14

708 138 19
                                    

Pengarang : Yanni0306

Gelanggang Hitam 3

Aku berjalan menyusuri koridor panjang ini seperti sedang melangkah di awan. Berpijak, tapi seperti menginjak ruang hampa. Aku mungkin menua, tapi aku masih punya sisa nyali untuk apa pun resiko yang menghadangku. Bukan pecundang yang ciut hadapi apa pun, atau siapa pun. Tapi ... tidak jika itu menyangkut anakku. Putriku. Rasa takut terlalu nyata melebihi demit mana pun yang menampakan diri.

Kenapa Ariana sampai terlibat sejauh ini. Dalam pusaran yang bukan arusnya. Aku saja belum sempat bertanya tentang lab ini pada Prof Jalu. Apa hubungannya, sejauh mana dan apa sih misi proyeknya. Apalagi SCR adalah syarat yang disepakati ketika Ariana memutuskan menerima bantuan pendidikan dari Sang Dermawan itu. Lalu sekarang Ariana ditodong senjata oleh pihak SCR dan siap ditembak mati kapan pun tanpa pertimbangan lagi. Selain pertimbangan Prof Jalu. Kenapa Ariana senekat ini?  Informasi apa yang dia pegang? Apakah dia mengancam karena posisinya terpojok. Ketahuan menyusup?  Ini terlalu rumit untuk bisa dipahami sekarang.

Aku bahkan tak tahu SCR itu apa dan untuk apa. Aku tidak terlalu jauh menduga tentang SCR yang dijadikan syarat mengikat untuk Ariana. Oke aku tahu ini ilmu baru yang di lembagakan. Tapi tak tahu serumit ini. Tadinya aku beranggapan Dermawan itu hanya orang "sinting" sama seperti para milyader lain di dunia, yang membuat proyek aneh-aneh untuk membuang dolar-nya. Terobsesi mendirikan ala ala area 51 milik USA. Meneliti semacam bunyi-bunyian dari luar angkasa, yang manfaat ilmunya baru bisa digunakan mungkin puluhan tahun kedepan. Tidak begini. Aagh.

Tapi nyatanya ini yang terjadi. Sekarang saatnya aku harus memahami situasi secepat mungkin. Aku harus bangunkan lagi kemampuan lamaku sebagai agen. Aku pernah memburu para Runner sampai ke lubang semut dan membongkar konspirasi di belakang mafia pencurian Artefak. Aku mungkin hanya perlu melakukannya sekali lagi, sebelum benar-benar pensiun. Andai bukan anakku. Darah dagingku, aku pasti tak peduli andai dunia ini runtuh sekali pun. Ah sial!

Perlahan perasaan awam yang ketakutan, kusingkirkan. Kupaksa otakku bekerja. Mengumpulkan sebanyak mungkin praduga dan mencernanya pelan-pelan. Aku mulai detil mengamati tiap inci ruangan yang kulewati. Tak ada sisa. Sepintas tak ada jalan ke arah manapun selain pintu baja yang terhubung ke lobi. Tidak ada semacam pintu darurat seperti normalnya gedung-gedung lain. Jadi andai terjadi kebakaran dan pintu baja itu macet tak bisa dibuka, ya sudah, wasalam.

Detak jantungku mulai melambat dan berangsur normal. Setiap langkah yang ku ayun seperti alat terapi. Membantuku menghitung helaan nafas, juga denyut jantung. Denyut yang berangsur kembali pada denyut normal. Dan ketika tangan paranganti mendorong tuas pintu baja, aku sudah siap bekerja sepenuhnya.

Semerbak tipis-tipis wangi gaharu langsung menyambutku begitu masuk area loby. Kerumunan orang bersenjata menghalangi pandangan dari dua orang yang tengah ramai-ramai dibidik senjata lars panjang. Paranganti dan Prof Jalu langsung menerobos pasukan tanpa seragam bersenjata itu. Aku tidak. Aku perlu waktu memeriksa segala detil di ruang loby yang luas ini. Tujuan satu. Mencari pintu darurat. Aku harus mencari alternatif apapun jika kejadian ke depan tidak sesuai harapan, atau chaos.

"Anak muda, kalian sudah lancang memasuki area terlarang kami."

Suara Prof Jalu menggema membawa kesan makin mistis. Disini lebih dingin dari pada ruang dalam. Seperti ada hembusan angin yang mungkin datang dari lorong gua.

Tak ada jawaban, atau jawaban tertahan karena bunyi derap sepatu memantulkan gema lain. Aku harus berjinjit sebelum melihat seorang laki-laki sebayaku berlari dari arah pintu baja lain membawa secarik kertas yang dijepit jari-jarinya. Tangannya menjulur menyerahkan kertas itu pada Prof Jalu. 

Beautiful MindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang