Sakitmu Juga Sakitku

11 1 0
                                    

🍁🍁🍁

Embusan sang bayu menyapu lembut paras menawan sang gadis sederhana. Jilbab putih yang menjuntai, menambah anggun sosoknya di balik seragam nan longgar menutupi raga. Seutas senyum menambah pesona, hingga mencipta bungkam kekata sang pujangga. Binar teduh netra bulat dengan iris cokelat itu, tak sengaja berpapasan dengan mata lain nan memikat.

Debar-debar kembali menggila, selalu saja, seolah tak lelah memasung jiwa. Menunduk malu Hazna mengetahui mata indah milik Nizar tak sengaja menatapnya. Begitu juga dengan lelaki itu, bersegera memalingkan pandangan setelah menyadari kekeliruan. Samar-samar, istighfar terucap lirih dari lisan keduanya. Seketika suasana canggung terasa, kekakuan benar-benar mencengkeram raga.

Sepersekian detik mereka terdiam, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Hati dan logika, saling bertolak belakang.

"Ekhem!" Suara dehaman yang tiba-tiba menghampiri gendang telinga, cukup membuat keduanya terlonjak.

Sontak Hazna dan Nizar mengalihkan pandangan ke arah yang sama. Dua meter sebelah kanan dari tempat mereka berdiri, tampak Putra tengah berjalan ke arahnya.

"M-maaf," ucap Hazna kemudian, seraya melangkah pergi meninggalkan Nizar yang masih mematung di tempatnya. Sementara itu, Putra segera menghampiri Nizar, dan menganggandeng sahabatnya itu untuk pergi dari sana.

"Inget, Zar. Lupain dia!" tegas Putra sembari menarik lengan Nizar menuju parkiran.

"Iya, gue inget, kok. Biasa aja kali nariknya, sakit nih tangan gue," ucap Nizar seraya melepaskan cekalan tangan Putra.

"Elaaah, lebay banget sih lo. Gue tarik gitu doank masa sakit. Lagian lo ngapain dua-duaan sama dia di depan kelas?" tanya Putra penuh selidik.

"Gak sengaja. Pas gue keluar, gak sengaja papasan sama dia," ucap Nizar. Cukup pelan ia menyebutkan kata 'dia', mencoba menekan rasa yang kian berontak dalam dada.

Sedetik kemudian, ia mengembuskan napas, melonggarkan sedikit sekat yang seakan memenuhi sudut hatinya.

"Hmm, oke, deh. Gue percaya sama lo. Good luck, ya, Bro!" ucap Putra seraya menepuk pundak Nizar, kemudian merangkulnya.

Keduanya berjalan beriringan menuju mobil hitam milik Nizar. Putra bukan dari keluarga kaya seperti Nizar, sehingga ia tidak memiliki kendaraan pribadi. Setiap hari selalu berangkat dan pulang bersama Nizar. Selain karena rumah mereka yang tak begitu jauh, keduanya juga sangat dekat. Jadi sudah tidak asing lagi jika mereka melakukan segalanya bersama-sama.

"Kita mau ke mana? Langsung pulang apa main dulu?" tanya Putra ketika mereka telah sampai di mobil milik Nizar. Tubuh itu ia dudukkan di kursi samping kemudi.

"Langsung pulang ajalah. Gue lagi males main gak jelas," ucap Nizar sembari menyalakan mobilnya.

"Heem, oke, deh."

Drrrt ... drrt ... drrrttt ....
Ponsel Nizar bergetar, bergegas ia menggeser icon berwarna hijau di layar gawainya.

"Assalamu'alaikum, Ummi," ucapnya kepada seseorang di seberang sana.

"Nizar baru jalan pulang, Ummi."

"Waaah, siap, Ummi. Nizar akan pulang cepet, jangan dihabisin lho, ya. Bilang sama abi," ucapnya lagi seraya terkekeh.

"Iya, Ummi. Wa'alaikumussalam," jawab Nizar, kemudian mengakhiri sambungan telfon.

"Wiih, kenapa, nih? Seneng beud keknya? Ummi Amida masakin makanan kesukaan lo, ya?" tebak Putra.

"Heem, tau aja," jawab Nizar.

"Enak tuh keknya," ujar Putra.

"Kenapa? Lo mau?" tanya Nizar yang sebenarnya sudah tahu Putra pasti akan menjawab 'iya'.

HAZNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang