"Apakah ini adalah jawaban atas segala doa yang kupanjatkan selama ini? Jika memang jawaban ini adalah jalan terbaik untuk kita, aku ikhlas."
Setelah lulus kuliah satu tahun yang lalu, Hasna memutuskan untuk membantu menjalankan usaha milik keluarganya. Sejak umurnya tujuh tahun, kedua orang tuanya fokus memulai usaha katering serta sewa pelaminan dan berbagai keperluan pesta lainnya. Suka duka telah mereka rasakan dalam menjalankan usaha tersebut.
Hasna sangat senang bisa membantu kedua orang tuanya. Sejak kecil ia sudah mempunyai impian memiliki usaha sendiri di kemudian hari. Sebab, ia ingin sekali bisa membuka lapangan pekerjaan. Setidaknya, dalam sisa hidupnya, ia ingin menjadi seorang manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Oleh karena itulah, ia sangat bersungguh-sungguh membantu mengelola usaha tersebut. Layaknya jam terbang yang kelak akan bermanfaat di kemudian hari.
Umaiza Wedding harus terus berjaya, cemerlang dan membawa berkah. Seperti halnya Umaiza yang diambil dari nama belakangnya, yang berarti cemerlang dan cantik.
Perempuan berkerudung abu muda itu baru saja merapikan meja tamu di rumah galeri Wedding Umaiza. Ia menumpuk kembali album-album foto menjadi satu. Meskipun dirinya adalah anak dari pemilik usaha tersebut. Bukan berarti di sana ia bisa ringan tangan dan membebankan segala pekerjaan pada pegawai di sana. Tak jarang, ia sering kali turun tangan melayani langsung calon konsumen yang akan menggunakan jasa mereka. Oleh karena itulah, pegawai yang ada di sana sangat menyukai kehadiran Hasna.
Hari itu cuaca cukup bersahabat, di luar sana langit cukup cerah. Seseorang perempuan memakai setelan syar'i berwana biru muda tengah membuka pintu masuk rumah galeri Umaiza Wedding yang terbuat dari kaca transparan.
"Assalamualaikum." Kala Hasna mendengar suara itu, ada desiran aneh yang menjalar ke seluruh aliran darah dalam tubuhnya. Suara yang sudah lama sekali tak ia dengar secara langsung. Secepat kilat Hasna membalikkan badan. Mengurungkan niatnya hendak membuat tes manis untuk dirinya sendiri.
"Walaikumsalam," jawab Hasna dengan nada lembut. Seolah mimpi di siang bolong, ia tak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini.
Perempuan itu tersenyum menggoda pada Hasna. "Sampai kapan kamu mau bengong di situ? Memangnya kamu nggak rindu sama sahabatmu ini?"
Hasna berlari kecil menghampiri tamu yang tak diduganya. Lalu memeluk sahabatnya yang sudah lama tak berjumpa dengannya. "Masyaallah, Isti kapan kamu pulang? Kenapa nggak kasih kabar, sih?"
Isti tertawa kecil, kemudian berkata, "Kejutan."
Mendengar ucapan itu Hasna mencubit pipi Isti karena geram. "Seharusnya kamu kasih kabar dong. Jadi aku bisa jemput kamu di bandara."
Sejak lulus kuliah tahun lalu, Isti mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di Bandung. Tentu saja, ini adalah pertemuan pertama mereka sejak terpisahkan satu tahun yang lalu.
Hasna mencekal tangan Isti, lalu memberinya isyarat untuk duduk di atas sofa berwarna hijau tua.
"Sama siapa kamu ke sini? Mas Farhan mana?" tanya Hasna kemudian sambil mencuri-curi pandang ke pintu masuk.
"Mas Farhan masih ada urusan di kantor jadi nggak bisa ikutan datang ke sini. Tapi, coba tebak, aku ke sini sama siapa?" tanya Isti membuat perempuan bermata cokelat itu penasaran.
"Memangnya sama siapa? Jangan bilang sama calon suamimu?" tanya Hasna dengan nada bercanda. Bersamaan dengan meluncurnya pertanyaan itu, seseorang perempuan yang juga memakai setelah syar'i berwarna hijau daun mengucap salam pada mereka.
"Assalamualaikum," katanya lemah lembut, membuat Hasna dan Isti spontan menoleh kepadanya.
Isti dan Hasna menjawabnya bersamaan. "Walaikumsalam salam."
Mendapati kehadiran perempuan itu, Isti lantas berdiri dari posisi duduknya menghampiri perempuan berkulit putih itu. Dengan senyum menghiasi bibirnya, Isti memperkenalkan perempuan itu segera. "Hasna perkenalkan perempuan cantik ini namanya Nayya. Calon istri mas Farhan."
"Ca-calon istri?" tanya Hasna agak gugup, sedikit ragu jika ia salah dengar ucapan sahabatnya.
Sedangkan perempuan bernama Nayya itu masih saja diam dengan senyum manis melekat di bibir merah mudanya.
"Iya, calon istri mas Farhan. Mereka akan menikah bulan depan." Isti menggandeng lengan Nayya. Keduanya pun duduk di berdampingan.
"Kamu kok nggak cerita, sih?" Hasna sengaja memasang wajah cemberut pada Isti.
"Kejutan!" seru Isti sambil terkekeh.
Hasna melipat kedua tangannya di depan dada. Masih dengan wajah jutek yang disengaja. "Terima kasih banyak atas kejutannya hari ini Isti-ku. Lain kali kalau aku yang mau menikah, aku bakalan kasih tahu kamu satu hari sebelum acaranya."
Mendengar ancaman itu, Isti tidak bisa menahan diri untuk tidak bangun dari posisi duduknya dan mencubit pipi Hasna. Melihat keakraban yang terjalin antara kedua sahabat itu, Nayya tidak bisa menahan diri untuk tidak ikut tertawa.
Siapa saja yang melihat tiga perempuan yang tengah tertawa dan bercanda di sana, memang tampak tak ada masalah. Tapi tidak ada yang tahu, jika ada satu hati yang tengah menahan luka tak berdarah.
Terima kasih sudah mampir membaca.
Jangan lupa vote dan tinggalkan komentar, ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Untuk Hasna
SpiritualJangan lupa tinggalkan jejak, ya. Blurb: Perempuan itu seperti mawar putih di antara ribuan mawar merah. Bersahaja. Siapa saja yang memandang wajahnya, tak akan pernah merasa bosan. Lemah lembut sikapnya, membuat siapa saja yang berada di dekatnya m...