Malam menyongsong dengan ganasnya. Semburat senja hanya butuh beberapa detik untuk lenyap. Rembulan menampakkan diri sebagai ganti kecewa mendalam yang dialami manusia. Malam selalu dituduh menjadi penyebab semua keburukan. Kedatangannya sering disumpah-serapah oleh penghuni dunia. Kehadirannya lebih sering dicaci daripada dipuji. Padahal, malam datang membawa ketenangannya. Malam hadir untuk menyelimuti letih dan meringankan beban manusia. Malam datang dengan buruk rupa tapi maksud mulia. Dia datang untuk mengistirahatkan manusia dari kejamnya hidup seharian. Malam yang selalu dibenci ingin terus memanjakan sejuta hati.
Udin menutup rapat dengan investor tepat jam delapan malam. Setiap hari, Udin meluangkan waktu sejenak di kantor. Menghela napas mengintrospeksi diri. Seharian, apa saja kebaikan dan keburukan yang dia lakukan. Maka, tidak heran jika Udin selalu menjadi penghuni terakhir di perusahaannya setiap hari. Dia tidak pernah mengekang karyawannya untuk menganggap perusahaan seperti yang dia lakukan. Dia sadar, masing-masing dari karyawannya mempunyai kehidupan yang lebih penting dari sekedar lembur di kantor. Dia bersama manajemen selalu mengusahakan tidak ada pekerjaan yang harus diselesaikan dengan lembur. Tanpa terasa, lemah lembut udara yang merasuk membuat Udin memejamkan matanya. Dia tidak sanggup menahan kantuk karena letih.
"Den Udin, bangun den udah malem. Yuk pulang," pak Ridwan mencoba membangunkan Udin dengan perlahan.
"Eh pak Ridwan, sekarang sudah jam berapa pak ?" tanya Udin yang masih mengerjapkan matanya.
"Sudah jam 9 malam den."
"Yaudah yuk pulang pak."
"Ayo den."
Saat ini, Udin tinggal di Jogja, tempat perusahaannya berada. Dia tidak mau menanggung risiko perjalanan jauh. Pak Ridwan memutuskan untuk bekerja dengan Udin dan ayah Udin harus mencari sopir pribadi yang baru. Awalnya Unin menolak harus ada sopir untuk mengawal Udin. Unin ingin rumah tangganya bersama Udin dibangun mandiri. Dia ingin menjadi istri sepenuhnya untuk Udin. Akhirnya, Udin membuatkan rumah untuk pak Ridwan sekaligus sekeluarga tepat di samping rumah mereka di Jogja. Rumah yang bentuk dan ukurannya sama persis dengan rumah yang Udin tempati. Pak Ridwan bersama istri dan kedua anaknya biasanya sering menemani Unin di rumah. Apalagi sekarang sudah tahun kedua mereka menetap di Jogja. Udin dan Unin sudah dikaruniai seorang anak yang sekarang berumur satu tahun tiga bulan. Hal itulah yang menjadi alasan kuat Udin bersikeras agar pak Ridwan ikut dengannya. Dia hanya takut meninggalkan Unin dan anaknya sendirian di rumah. Pak Ridwan hanya menurut dan akhirnya kedua anak pak Ridwan yaitu Ayu dan Damar pindah sekolah di dekat rumah tersebut. Semakin lama, Unin semakin terbiasa dan sangat terbantu dengan kehadiran pak Ridwan dan anak-anaknya yang sering main ke rumah. Apalagi istri pak Ridwan sering membantu urusan rumah tangga Unin. Banyak hal baru yang Unin pelajari dari istri pak Ridwan.
Perjalanan pulang hanya butuh waktu lima belas menit. Wajah Udin terlihat sumringah. Membayangkan Unin yang menyambutnya dengan senyum menenangkan itu. Teringat satu tahun yang lalu seperti malam ini. Udin yang mendapatkan kabar dari istri pak Ridwan kalau Unin dilarikan ke rumah sakit. Saat itu Unin akan melahirkan tepat di usia kandungan Sembilan bulan lebih empat hari. Pak Ridwan dan Udin melaju dengan kecepatan tinggi ingin menemani Unin berjuang. Setibanya di rumah sakit, sang istri sudah mengerang kesakitan. Ayah, ibu, serta mertua Udin sudah menunggu di luar. Melihat kedatangan Udin, ibu Udin sudah bersiap dengan ribuan kata marah karena kelalaian Udin yang tidak bisa menemani istrinya. Namun, Udin mengabaikannya begitu saja. Dia hanya memikirkan kondisi Unin dan langsung menuju ke ruang persalinan. Udin dengan sigap memegang tangan Unin yang sedang berjuang keras. Persalinan yang cukup lama itu membuat Udin merelakan dirinya dijambak berkali-kali, dipukul dan diremas jari-jarinya. Dia baru sadar kekuatan istrinya melebihi dirinya sendiri. Hal tersebut sampai meninggalkan memar saat itu. Tapi rasa sakit yang mereka alami semuanya sirna ketika tangis bayi mungil itu pecah. Senyum dan ucapan syukur tersematkan di masing-masing bibir mereka yang menyaksikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Ke-Dua Si Udin
HumorInilah catatan kedua si Udin setelah lulus kuliah dan menjalani kehidupan setelahnya. bagaimana kelanjutkan kisahnya dengan Unin ? Apa saja masalah yang akan dihadapi Udin dan keempat sahabatnya ? Sekuel "Catatan Kuliah Si Udin"