Kalakian

133 13 21
                                    

Soepardi membiarkan Djoko mengambil jamung sekaligus apam yang dibalut kerisik dari tangannya. Pembicaraan di rumah Ridho—sang sepuh dusun—kembali mengantar bayang tadi pagi. Dia baru selesai salat di langgar, ketika beberapa orang bergoak-goak sambil berlari kecil. Tidak mengindahkan ajakan Djoko untuk bersembunyi, terburu-buru Soepardi mengambil alih jamung. Langkah pincangnya diayun lebih cepat. Nyaris mulutnya nyonyor terantuk batu yang mencuat di jalan karena tersandung. Cantengan di pinggir jempol kakinya pun meletus; menjalarkan darah disertai nanah di ruas jari dan mengantarkan denyut yang membuat nyeri. Namun, semangatnya mengalahkan rasa ingin mengaduh. Tidak mengindahkan lengket di sela-sela jari kakinya, menanggalkan begitu saja sandalnya, dan menangkis suara Djoko yang berkeriau meracau, Soepardi—dengan langkah yang lebih pincang—menyusul yang lain; menaiki undakan. Begitu menegakkan tubuh dengan napas terengah di pinggir jalan, lima truk tronton beroda enam melintas. Deru kendaraan itu terdengar berat dan bebannya seolah menggetarkan tiang-tiang penyangga jembatan yang menaungi sungai Tjomal. Dan dari batas sisi bagian belakang truk, terpampang kepala-kepala bertopi bulat dan bahu yang menyandang senjata laras panjang.

Ikhbar yang beredar kemarin ternyata benar. Baru lepas napas lega, sudah diikat pula benang tipis di dada. Turut jatuh juga angan tentang generasi muda yang tidak lagi mengejar kereta di stasiun hanya untuk sebiji roti. Kedatangan tamu tanpa permisi itu seolah bunyi pentungan tanda banjir bandang. Semua harap bisa hancur dengan sekali libas.

"Kalian ingat saudara-saudara kita di Surabaya tahun '45 kemarin?" Suara Slemet kembali merasuki telinga Soepardi di antara sensasi deru dan asap lima tronton tadi pagi. "Kalau memang benar ini awal mereka kembali menggempur, maka ini kesempatan kita untuk maju! Jangan biarkan mereka menginjak tanah kita!" Bahkan intonasi pria itu masih menggetarkan hati Soepardi.

Soepardi menghidu dalam udara malam. Rongga hidungnya dingin. Bulu kuduknya berdiri. Dia menjelangak; mengawasi bintang yang banyak. Puas membuat tubuh diterpa balabad, dia menghampiri Djoko yang sudah mematikan jamung. Derit pintu kayunya yang lapuk membuat Djoko menyalip masuk. Tanpa permisi Djoko duduk di pinggir satu-satunya kadera dalam rumah, sementara Soepardi menyalakan lampu minyak.

Cahaya kemerahan dari lampu minyak membuat Soepardi mengedarkan pandang. Dimulai dari lantai rumahnya yang masih tanah merah dan berbatu kecil, kemudian bergeser ke dinding anyaman yang sudah ditambal di beberapa bagian, lalu merayap ke lemari dengan kedua daun pintu yang copot, dan mematok tatap pada bale-bale, tempat dia tidur. Ada bocok di sana, di ujung bale-bale. Mendadak rindunya menyelusup.

Di rumah ini, dulu, kakeknya pernah ditarik paksa lantaran ketahuan mencuri oleh kompeni. Beliau diperintahkan, bersama tahanan lain, untuk membangun kembali jembatan Tjomal yang ambruk. Tidak peduli tubuh yang hanya tulang dibalut kulit, pada akhirnya sang kakek tutup usia. Lima belas tahun berselang, bapaknya yang sedang makan diangkut Belanda. Entah dibawa ke mana. Soepardi hanya ingat bapaknya sering berbicara tentang tanah yang bebas, rumah berdinding bata, dan sawah berhektar-hektar. Tinggal ibu dan tiga kakak perempuannya. Semula damai mulai melingkupi, hingga gerombolan orang berseragam, bersenjata, dan bermata sipit dengan penuh nafsu menyeret ketiga kakaknya. Mereka lenyap diiringi nyawa sang ibu. Yang tersisa hanya dia; Soepardi.

"Kamu yakin, Di?"

Soepardi agak terkinjat. Khayalnya sempat mampir di hari sang ibu wafat. Dia melangkah pelan ke Djoko setelah mendekap bocok. Duduk di sisi yang tersisa dan menghela napas. Apak dan aroma tanah langsung menyeruak. Bau ini beserta suara jangkrik dan tokek yang menyertai, mungkin tidak bisa dia nikmati lagi. Mungkin juga akan dia hidu dan dengar kembali.

"Di, aku tanya kok kamu diam saja? Tuh kan, belum apa-apa kamu sudah begini." Djoko berdiri dan mondar-mandir sambil berkacak pinggang. "Kita masih muda, Di. Ini bukan urusan kita. Seharusnya, kita yang dilindungi. Kita ini generasi bangsa. Mana belum menikah."

Partner in PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang