BIAN

67 6 2
                                    

Anes memandang Alif dengan saksama. Diperhatikannya wajahnya dan dibalik-balikkan dengan tangannya dengan amat kasar. Alif meringis karena sakit.

"Bian, kok kamu berubah jadi jelek begini? Apa karena kebanyakan makan manusia?" tanya Anes sembari mendorong tubuh Alif yang duduk dan langsung terjengkang.

"Aku bukan Bian!" jawab Alif dengan penuh emosi dan meringis merasakan sakit di bokongnya. Pemuda itu lalu berdiri sembari usap belakangnya.

"Loh, kok bukan. Kupikir tadi kamu Bian?" Anes melongo dan menuding wajah Alif dengan telunjuk yang berkuku runcing. Hampir saja mata Alif tertusuk kalau saja pemuda itu tidak menangkis tangan Anes.

"Aku lebih ganteng dari Bian! Dia jelek tau!" katanya dengan semangat membara memuji diri sendiri.

"Apa! Genteng?!" Anes menyahuti.

"Ganteng!" teriak Alif.

"Muka hancur!" hina Anes sembari mendorong wajah Alif.

Mereka menjadi pusat perhatian penghuni kantor kejaksaan. Pasalnya mereka berbicara keras alias teriak-teriak dari tadi.

"Sania mana?" tanya Alif.

"Bukannya sudah diberitahu kalau dia lagi mau pulang ke sini. Masa kamu yang nerima teleponnya malah gak paham," sindir Anes.

"Kupikir dia satu hari sudah pulang," gumam Alif.

"Kau kira mengurus paspor itu cukup sehari. Ini bukan dalam negeri yang bisa naik angkot satu jam, sudah bisa sampai tujuan." Anes mengomeli Alif.

"Ada apa, Nes. Dari tadi marah melulu. Siapa dia?" tanya Alfa. Pemuda manis yang juga sedang kasmaran dengan Sania.

"Ini teman Bian, dia ke sini cari Sania," jawab Anes dengan cemberut.

"Oh, kalau Sania ... katanya bakal datang lusa. Soalnya masih mengurus kepulangannya ke sini. Sekalian katanya beli hadiah buat si Bian," kata Alfa dengan wajah sedikit kecewa.

"Kok aku gak dikasih tahu ama dia ya?" tanya Anes.

Alfa mencibir mengejek Anes. "Kamu gak penting kali," sindirnya.

"Huh!" Anes melipat kedua tangannya di depan dada dan cemberut.

"Kalau gitu saya harus gimana ini?" tanya Alif bingung.

"Pulang, memangnya mau apa kamu di sini," kata Anes.

"Oke, tapi kasih tahu ke dia ya?" pesan Alif. "Saya pamit," pamitnya.

Anes hanya mengangguk saja saat Alif pamit dan meninggalkan kantor mereka. Sean datang dengan setumpuk berkas, ia sempat heran melihat Anes cemberut.

"Kenapa lagi, sih?" tanya Sean.

"Bian, tuh. Dia datang lagi," adu Anes.

"Memangnya kenapa?" tanya Sean sembari menyusun berkas di atas meja.

"Aku gak suka. Biarpun dia tampan, tapi bekas itu," kata Anes. "Ngeri aku," tambahnya lagi seraya mengusap lengannya pertanda amit-amit.

"Sania-nya, mau. Ya kita bisa apa," kata Sean.

Anes diam dan merenungi ucapan Sean. Memang benar Sania yang menginginkan Bian berada di sisinya, tapi ia tidak menyangka bahwa pemuda itu nekat datang mencari Sania. Ditambah lagi ia paham benar sifat Sania yang keras kepala dan sangat membela pemuda itu.

________

Bian sepulang kerja sendirian saja tiada Alif yang biasa menemaninya. Entah ke mana anak itu sekarang, tapi yang jelas Bian tidak paham kenapa Alif sering absen dari pekerjaannya.
S

serial Sania dalam episode BIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang