Chapter 1

31.8K 853 34
                                    

Hanna Kalandra menjadi pusat perhatian karena dandanannya yang membuatnya begitu imut, dengan tingginya yang berkisar 152 centimeter bersama bando merah, serta mini dress polkadot merah, rambut panjang blonde, mata besar dengan netra biru, juga bentuk wajah agak berisi, dan bibir merah muda tipis. Ia serupa boneka Barbie yang hidup.

Langkah cerianya bersama sepatu hak tak terlalu tinggi berwarna merah pun tak kalah menunjang penampilannya, menambah kemanisan gadis mungil tersebut di pagi cerah di mana banyak orang berlalu lalang di sekitarnya.

Sembari memegang tali tas selempang yang juga serba merah, ia berjalan-jalan di trotoar, sesekali menatap kiri dan kanan menikmati pemandangan sekitar yang masih asri, ada taman, toko-toko, serta ....

Mata birunya terpaku ke salah satu jendela toko, menatap intens sebuah boneka bayi berambut ikal pirang serta pakaian serba berwarna emas. Harga yang didiskon, pernak-pernik khusus, serta penampilan yang begitu manis, seketika menarik minatnya.

"Ih! Lucu banget!" Dihentak-hentakkan kakinya gemas, keempat jarinya yang sedikit mengepal berada di depan bibirnya yang tersenyum lebar. "Ah! Aku mau!"

Tanpa pikir panjang, ia masih ke pintu toko yang bertuliskan buka, dalam sekejap ia keluar bersama bingkisan yang di dalamnya seperti kotak di sana. Kebahagiaan amatlah terpancar kala ia menilik isi kantong plastiknya.

Namun sekejap, wajahnya berubah khawatir.

"Astaga! Uangnya, kan, buat beli baju edisi terbaru di toko online!" Ia merengutkan bibirnya. "Ya udah, deh, entar aku minta uang sama kakek."

Kembali ia melangkahkan kaki ke arah tepian jalan, menghentikan taksi yang kebetulan lewat di hadapannya dan kala berhenti ia masuk ke sana. Diberitahukannya alamat rumahnya dan sopir pun membawanya ke tempat tujuan.

Tak lama, taksi sampai di sebuah rumah besar yang terkesan begitu klasik namun mewah, Hanna keluar dari taksi dan membayar, sebelum akhirnya masuk ke rumahnya dengan ceria.

"Kakek, Nenek, Hanna pulang!" sapa Hanna menuju ruang tengah, namun keceriannya terganti kaget karena nyatanya banyak orang yang ada di sana. Termasuk sosok yang ia panggil kakek, juga sang istri, neneknya, kemudian dua orang yang ia kenal serta satu orang asing yang tak ia ketahui.

"Eh, Tante Permata, Om Lutfian!" sapa Hanna senang.

"Oh, Hanna, akhirnya kamu pulang! Duduk, Sayang!" perintah wanita tua di antara mereka, nenek Hanna.

"Bentar, Nek, aku ke kamar dulu buat letakin ini!" Hanna mengangkat bingkisan di tangannya.

"Sebentar saja, Hanna! Sini dulu sebentar!" pinta sang kakek, wajah Hanna semakin terheran meski demikian ia menurut. Gadis muda itu duduk di samping sang nenek. Tepat di hadapan tante dan om itu yang duduk di sofa panjang sementara di samping si orang asing yang tersenyum simpul sesaat.

"Nah, Hanna, kenalin, namanya Hadrian, anak Om Lutfian dan Tante Permata!" Sang nenek memperkenalkan pemuda itu, Hadrian, yang kemudian mengulurkan tangannya seraya tersenyum ke arah Hanna.

Hanna menatap tangan itu sejenak, sebelum akhirnya ke wajah berahang terbentuk dengan mata cokelat ramah itu, ia balas menjabatnya. "Nama aku Hanna!"

"Hadrian!" balas Hadrian, jabatan keduanya terlepas tetapi Hanna masih menatap pemilik rambut cokelat berantakan berjas hitam kasual itu, menelitinya segenap sebelum akhirnya menoleh ke sumber lain yang angkat suara.

"Kedatangan Om dan Tante ke sini ... yah, maaf jika mendadak, bahkan kalian enggak saling kenal," kata Om Lutfian, Hanna mengerutkan keningnya. "Kami ... Tante, Om, sama Kakek dan Nenek kamu setuju menjodohkan Hadrian sama kamu."

"HAH?!" Hanna memekik dengan nada yang memekakkan telinga, semua terperanjat karenanya setelahnya menatap Hadrian yang berusaha menghilangkan denging di telinganya. "Tapi, tapi ...."

"Hanna, Sayang," panggil sang nenek, Hanna menoleh syok. "Kamu, kan, tahu usia kamu sudah dewasa, dua puluh dua tahun, dan kamu juga tahu kakek dan nenek sudah semakin tua dan renta. Kami ... perlu orang yang bisa menjaga kamu, Sayang ...."

Alasan itu seketika mendiamkan Hanna dengan wajah kagetnya.

"Hanna." Kali ini Hadrian yang memanggil, dengan gentle-nya si pria menggenggam tangan Hanna yang mulus dan mungil. "Ini ... juga kejutan bagiku, oke? Tapi, kita harus menjalaninya, demi orang tuaku dan kakek nenek kamu. Kita ... jalani ini bersama, oke? Cinta ... bisa datang kapan aja, dan kita belajar bersama."

Hanna menarik tangannya, sekejap kemudian beranjak dari duduk dan berlari menaiki tangga menuju kamarnya. Semua yang ada di sofa menatap tak percaya.

Mata cokelat Hadrian tanpa sengaja menangkap objek di tempat duduk Hanna tadi, hal yang membuatnya memiliki sebuah ide.

"Maaf atas kelakuan Hanna, biar saya—"

Hadrian menahan wanita tua itu yang siap berdiri. "Nek, biar saya yang urus ini." Hadrian tersenyum hangat, ia pungut bingkisan berisi kotak yang entah apa isinya itu sebelum akhirnya mengekori jejak Hanna menaiki tangga ke lantai dua.

Di sana, Hadrian temukan banyak ruangan, meski demikian yang bertema serba merah muda yang lain daripada yang lain yang ia hampiri karena yakin ada penghuninya di dalam. Diketuknya pintu beberapa kali.

"Enggak, Nek! Hanna enggak mau nikah!" pekik suara dari dalam, terdengar suara sendu serta sesenggukan selayaknya seseorang yang tengah menangis. "Pokoknya Hanna enggak mau!"

Hadrian terdiam, wajahnya memurung sejenak sebelum akhirnya ia mengeluarkan kotak dari bingkisan hitam itu. Nyatanya, kotak itu berisi boneka bayi cantik berambut ikal yang pirang.

Bunyi yang ditimbulkan dari gemerisik kantong kresek itu membuat Hanna yang asyik menangis menegak, teringat bendanya yang tertinggal di sofa dan ia yakini ada di tangan neneknya yang ada di balik pintu. Disekanya air matanya, secepat kilat bangkit dari tiarap seraya menangisnya untuk membukakan pintu.

Hanna terkejut nyatanya bukan neneknya yang ada di hadapan, melainkan Hadrian yang siap membuka kotak tersebut. Langsung saja, si gadis merampas itu dari tangannya.

"Jangan!" Hanna memeluk boneka yang masih dibalut kotak itu, mundur perlahan lalu berbalik menuju rak berisi ratusan koleksi boneka beragam jenisnya, dan tanpa sadar karena pintu tak ia tutup lagi Hadrian melangkah masuk.

"Kamu suka banget koleksi boneka, ya?" Hanna terperanjat, spontan membalikkan badan, dan masih memeluk kotak berisi bonekanya. Ia dapati pria itu kini masuk ke kamar bertema pastelnya seraya menatap sekitaran. "Temanya kek ... boneka, bahkan kamu juga kek boneka." Ia tertawa pelan.

"Aku gak mau nikah sama kamu, mending suruh mereka batalin!" ketus Hanna, kembali air matanya menetes.

"Apa aku udah bilang ini juga mendadak buat aku?" tanya Hadrian, mendekati Hanna yang terus mundur namun sayangnya terhalang dinding di belakangnya. Jarak keduanya kini benar-benar tersapu. "Jujur, aku juga gak setuju sama jodoh-jodohan begini, zaman Siti Nurbaya emangnya? Tapi, nyatanya ... banyak alasan yang bikin aku harus menjalani ini semua. Kita gak saling kenal, tapi kita bisa saling mengenal nantinya. Kita enggak saling cinta, tapi kita bisa merasakannya jika kita ... belajar melewatinya. Kamu tenang aja, aku pria baik-baik, aku gak pernah deket sama wanita mana pun dan—"

"Aku gak mau jadi istri, aku enggak bisa! Aku juga gak mau diper//ko//sa, aku gak mau hamil!" Hanna menangis tersedu.

Hadrian menyeka tepian mata Hanna. "Enggak, jangan takut, kita belajar sama-sama dan soal hal lain ... itu semua terserah, itu ada di tangan kamu. Kamu ingat kata-kata nenek kamu tadi?"

Hanna terdiam, ucapan neneknya terulang di kepalanya.

"Kita jalani ini semua, dan kita belajar sama-sama." Hanna menghela napas, kemudian mengangguk dengan napas yang masih sesenggukan. "Ayo, kita kembali ke bawah!"

Hadrian mengulurkan tangannya, dan Hanna pun menyambut uluran itu dengan pasrah. Mereka menuruni tangga dan melihat kejadian tersebut tentu disambut kebahagiaan dari para insan yang duduk di sofa.

Cerita ini tersedia di
Playbook: An Urie
Karyakarsa: anurie
Dan bisa dibeli di WA 0815-2041-2991

BABY DON'T KISS! [B.U. Series - H]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang