizar harus kecewa karena Hazna segera berbalik begitu pandangan keduanya bertemu.
'Hazna ....' Nizar membatin. Ia tidak tau harus bagaimana. Rasa itu kembali berontak dalam dadanya.
Rasanya ia ingin menyudahi saja sandiwaran move on-nya, kemudian kembali dan mengikat perempuan itu dengan janji suci. Namun, apakah ia pantas?
Meminangnya saat tak memiliki apa pun? Bahkan biaya sekolah dirimya saja masih bergantung pada kedua orang tuanya.
Nizar hanya tertunduk. Rasa nyeri di sekujur tubuhnya seolah menguap begitu saja. Sesak akibat rasa yang tak dapat tersalurkan lebih membuatnya tertekan.
🍁🍁🍁
"Eh, Haz. Lo mau ke mana?" Ketika melihat Hazna pergi dan tak ikut masuk, Herin bergegas mengejar gadis itu.
Hazna menghentikan langkahnya, kemudian berpikir apa yang harus ia katakan. Alasan yang tepat untuk diberikannya kepada Herin.
"Itu .... mmm ... mamaku barusan SMS, katanya aku harus segera pulang. Jadi ... aku gak bisa nemenin kamu, Her. Maaf," jawab Hazna. Ia terpaksa berbohong karena tidak tau harus memberi alasan apa agar ia bisa pergi dari sana.
Mata elang milik Nizar yang baru saja menatapnya membuat Hazna kembali tak berdaya. Debar-debar dalam dadanya kembali muncul.
Ia merasa tingkahnya ini tidaklah benar. Menjenguk sesama muslim yang sakit itu bagus, tetapi jika ia seorang ajnabi bagaimana? Niat awal Hazna kemari saja sudah tidak tepat, jangan pula ia menambahnya dengan fitnah yang lain. Meski Herin ada, tetapi perihal hatinya masih sulit untuk ia kendalikan. Lelaki dengan paras rupawan itu, perempuan mana yang tak 'kan terpesona?
"Tapi, Haz. Lo ke sini bareng gue, jadi lo harus pulang bareng gue juga. Lo masuk bentar aja, deh, ya," pinta Herin dengan menangkupkan kedua tangannya di dada.
"M-maaf, Her. Aku gak bisa. Aku ... duluan, ya." Setelah mengucapkan itu Hazna segera pergi, meninggalkan Herin seorang diri di depan pintu ruang rawat Nizar.
🍁🍁🍁
Siang yang kian terik terbakar panas matahari, kini menghitam tergulung langit malam. Hazna terdiam di kasurnya menatap langit-langit kamar. Pikirannya jauh menerawang, wajah lelaki itu masih saja betah berdiam dalam pikirannya.
Ia meremas kasur itu, giginya gemeretak. Kaca-kaca di matanya hampir melelah. Sedetik kemudian tangan itu meraih wajahnya, dan menutupi paras itu dengan keduanya. Bahunya kian bergetar, menyuarakan tangisnya dalam diam.
'Kenapa? Kenapa kamu gak pergi-pergi sih? Kenapa kamu betah banget di pikiran aku?' gerutu gadis itu dalam hatinya.
'Pergi! Aku mohon pergi!' perintah batinnya.
Namun, tetap saja. Semakin ia berusaha melupa, sosoknya semakin melekat dalam ingatan.