*Lingkungan Baru*

83 12 3
                                    

BIAN tidak mengerti bagaimana harus hidup di lingkungan baru yang sekarang untung Alif selalu mendampinginya dan mengajarkannya untuk bertahan mencari nafkah.

"Tolong lah Bos, kasihan dia baru datang dari kampung." Alif membujuk kepala proyek bagunan rumah di mana tempatnya bekerja.

Atasannya memperhatikan Bian yang sedang disuruh menunggu di bawah pohon. "Apa izasah anak itu?" tanyanya.

"Tidak sekolah, tapi dia bisa bekerja mengangkat  pasir atau bata Bos. Tolonglah kasihani saudara saya itu." Alif memelas. Wajahnya sudah hampir pasrah.

"Baik panggil dia ke sini dulu." Perintahnya.

"Baik!" Alif dengan semangat menghampiri Bian.

Kepala proyek itu memandang mereka yang menuju ke arahnya. "Benar kamu niat kerja?" tanya atasannya saat Bian sudah di hadapannya.

"Ya, saya niat sekali." Jawab Bian mantap.

"Kamu tahu bahan-bahan bangunan?" tanya bosnya.

Bian tampak bingung ia menatap Alif. Ia tidak tahu sama sekali tentang itu.

"Bagaimana kamu bekerja kalau kamu tidak tahu apa pun." Tegur atasan Alif.

"Biar saya yang ajari Bos, di desa dia hanya memakai bahan bangunan dari kayu dan beratap daun saja, jadi kurang mengerti tentang bahan beton." Jelas Alif.

"Baik, kamu ajari dia sampai bisa, kalau salah kamu yang tanggung ini semua." Bosnya memperingatkan.

"Mulai sekarang kamu bekerja di sini, ingat ya baik-baik kamu. Soalnya aku bakal disalahkan bos kalau sampai kamu berbuat salah." Alif menasehati sembari menepuk bahu Bian.

Bian mengangguk patuh. Alif tersenyum dan mulai mengajari Bian berbagai macam pekerjaan yang harus ia lakukan. Bian dengan patuh mengikuti setiap perintah temannya itu.

Jam menunjukkan pukul 17: 00 itu waktunya mereka untuk pulang dan beristirahat di rumah.

"Lif aku duluan ya!"  Tito melambai pada Alif sembari berjalan.

"Oke sip!" Alif berteriak sembari mengangkat topinya ke atas kemudian dipakainya untuk mengipasi wajahnya.

"Lif,"  Bian menepuk pundak sahabatnya.

Alif menoleh pada Bian. "Apa?"

"Sampai kapan aku kerja di sini?"

"Ya sampai kamu dapat kerja baru atau ketemu dia, lah...,"  Alif kembali mengipasi dirinya sambil berjalan pulang.

Bian mengikuti langkah Alif. "Tapi aku gak tahu rumahnya di mana?"  Pertanyaan Bian itu diiringi dengan suara sedih.

"Puh."  Alif membuang napas lelah. "Kamu ini merengek terus. Malam menangis, subuh menangis, sore menangis. Aku sampai harus bergadang tiap malam demi mendengar tangisanmu. Aduuh...  saat ini juga kamu hampir menangis." Alif mengeluh melihat Bian mulai menangis lagi.

"Habis mau bagaimana lagi hikz, hikz..!"  Bian mengusap air matanya.

Alif berhenti sejenak. Ia menepuk bahu Bian.  "Ya sudah, nanti kucari dia, tenang saja."  Janji Alif.

"Benar!" Bian langsung sumringah.

"Ya... pakai plakat tulisannya orang ilang, sekalian atau spanduk, gampang mah kalau itu deh tinggal nyolong spanduk warung makannya Mak Rina." Jawab Alif asal.

"Nyolong itu apa?" tanya Bian yang lugu.

"Ngambil barang. Ah sudah. Pulang yuk, entar keburu magrib."  Alif segera menarik Bian pulang.

serial Sania dalam episode BIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang