Dua tahun berada di sekolah ini, aku sama sekali tak membawa kenangan-kenangan masa kecil. Sifat cengengku yang dulu sangat melekat, seakan dicabut dari urat syarafku. Aku tak memiliki rasa takut terhadap sapapun bahkan guru yang dianggap paling jahat sekalipun. Aku sangat terkenal dikalangan siswa laki-laki dan perempuan mulai dari kelas tujuh hingga sembilan. Tidak ada yang tidak mengenalku.
Seluruh organisasi kesiswaan dipegang oleh siswa kelas delapan. kelas tujuh boleh mengambil bagian, tetapi porsinya hanyalah sebagai anggota dan wakil dari setiap pengurus harian. Kelas sembilan sudah harus berhenti dan fokus untuk persiapan ujian nasional. Reorganisasi akan segera dilaksanakan mengingat bulan agustus sudah semakin dekat. Tanpa ada OSIS, kegiatan agustusan tidak akan berjalan dengan lancar. Setiap kelas delapan wajib mencalonkan minimal satu orang warganya untuk menjadi kandidat ketua OSIS, sedangkan untuk calon anggota OSIS sendiri, siapaapun boleh mendaftarkan diri untuk mengikuti seleksi.
"Hei Sekar, kelas barumu jelek banget kayak rumah kardus," ejek Tomi yang sekarang sudah tidak lagi sekelas denganku. "Sialan, dari pada kelasmu, kelas mesum," aku membalas,"setiap pagi ada yang pacaran di sana, kamu temasuk." Tomi tertawa cekikikan seakan membenarkan perkataanku. "Mana nomor HP mu?" tanyanya. "Aku nggak punya HP." Jawabku santai sambil menyedot es. Dia tertawa tak karuwan mendengar ucapanku itu, tapi setlah itu wajahnya terlihat gusar. "kalau aku kangen temanku ini, bagaimana. Kita kan akan jarang ketemu karena beda kelas," tandasnya. "Hey, kamu masih bisa menemui ku di kelas, kalau sayang sama teman, ke sinidong tiap hari," jawabku ketus.
Baru saja Tomi membuka mulutnya mau menyeruput sedotan es ku, ada yang memanggilku dari belakang. Moncongnya itu menjulur panjang sedangkan es yang ku pegang telah berpindah haluan. "Heee sialan, aku minta es, Sekar, gila" suara Tomi sayup-sayup terdengar ketika aku berjalan memasuki kelas. Ekspresi konyolnya itu membuat aku tak kuasa menahan tawa sampai air liurku meronta-ronta.
Memasuki kelas aku dikagetkan dengan tulisan nama ku yang tertulis besar paling atas, diatas lima nama siswa yang lain. "Ada apa ini," tanyaku pada semuayang ada di kelas. "Sekar, kamu jadikandidat calon ketua OSIS. Semuanya sudah setuju, wali kelas juga sudah mengetahui dan beliau setuju," ucap ketua kelas. "Kalau aku nggak setuju?", bantahku dengan suara keras. semua anak terliaht takut, kecuali Linda si ketua kelas. "Ini sudah keputusan final, kamu harus mau jadi wakil dari kelas ini," jelas Linda tak kalah lantang. "Memangnya kamu siapa berani mengatur aku. Kamu Cuma ketua kelas," aku pergi meninggalkan kelas lalu menemui Ringga di kelasnya. Ringga terlihat sibuk juga di sana. Dia yang sudah terjun di OSIS saat kelas tujuh, kini menjadi pengurus MPK yang mengurusi dan mengawasi jalannya tes tulis hingga penyampaian visi misi calon ketua OSIS nanti. "Kenapa wajahmu lecek begitu?" Ringga memandangiku yang masih kesal. "Aku jadi anggotaa OSIS aja ogah, ini malah semua mencalonkanku jadi kandididat calon ketua. Malah sudah disejutui sama wali kelas," aduku pada Ringga. Bukannya menenangkanku yang sedang kesal, Ringga justru dengaan keras berkata,"cocok". Rasanya ingin ku tarik moncongnya yang panjang itu. Mataku melotot, dia malah tertawa. Kalau aku sudah begini, tidak ada yang berani bicara bahkan anak laki-laki sekalipun. Namun tidak dengan Ringga, dia pawangku sejak TK, mana bisa dia takut. Baginya kemarahanku adalah hal lucu.
"Nanti, kalau misalnya aku terpaksa harus masuk, jangan loloskan aku pas visi misi ya!" ancamku. Ringga membelalakan matanya, meledekku kemudian berlari. Ku kejar ia hingga mengintari kelas tujuh dan delapan. Rokku yang panjang dan sempit, ku jinjing hingga selutut, Ringga pun sama. Kakak klas dan adik kelas yang melihat kami seperti najing memburu kucing, bersorak-sorak menyebut namaku dan Ringga. Bersahut-sahutan seperti menonton pertandingan speak bola. "Hajar Sekar, lari kencang Ringga, ayo." Napas kami terengah-engah, Ringga menyerah dan berhenti saat aku juga sudah tidak ada tenaga lagi. perburuan yang sia-sia. Aku dan Ringga sama-sama terkalahkan oleh rasa capai itu sendiri.
***
Tak bisa terelakkan, jiwa ku memang liar tapi tidak dengan tanggung jawabku. Walau tak sampai setengah hati menerima dan mengikuti setia tahap prosedur pemilihan ketua OSIS, tetapi aku tetap mencoba melakukan apa yang dilakukan oleh kandidat lain. Bukan agar terpilih, aku hanya tak ingin terlalu terlihat bodoh dan memalukan. Malam sebelum penyampaian visi misi semua kandidat. Sesuai tawaran Ringga, aku meminta kak Nuri membuatkanku visi misi. Dulu, katanya, semasa SMK, kak Nuri juga pernah mencalonkan diri sebagai ketua OSIS. Sepulang mengaji, aku langsung ke rumah Ringga. Kubawa secarik kertas dan pulpen. Memang jalan menuju pemilu ini sangat mulus. Kak Nuri yang biasanya selalu latihan sepak takraw setiap malam saat masuk kerja pagi, kali ini berada di depan TV, santai menonton acara MotoGP. Untung padasaat itu Rossi menjadi juara setelah melewati persaingan ketat dan panas dengan rekan setimnya, Jorge Lorenzo. Setidaknya, hal itu menjadi penahan suasana bahagia dalam hati kak Nuri agar tidak bad mood saat ku mintai tolong membuatkan visi misi. Dalam catatan sejarah Rossi, saat itulah kali terakhir The Doctor menjadi juara dunia MotoGP 2009.
"Sekar mau mencalonkan ketua OSIS ya?" Kak Nuri memutar posisi duduknya. Kini dia menghadap tepat di depan ku. Agar tak panjang lebar menjelaskan, ku bilang iya saja. "Bagus, kamu pemberaani Sekar," pujikak Nuri. Mendengarnya, aku merasa geli dan beradu lirik dengan Ringga. "Sekar saja berani, kok kamu tidak nduk," kali ini kak Nuri melirik Ringga. Kata-kata "Sekar saja berani," mengapa membuat perasaanku sedikit aneh, sepertinya begitu sepele diriku. Harus banget, pakai kata saja untuk kalimat itu. protesku dalam hati. "Ringga sudah menjabat sebagai ketua MPK kak," bela ku. Kak Nuri manggut-manggut.
Tak sampai dua menit, kak Nuri mengembalikan secarik kertas yang tadi ku berikan. Tak lagi kosong, telah penuh dengan tulisannya yang rapi dan khas. Tulisan laki-laki bagaimana bisa serapi ini, aku merasa gagal menjadi perempuan. Satu kalimat yang paling aku sukai adalah, "menjembatani aspirasi seluruh warga sekolah khusurnya siswa, demi terciptanya lingkungan sekolah yang harmonis dan berkesinambungan."
Cocok sekali dengan fenomena yang menyipitkan mata di sekolah. Siswa yang sepertinya tak diberi ruang untuk berpendapat. Segala ucapan guru seakan final dan tak bis di ganggu guagat. Salah sedikit nilai merah, bantah sedikit pipi kanan yang merah. Sepertinya hanya pak Sudarmo, guru bahasa Indonesia, yang tahu bagaimana caranya menghadapi dan mengatasi problem siswa yang bermacam-macam modelnya. Seharusnya ini adalah tugas urama guru BP. Bukan hanya fokus pada pengobatan setelah kasus terjadi pada siswa, malah justru mengalami disfungsi pencegahan dengan memberikan materi rutin di kelas-kelas. Akhirnya, tugas mengawasi dan memberi perhatian moral hanya dilakukan oleh para guru yang benar-benar memiliki jiwa pendidik dan beredikasi kepada sekolah agar tak pupus harapan untuk terus melahirkan alumnus yang tak hanya pandai dalam akademik non akademik, tetapi juga menghasilkan produk yang bermoral.
"Aku pamit pulang kak, Ringga,"
"Loh buru-buru aja Sekar... berani, pulang sendiri?" tukas kak Nuri yang melihatku terkekeh menyandang tas berisi mukena. " khawatir Emak nyari Sekar...berani kak," jawabku lalu berdiri dan keluar. Ringga mengantarku sampai depan pintu.
Malam berlangsung seperti dalam sekedipan mata, tiba-tiba pagi menyingsing dan aku sudah berada di depan kelas, kepagian seperti biasanya, dan pintu kelas belum dibuka. Ku lihat ada sesuatu yang aneh menempel di daun pintu. Ku dekati segera karena penasaran, lembar HVS bertuliskan KANDIDAT CALON KETUA OSIS PERIODE 2009/2010 bercetak tebal, dibawah tulisan itu terpampang foto tiga kandidat, satu diantaranya adalah foto diriku. "Apa?, gimana bisa lolos, kemarin tes tulis semua aku jawab ngawur," sergapku pada diri sendiri. Belum selesai membaca tulisan dibawah foto, suara derap sepatu seperti sekawanan kuda, bergerak cepat mendekat. Teman-teman sekelasku yang baru saja datang, berebut membaca poster itu. Memalukan. Sial, sebentar lagi akan ada kalimat paling tidak mengenakkan yang segera menghantuiku hingga seminggu ke depan.
Pagi bersejarah itu tak akan pernah terlupakan. Panggilan ditujukan kepada semua OSIS yang telah lolos seleksi dan Kandidat calon ketua OSIS yang sudah resmi memasuki babak penyampaian visi misi. Tomi dan anak buahnya mulai dari kelas tujuh sampai kelas sembilan yang, mengiringi langkahku dari kelas menuju ruang OSIS. Mereka berjalan penuh semangat persis seperti siswa SMK yang siap bertempur dengan siswa SMA. Namaku di sebut-sebut dengan lantang dan bersahutan. Malu bukan main. Seorang siswi diarak puluhan siswa di saksikan siswa siswi lainnya dan para guru. Aku sudah seperti ratu dan Tomi adalah panglima perng yang siap memberikan instruksi penyerangan kepada pasukan untuk melawan musuh. Ringga bak seorang ibu suri yang tersenyum membahana menunggu pewarisnya datang membawa persembahan. "Tomi dan pasukan, turunkan volume suara dulu dan tunggu di sini!" seru pak Sudarmo dengan lagaknya yang santai tapi tetap tegas.
Semua telah berkumpul, akulah yang terakhir datang. Terlihat kedua kandidat lain sibuk bekomat kamit. Mungkin sedang menghapal teks visi misi atau mungkin juga membaca jampi-jampi dari dukun agar mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan dari dewan guru dan pembina OSIS nanti. "He kamu, cengar-cengir," selorohku pada Ringga yang senyum-senyum sejak aku masuk ruangan. Tak menghiraukan ucapanku, dia malah membuang muka sambil tersenyum kecut, sebelah bibirnya tertarik kesamping dan bawah, matanya melirik keatas. Ingin ku remas saja wajah menjijikan itu.
Aku duduk diantara kedua kandidat, di belakang kami berjajar seluruh Pengurus OSIS lama dan OSIS baru terpilih kemarin. Sesuai perintah pak Sudarmo, pasukan Tomi menunggu di luar ruangan, setiap oang di pasukannya menenteng kertas bufalo yang menyusun kata SEKAR TRIRENGGANI. Sungguh, aku terharu melihat mereka, tapi dalam waktu yang sama, aku sekaligus merasakan malu yang tak berkesudahan. Siswi macam apa aku ini.
Molor satu setengah jam dari jadwal yang telah disepakati, acara baru dimulai setelah jam dinding memarkirkan jarum pendeknya di angka sepuluh diikuti jarum panjang menutupi angka enam. Tanpa basa basi, pak Sudarmo memberi perintah agar rowndown acara segera dibacakan oleh moderator. Sambutan-sambutan yang kurang penting, membuat ruangan terasa semakin gerah. "Acara selanjutnya, penyampaian visi dan misi dari masing-masing kandidat ketua osis," suara khas bercengkok oleh Master of Cheremony yang tidak lain adalah Fio , teman sebangku ku wakttu kelas tujuh.
Sesuai nomor urut, Andalis, siswi kelas 8F maju pertama. Ia sudah pengalaman mengikuti organisasi. Waktu kelas tujuh, dia sudah menjadi pengurus OSIS harian. Penyampaiannya cukup ringan dan mengalir meski terlihat masih ada sedikit gugup saat para anggota OSIS lama melontarkan pertanyaan dan sanggahan.
Selesai melucuti Andalis dengan pertanyaan yang berbelit-belit dan akhirnya tidak puas dengan jawabannya, kini sampai pada bagianku. Tomi dan pasukan bersorak-sorak dari balik pintu, saat namaku dipanggil oleh moderator. Petugas keamanan dari panitia acara mencoba menenangkan pasukan Tomi tapi tidak digubris, mereka tetap bersorak-sorak dan ingin memasuki ruangan. Seperti pendemo yang dilarang masuk gedung DPR. Saat aku berjalan menuju mimbar, ku berikan isyarat, kuangkat telapak tanganku ke arah mereka lalu ku tangkupkan pelan-pelan sambil kepalaku merendah dan ku lempar mereka dengan senyuman. Seperti sibhir, mereka yang brutal seketika mereda tanpa suara.
Beberapa pertaanyaan disampaikan saat aku selesai membacakan visi misi yang dibuatkan oleh kak Nuri tempo hari. Meski bukan lahir dari pikiranku sendiri, tetapi visi dan misi itu sesuai dengan keresahan yang ku rasakan selama menjadi penduduk sekolah ini. Setiap pertanyaan, ku libas dengan tegas dan memuaskan semua penanya , sampai-sampai pembina OSIS, pak Sudarmo memberi standing aplause yang kemudian diikuti seluruh peserta dan panitia acara. Tak mau ketinggalan, Tomi dan pasukan lebih riuh lagi.
Sampai sesi terakhi, Luhur maju. Dialah kandidat terfavorit yang dijagokan para pengurus OSIS lama. Namanya sudah tenar sejak menjadi OSISwaktu kelas tujuh lalu. Ya, sama dengan Andalis, dia sudah berpengalaman diorganisasi. Aku satu-satunya orang yang nekad, masuk kandang macan, tanpa memiliki amunisi dan banyak persiapan. Hanya modal berani karena terpaksa mewakili kelas.
Selesainya sesi pembacaan visi dan misi, jeda sholat dhuhur. "He cuk, musuhmu sopo mau, Luhur bahadur kui, pendukunge akeh pisan yo," cletuk Andreas, kawan Tomi yang baru saja pindah dari Surabaya. "Iya, dia sudah sejak kelas tujuh di OSIS," jelasku. Andreas manggut-manggut. Ringga dan pasukannya gabung dengan pasukan Tomi duduk mengelilingiku. "Sekar, gimana, lega?" tanyanya. "Lega, habis ini gausah masuk saja ya, capek, panas di dalam. Pantatku rasanya mau kepes saja." Semuanya menertawaiku. "tinggal sedikit lagi, habis ini langsung pengumuman siapa yang terpilih menjadi ketua OSIS," terang Ringga.Aku tak berharap terpilih, aku hanya berusaha mengikuti prosedur dan bersemangat agar kawan-kawan yang telah mendukungku habis-habisan tidak kecewa. Sebelumnya. Namun, setelah mengetahui sedikit bagaimana program kerja yang ada dalam gambaranku sendiri, aku menjadi yakin, ini jalan yang tepat untuk membawa perubahan. Akan tetapi, rupanya mereka, Tomi dan lainnya pun tak berharap aku benar-benar terpilih menjadi ketua ataupun anggota OSIS. Mereka hanya ingin aku bisa menyampaikan aspirasi mereka yang jarang didengar. "Ooo jadi aku hanya tumbal kalian nih," cletukku yang akhirnya membuat suasana ramai kembali. "Kamu cukup bergabung dengan kita sebagai rakyat saja lah. Kalau semua harus masuk OSIS, siapa yanh akan menjadi corong suara untuk kita yang tak pernah dianggap ada ini," keluh Tomi. Kali ini dia terlihat benar-benar serius. Lalu, apa sebenarnya yang diharapkan Tomi dan semua pengikutnya. Gembar-gembor dan fanatiknya mendukungku sekejap waktu yang lalu?, Apa sebenarnya?. "Sekar, perhitungan suara sebentar lagi, aku akan keluar main game, maaf," Tomi pergi meneinggalkan aku sendirian di depan mushola. Andreas dan semuanya mengikuti.
Mau tau apa alasan sebenarnya yang membuat Tomi secara tiba-tiba memutuskan berhenti menjadi pendukung fanatik Sekar dalam pemilu ketua OSIS ini?, Dan apa yang akhirnya Sekar lakukan, mundur, atukah terus maju meski tanpa Tomi dan yang lain?
Semua akan terjawab setelah Januari 2020 mendatang. 🌷