Insomnia

347 43 0
                                    

Mula-mula kau akan berpikir bahwa itu hanyalah insomnia biasa. Tapi begitu wajahnya muncul dalam mode repeat seperti sebuah adegan dalam film, kau akan sadar bahwa kau baru saja merindukannya.

Pak Wisnu sedang menjelaskan sesuatu di papan tulis ketika dengan sudut mata tak sengaja kutangkap sosok Tiara yang melintas di selasar kelas dengan seseorang yang mungkin temannya.

"Mengerti?" Suara pak Wisnu mengisi seluruh ruangan kelas, tak lama berganti dengan jawaban serentak teman-teman sekelasku.

"Iya, pak!"

"Oke. Silakan kerjakan soal latihan halaman...." suara pak Wisnu tergantung dan pelan-pelan merendah. Aku tak tahu apa yang membuat guru matematika yang sudah hampir pensiun itu mendadak menggantung kalimatnya, karena mataku masih terpaku pada sosok Tiara yang mulai menjauh dari jendela kelasku.

"Jayandra!" Tiba-tiba suara pak Wisnu menyentak, membawa kepalaku berputar ke arahnya dan mendapati wajahnya dalam ekspresi siap memangsa. Aku berdeham pelan begitu sadar suasana kelas menegang karena ulahku.

"Sudah sering bolos, sekarang kamu melamun di kelas? Kamu pikir saya main-main?"
Aku mengeryit samar. Pak Wisnu berjalan tegas ke arahku.

"Kalau kamu tidak niat belajar, keluar! Kalau kamu mau melamun, keluar! Kalau kamu tidak fokus, keluar!" Bentak pak Wisnu setelah ia berada cukup dekat dengan mejaku. Aku masih mengeryit, berusaha memahami sebenarnya apa yang membuat pak Wisnu begitu marah. Aku hanya melihat keluar kelas tidak sampai dua menit, tapi pak Wisnu bertingkah seolah aku barus saja mengacaukan seisi kelas. Aku hanya diam memerhatikan Tiara melintas, tapi pak Wisnu bertingkah seolah aku adalah yang paling gaduh.

“Maaf, Pak.”

“Maaf, maaf. Saya tidak ingin lihat kamu duduk di sini.” Pak Wisnu berjalan kembali ke depan, lalu, “Tunggu di luar sampai jam pelajaran selesai!”

Bagus. Matematika memang selalu berujung masalah. Tidak ada pilihan lain selain mengikuti kemauan Pak Wisnu untuk menunggu di luar. Dengan langkah gontai yang diseret dan diiringi tatapan iba seisi kelas, aku melangkah keluar. Meraih knop pintu dan membukanya.

Saat pintu terbuka, Tiara sedang melintas tepat di depan pintu. Gadis itu berhenti saat menemukanku mematung di ambang pintu.

“Sedang apa? Cepat keluar!” suara Pak Wisnu terdengar menyentak entah untuk yang keberapa kalinya. Bahkan aku yakin Tiara bisa mendengar suara Pak Wisnu karena gadis itu sempat mencuri pandang ke dalam, seolah ingin tahu apa yang baru saja terjadi padaku. Dan apa yang membuat Pak Wisnu berteriak.

Satu langkah yang pasti membawaku keluar dari kelas. Pintu kelas kututup rapat-rapat. Dan tinggallah aku berhadapan dengan Tiara yang menatapku datar. Wajahnya menunjukkan semburat canggung seperti ia yang biasanya. Sebelum aku sempat membuka mulut untuk meminta maaf karena aku tidak bisa mengantarnya pergi ke audisi Jakarta Voice, Tiara lebih dulu memalingkan muka. Gadis itu tak menungguku menjelaskan apa yang terjadi kemarin dan di matanya berkelebat sesuatu yang tak dapat dijelaskan, entah itu rasa kesalnya padaku atau justru kesedihan yang aku sendiri tidak bisa mendefinisikan alasannya.

“Ra, spidolnya?” gadis lain yang tadi melintas bersama Tiara menyikut lengan Tiara pelan, membuat Tiara dengan cepat menyodorkan spidol di tangannya.

“Lo tadi liat gak bu Hana? Genit banget, kan?” teman Tiara yang sekarang memegang spidol menuntun Tiara untuk berjalan menjauh dari kelasku. Tiara tak merespon seperti gadis lain yang akan mengiyakan. Gadis itu justru tertunduk dan hanya membalas dengan senyum singkat yang samar.

“Kalo menurut lo, kenapa bu Hana gitu?”

Tiara menggeleng. Sama sekali tak mengatakan kata-kata yang mewakili jawabannya. Gadis itu berkomunikasi seolah ia penyandang tuna wicara.

The Truth UntoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang