"Aku tidak ingin berharap banyak, aku hanya ingin seseorang yang bisa menerimaku apa adanya, dan ingin berjuang bersama menjemput ridho Allah dan kedua orangtuaku."
Perempuan berkulit kuning langsat itu masih setia duduk di atas tempat tidur sambil memeluk erat kedua lututnya. Hasna tak bisa menyembunyikan kesedihan yang masih melekat di wajah manisnya. Ia masih tidak percaya dengan kejutan-kejutan yang didapatnya hari ini. Mas Farhan akan segera menikah. Laki-laki itu, laki-laki yang tak bosan ia sebut di setiap bait doa yang ia panjatkan. Apakah ini adalah jawaban atas doa-doanya selama ini?
Sudah sejak lama ia menaruh hati pada Mas Farhan. Bertahun-tahun ia menyimpan rahasia itu dalam diam, bahkan dari sahabatnya sendiri. Ia terlalu takut untuk mengutarakan perasaannya. Selama ini, bisa menjalin hubungan pertemanan dengan Mas Farhan saja sudah membuatnya merasa senang.
Masih segar dalam ingatan Hasna kala pertemuan pertamanya dengan Mas Farhan. Sejak hari pertama masuk SMA, Hasna dan Isti sudah langsung akrab. Selanjutnya, pertemanan keduanya bagaikan sepasang sandal. Di mana ada Hasna, di sampingnya pasti ada Isti.
Awalnya Hasna tidak tahu jika Isti mempunyai seorang kakak yang juga sekolah tingkat akhir di sana. Suatu hari Hasna mendapati Isti dan Mas Farhan pergi dan pulang sekolah bersama. Dengan polosnya, Hasna mengira keduanya adalah sepasang kekasih. Dan alangkah malunya saat mendapati fakta keduanya adalah saudara kandung.
Setiap kali membayangkan masa itu, selalu saja ada semburat merah yang menghiasi pipinya. Mempunyai seorang sahabat seperti Isti sudah merupakan kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Sebab, perempuan itu adalah saksi perjalanan hijrahnya dimulai. Sejenak... ia bisa melupakan kesedihannya.
Perempuan itu akhirnya membebaskan diri, berjalan menuju meja belajarnya yang sampai sekarang tidak bergeser sedikit pun. Lalu duduk di atas kursi dan mengambil novel islami yang bertengger manis di dekat laptop, lalu mulai membacanya. Mencoba mengalihkan sejenak pikirannya.
Beberapa saat kemudian, saat pikirannya tidak benar-benar teralihkan, seseorang perempuan baya mengetuk pintu kamar Hasna. "Hasna, kamu belum tidur, kan?"
Mendengar suara bundanya, Hasna langsung menjawab panggilannya. "Iya, Bun. Masuk saja, pintunya belum aku kunci kok."
Terdengar suara derit pintu terbuka, Hasna menoleh dan mendapati bundanya yang tengah berjalan ke arahnya sambil membawakan sepiring buah-buahan yang sudah dikupas. Ada apel, pir, dan semangka.
Buru-buru Hasna bangun dari posisi duduknya dan mengambil alih piring tersebut. "Bunda kok repot-repot?"
Bunda Hasna tersenyum manis, kemudian mengelus halus rambut anaknya. "Memangnya nggak boleh? Mumpung kamu belum nikah. Kalau nanti kamu sudah nikah, nggak ada lagi loh yang jadi tukang kupas buah."
Hasna tertawa kecil mendapatkan gombalan itu sembari meletakkan piring berisikan potongan buah itu di atas meja. Lalu memeluk hangat bundanya. "Terima kasih, ya, Bunda."
Merasa seperti ada yang salah pada anak perempuannya, perempuan baya itu melepaskan lembut pelukan Hasna dan mendapati anaknya tengah berlinang air mata. Kaget, perempuan itu mendadak panik. "Eh, kamu kenapa menangis sayang? Ada apa? Cerita sama bunda kalau ada masalah."
Hasna tersenyum kecil, tampak enggan menceritakan isi hatinya. Dengan punggung tangan, ia mengelap sisa air mata di pipi. "Nggak kok, Bun. Aku cuma sedih saja kalau nanti setelah menikah harus pisah sama Bunda dan Ayah."
"Yakin bukan karena hal lain?" tanya bunda memastikan.
Hasna menggeleng. "Kalau nanti aku menikah, boleh nggak aku tinggal di sini sama bunda dan ayah saja?"
Meskipun sudah tahu akan mendapatkan jawaban seperti apa., Hasna sangat berharap bisa tinggal bersama bersama kedua orang tuanya meskipun nanti ia telah menikah.
"Sayang, sebagai seorang istri yang sholeh sudah sepantasnya kamu ikut suamimu. Meskipun begitu, kamu masih bisa mengunjungi bunda sama ayah."
"Iya, iya, lagian aku belum mau nikah, kok. Masih mau pacaran sama bunda dan ayah." Hasna mulai menggoda bundanya.
"Bunda, sih, maunya juga begitu. Sampai kapan pun kamu adalah putri kecil kami. Bunda yakin, suatu hari akan ada laki-laki terbaik yang melamar putri cantikku ini. Laki-laki yang nggak menghalangi kamu untuk terus berbakti kepada orang tua."
"Aamiin."
Hasna pun berharap demikian, semoga Allah segera mempertemukannya dengan orang yang tepat.
Terima kasih sudah mampir membaca. Jangan lupa tinggalkan like dan komentar, ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Untuk Hasna
SpiritualJangan lupa tinggalkan jejak, ya. Blurb: Perempuan itu seperti mawar putih di antara ribuan mawar merah. Bersahaja. Siapa saja yang memandang wajahnya, tak akan pernah merasa bosan. Lemah lembut sikapnya, membuat siapa saja yang berada di dekatnya m...