Butterfly

16 4 0
                                    

Tanah gembur pekarangan disana menjadi saksi atas segala kisah hidup Ami.
Dan bunga yang bermekaran disana menjadi pendukung terindah atas segala kisah hari ini.

Ami benar benar ingin menjabat tangan itu. Ingin membuktikan bahwa itu bukan hanya semu.
Dan berharap bisa berteman dengan waktu,
Agar semuanya tak cepat begitu saja berlalu.

"Cukup bunganya segitu aja?"

Sapa Ami memecahkan fokus Justin yang sedang merapikan tangkai tangkai bunga yang baru saja Ia petik 15 menit lalu.

Justin menjawab dengan anggukan.

Gemasnya. Batin Ami berteriak.

Bagaimana bisa ada manusia yang segemas ini? Kemana saja Ami selama ini?
Atau, kemana saja Justin, baru menyapanya hari ini.

"Kalau boleh aku tau, kenapa kamu mau ucapin terimakasih sama teman temanmu"

Sekarang mereka sudah ada di ruang tengah Ami lagi. Sudah merapikan perkakas, sudah menyusun rapi bunga dikeranjang Justin, sudah cuci tangan, dan sudah memenuhi pipi masing masing dengan kukis dipiring didepan mereka.

"Oh itu," Justin mengunyah cepat dan menelannya sebelum Ia menjawab pertanyaan Ami.

"Aku dulu benar benar ingin punya teman, teman bermain. Tapi aku takut, nanti aku selalu jadi anak bawang, karena aku paling kecil.."

Ami mendengarkan.

"Tapi, saat aku memberanikan diri bergabung dengan mereka, ternyata tidak semenakutkan itu.."

Tangan Justin mengambil susu dan menenggaknya disela ceritanya.

"Aku tadinya berdiri dikejauhan memperhatikan mereka bermain, lalu, ada satu anak laki laki berusia diatasku, menghampiriku dan bicara seperti ini..."

Justin mencoba menirukan temannya,

"Kenapa kamu sendirian, ayo, gabung"

Ami mengerjap melihat perubahan bicara Justin yang berwibawa saat menirukan orang lain.

"Dari situ aku tergerak untuk gabung bersama mereka, aku tidak tau kenapa cuma dengan satu kalimat itu aku bisa dengan cepat mempercayainya. Aku sama sekali jadi tidak ragu bermain bergabung dengan anak anak yang usianya 2 sampai 5 tahun diatasku. Aku malah merasa mereka bisa menjagaku?"

"Memangnya kenapa kalau bermain dengan anak anak yang usianya diatas kita?"

"Tidak tau, aku hanya takut aku akan mengacau dan mengganggu mereka, karena mungkin ada banyak hal yang aku tidak paham dari obrolan dan cara mereka bermain?"

Ami mengangguk paham.

"Terus, kamu mau kasih bunga ke satu orang itu, atau?"

Justin menggeleng sebelum menjawab.

"Tidak, ke semuanya."

"Oh banyak?"

Ami mulai bersemangat tapi minder diwaktu bersamaan.

Ia bersemangat karena mungkin saja Justin dengan baik hati mau mengenalkannya dengan teman temannya, dan Ami mendapatkan teman baru. Tapi disisi lain Ami pun minder, ah mungkin saja, Justin menemuinya hanya karena butuh bunga? Bukan karena ingin berteman dengan Ami. Toh, Ia sudah punya banyak teman, untuk apa Ia menemui Ami lagi, kalau bukan untuk bunga.

Justin mengangguk mengiyakan jawaban Ami.

Benar saja, Justin punya banyak teman. Bagaimana tidak? Anak periang seperti Justin sangat jauh berbeda dengan Ami yang penyendiri, tukang merendahkan diri sendiri, menyalahkan dunia padahal Ia sendirilah yang membuat dirinya bergelut dengan sepi.

Justin menyadari perubahan ekspresi Ami.
Ada apa? Batin Justin.

"Kamu kenapa?"

Ami yang tidak sadar perubahan dirinya pun mencoba membalikkan keceriaannya saat Justin mememperhatikan. Ami tersenyum.

"Aku juga mau punya teman..."

Aku Ami sambil seraya menunduk.

"Aku? Kita kan teman?"

Justin kembali memperlihatkan deretan giginya dengan senyum yang lebar. Mencoba menghibur.

"Aku kesini memang awalnya cuma mau minta bunga, tapi aku kira kita bisa jadi teman juga?"

Ami merasa ada sesuatu yang berlari kencang didadanya, berterbangan diperutnya hingga ke kerongkongan. Sesuatu yang terasa hangat tapi menyejukan disaat bersaamaan.

"Iya kan?" Justin menanyakan ulang.

Ami tersenyum sebelum bertanya balik.

"Kamu.. mau jadi temanku?"

Justin mengangguk sambil mengambil susu dan menenggaknya setelah itu.

"Kenapa?"

"Harus pakai alasan?"

"Mungkin?"

"Ummm..."

Justin mengernyitkan dahi pura pura berpikir keras.

"Karena... kamu punya kukis, dan kukismu enak?"

Ami tersenyum lebar menanggapi jawaban Justin yang Ia tahu itu omong kosong tapi tetap menghangatkan.

"Kita tidak perlu alasan untuk berteman, Mi. Kalau aku ada buat kamu, kamu ada buat aku, bukannya itu cukup?"

Ami benar benar tidak mengerti harus apa. Bahkan, Ami benar benar tidak tahu Ia ada dimana?

Kalau ini mimpi, tolong jangan bangunkan dulu.

Ami tidak ingin pergi dari situ,
Ami ingin berbicara pada waktu,
Untuk tidak cepat berlalu.

Semuanya saat ini benar benar membuatnya merasa berada dikebun bunga yang luas dan indah.
Ia tidak tahu sebegini hebatnya merasa diakui keberadaannya.

Aku ada buat kamu,
Kamu ada buat aku,
Bukannya itu cukup?

Kalimat yang saat ini membuat hati Ami terbang bebas diangkasa.

Lagi, Ami tidak tahu harus apa,
Yang ia tahu, tolong jangan bangunkan dia.

"Mi, kalau kamu mau, aku bisa kenalkan teman temanku yang hebat itu padamu?"

Deg.

"Karena menurutku, mereka juga akan menyukaimu, kamu baik, pintar, mendengarkan, suportif, dan kukismu enak. Hehe."

Justin nyengir seraya mengambil kukisnya lagi.

Justin, Ami bertekad, bahwa Ia akan memperbanyak membaca buku, memperbanyak mendengarkan ceritamu, menjadi pendukung nomor satu,
dan membuat kukis beratus ratus ribu.

Di lain sisi, Ami masih terus berharap tidak ada yang membangunkannya. Saat semuanya terasa indah.
Ia ingin menggenggam tangan itu, agar Ia tidak kemana mana, agar Ia tetap disana.
Mungkin bisa saja Justin seperti kupu kupu ditengah keindahan taman bunga, yang jika tidak Ia tangkap, Ia akan terbang jauh kapan pun Ia suka.

Dan Ami harap Justin adalah kupu kupu, yang hanya terbang di kebun bunganya yang terpencil itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 19, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bless Those Smeraldo(s)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang