Bertemu denganmu

362 39 0
                                    

Kau tidak akan pernah tahu kapan kau jatuh cinta, kecuali saat kau melihat wajahnya, kau lupa bagaimana caranya mengendalikan diri.

“Ma,” Panggilanku berkali-kali diabaikan sejak siang. Entah ke mana mama pergi, tapi sejak pagi pun mama tidak terlihat di dapur. Biasanya mama selalu menyibukkan diri dengan eksprimen kue atau bumbu-bumbu masak yang tidak pernah diturunkan keluarga Yudastra. Hari ini sepertinya mama punya beberapa kegiatan penting di kamarnya bersama Julian yang entah sejak kapan merasa kamar mama adalah tempat yang menyenangkan untuk mendiskusikan sesuatu.

Langkahku terhenti saat melewati pintu kamar mama yang tidak begitu rapat. Masih ada sedikit celah untuk udara membawa suara-suara obrolan mama dan Julian.

“Ya, kan, ma?” suara Julian terdengar putus asa. Aku berdiri tepat di depan pintu kamar, berusaha untuk menguping pembicaraan mereka.

“Enggak. Kamu salah liat, Jul,”

“Mama yang bohong. Julian yakin, Jul pernah liat foto itu di album keluarga kita.”
“Buat apa mama simpen foto itu di album keluarga?”

“Makanya hari ini aku tanya sama mama, kenapa foto yang sama ada di album keluarga kita?”

“Aku cuma heran, ma, kenapa foto temennya Jay ada di album keluarga kita,” Julian melanjutkan, sedikit frustasi.

Suara mama tidak terdengar untuk beberapa saat. Aku masih tetap mematung di depan pintu setelah mendengar pembicaraan antara mama dan Julian yang sepertinya serius.

“Ma,”

“Julian! Mama gak punya foto itu dan gak nyimpen foto itu di album keluarga kita!”

Untuk kali pertama aku mendengar mama meninggikan nada suaranya pada Julian yang selama ini tidak pernah mama bentak sekali pun. Sebelum aku sempat pergi saat mendengar suara langkah mama yang makin mendekat, mama sudah lebih dulu membuka pintu dengan sekali sentakkan.

Matanya melebar saat menemukanku di depan pintu. Aku tak mengatakan apa pun pada mama, begitu juga mama. Mama hanya menatapku sekilas dengan mata yang entah kenapa tak bisa aku mengerti arti tatapannya. Setelah itu mama berlalu, meninggalkan atmosfer dingin.

#

Julian terlihat beberapa kali melirik mama dengan tatapannya yang tak terdefinisikan. Laki-laki itu sudah menyelesaikan masa liburannya di Jakarta dan sekarang bersiap untuk kembali ke Jerman.

“Hati-hati,“ Mama mengusap bahu Julian setelah laki-laki itu berkali-kali melayangnkan tatapan yang penuh dengan kegelisahan. Selama beberapa hari terakhir ini Julian dan mama memang banyak menghabiskan waktu bersama. Kadang mereka terkesan menghindariku. Bahkan mereka seringkali membicarakan sesuatu di kamar mama tanpa pernah mengizinkan aku ikut bergabung, padahal selama ini mereka tidak pernah menyembunyikan apapun dariku.

Aku pernah mencoba menguping beberapa kali, tapi mereka bersikap seolah mereka tahu aku berdiri di depan pintu kamar mama, karena itulah mereka bicara pelan.
“Aku ikut nganter, ya, kak?” Milan meletakkan tas bawaan Julian ke bagasi taksi, lalu mendekat ke arah Julian. Julian mengagguk. Aku menggeleng.

"Gue mau ngobrol sama Julian. Lo tunggu di rumah aja,"

Milan memberengut, "Inikan hari terakhir gue liat kak Jul. Lagian lo mau ngobrol apa sih?"

"Pokoknya lo tunggu aja di sini." Ucapku, lalu mendahului Julian masuk ke taksi, sementara laki-laki itu tak mengatakan apa pun baik pada Milan atau padaku.

Mobil melaju meninggalkan kompleks perumahan, tapi tidak ada satu pun antara aku atau Julian yang memulai pembicaraan. Julian bersikap tenang sementara aku tengah menyusun serangkaian pertanyaan yang ingin kuajukan pada Julian, seperti apa yang ia dan mama bicarakan akhir-akhir ini? Atau apa yang mereka sembunyikan dariku?

The Truth UntoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang