"Menjauh bukan berarti benci. Hanya saja ada hati yang perlu dijaga, agar tak jatuh pada rasa yang belum tepat."
🍁🍁🍁
Sinar mentari tampak menyengat, keringat pun mulai bercucuran. Tepat di persimpangan yang tak jauh dari sekolah, Hazna berdiri mematung di tepi jalan, menunggu angkutan umum. Waktu pulang telah berlalu dari beberapa menit sebelumnya, hingga area sekolah kini tampak mulai sepi. Ditambah para murid lain yang memang dari keluarga berekonomi lebih, di antaranya menggunakan kendaraan pribadi jadi bisa pulang dengan cepat. Tidak seperti dirinya yang harus menunggu angkot terlebih dulu.
Apalagi ia juga harus mampir ke toko kain langganan ibunya dulu untuk membeli beberapa bahan pesanan costumer. Namun, setelah hampir tiga puluh menit ia di sana, tak ada satu pun angkot yang berhenti. Katanya sudah penuh. Hazna pun mulai gusar. Diliriknya ke kanan dan ke kiri berharap ada angkutan lain yang bisa ia tumpangi. Sayangnya tidak ada.
Mengingat waktu yang mulai beranjak sore, Hazna memilih berjalan kaki saja untuk pulang. Di rumah, ibunya pasti sudah menunggu. Namun, baru saja ia melangkah, sebuah mobil bewarna hitam tampak keluar dari gerbang sekolah, kemudian berhenti tepat di samping Hazna.
Hazna mengerutkan keningnya, bingung siapakah pemilik mobil ini? Dan mengapa berhenti?
Tak lama, seorang siswa keluar dari balik kemudi mobil, kemudian berjalan cepat menghampiri Hazna. Sementara Hazna lebih memilih mundur, kala mengetahui siapa laki-laki itu.
"Kamu mau pulang, 'kan? Biar aku antar," ucap lelaki itu.
Hazna menggeleng, "Maaf, gak usah," tolaknya halus.
"Kita gak berdua kok, ada Putra juga di dalam," ucap lelaki itu sembari menunjuk tempat duduk bagian sisi kiri depan di dalam mobilnya. Terlihat di sana Putra menurunkan kaca mobil dan tersenyum ke arah Nizar juga Hazna.
"Maaf, aku gak bisa. Aku duluan, permisi," ucap Hazna dengan terburu-buru.
Ia tak ingin berlama-lama di dekat lelaki itu. Lebih tepatnya tak mau tekad yang sedang ia coba lakukan, kalah hanya dengan perlakuan manis dari Nizar. Hazna sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menjauhi Nizar, demi kebaikan hati dan juga imannya.
Kemarin Hazna telah kalah, nafsu telah menguasai dirinya. Ia sangat menyesali itu. Kini ia tak mau lagi jatuh ke dalam lubang yang sama. Semua jelas tak benar. Meski tak terikat hubungan alias pacaran, tetapi yang mereka lakukan kemarin sama saja. Mendekati zina.
Kembali Hazna menggeleng, teringat kisah kemarin. Titik hitam itu seakan membayang di pelupuk matanya.
"Hazna tunggu!" panggil Nizar. Namun, Hazna tak memedulikan itu. Ia terus berjalan tanpa menoleh sedikit pun padanya, hingga akhirnya ia benar-benar hilang dari pandangan.
🍁🍁🍁
"Udah gue bilang, kan. Lo sih yang gak mau denger," ucap Putra seraya mendudukkan dirinya di sofa empuk rumah Nizar. Kedua tangannya tampak sibuk dengan cemilan dan remote PS V. Sedangkan Nizar, ia lebih memilih menyandarkan tubuhnya pada tepian sofa, dan memijit kepalanya yang terasa pusing.
"Eh, ini masa gue main sendiri. Gak seru, elaaah," ucap Putra sembari menatap layar monitor di hadapannya yang menampilkan permainan kesebelasan.
"Terserah! Gue lagi males," jawab Nizar. Ia lebih memilih memejamkan mata, berharap bayangan Hazna yang terus berputar di pikirannya, lenyap bersama dengan seiringnya ia terlelap dalam mimpi.
Namun, baru saja sang mimpi hendak membuainya, ia sudah dikagetkan dengan tingkah Putra yang tiba-tiba. Nizar pun akhirnya terlonjak.
"AHA! "