Sekar & Ringgawi

40 3 0
                                    

Jawanya adalah Sekar
Disematkan oleh bapak
Untuk sebuah pengharapan
Berseri dan memberi keharuman
Mampu hidup digenangan rawa
Di belantara semak-semak belukar
Akankah aku tetap hidup bapak,
Jika sekelilingku tiada air
Tiada tanda-tanda kehidupan
Kau bilang aku akan tumbuh menjadi tulip
Meski sekarang aku hanyalah sebutir biji yang tak memiliki keistimewaan.

***

Kulihat dia mencium punggung telapak tangan ibunya. Satu kecupan yang ringan, berlangsubg sangat singkat, akan tetapi,,,, aku melihatnya bak vidio slow motion seperti di TV saat model iklan sampo mengibaskan rambutnya. Ku amati setiap geraknya, pandangan mata ibunya, dan bagaimana ia berlalu sambil berbalas salam dengan sang itu.Hal yang sangat ingin ku lakukan kepada emak dan bapak sebelum dan sepulang sekolah.

Adalah Ringgawi, gadis yang tak pernah memiliki rambut panjang, sama sepertiku. Bedanya, aku Sekar, dia Ringga. Setiap berangkat sekolah aku selalu menjemputnya di rumah, meski sebenarnya rumahku lebih dekat dengan sekolah. Namun, rasanya pingin aja berangkat bareng dia. Di sekolah, Ringga sudah hapal, kalau nanti sebelum jam pulang, aku pasti sudah pulang dulan. Bukan karena jago menjawab kuis dari bu guru, tapi, karena aku memang istimewa.

"ketua kelas, nilai matematika kemarin silakan dibagi ke temanteman, ibu mau rapat dulu di kantor", rasa deg-degan tak kunjung reda sampai kertas volio buram itu ku terima dari tangan keetua kelas.
"Dua puluh lima", nilai terburuk yang pernah ku dapatkan selama tiga tahun masuk SD. Tangisku pecah membuat seluruh isi kelas gaduh.
"Kenapa lagi Sekar?", tanya seorang teman kepada Ringga, "pasti nilainya jelek ya?", Tak kunjung mendapatkan jawaban dari Ringga, anak itupun mengira-mgira dan menjawab pertanyaannya sendiri. "Ringga, Sekar kenapa lagi tuh, minta kamu gendong? Hahha", beberapa anak ijut menertawakanku. Dan untuk kesekian kali pertanyaan tentang Sekar yang dilontarkan ke Ringgawi, menguap begitu saja tanpa jawaban.
Tak lama kemudian, ibu guru masuk ke ruang kelas yang tak lagi kondusif. Beliau memukul papan tulis hitam dengan penggaris kayu besar, memberikan perintah agar kelas kembali tenanag. Setelah semua murid diam, bu guru langsung menghampiri dan memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari tutur bahasanya yang halus.
"Sekar kenapa nak?, nilainya jelek?, ndak apa-apa, teman-teman nilainya juga ada yang jauh dibawah Sekar. Itu tandanya, Sekar harus belajar lebih giat ya?", nasihat bu guru.

"berarti, nilaiku dua bebek bagus ya bu, ndak apa-apa ya bu?" , seloroh teman laki-laki dikelasku. Ibu guru menggerak-gerakkan mata, tanda mengancam dan memebri isyarat agar teman-teman diam. Seakan tak memiliki ruh, perkataan halus sang guru tak mampir barang sekejap di telingaku. Tangisku terus meluap dan semaakin tak terkendali. "Sekar, nggak papa, nilaiku juga jelek", Ringga mendekaat duduk di sampingku. "aku takut dimarahi bapak Ringga", jawabku pelan, dan tanpa sadar tangisku juga mulai mereda. "nggak apa-apa, biar aku marahin balik kalau bapakmu marah-marah " hibur Ringga. Kami pun saling pandang dan tersenyum. Ibu guru terlihat bergidik sambil melihatku dan Ringga bergantian.

***

Selain takut nilai jelek, aku selalu takut saat musim penghujan datang. Bukan karena telingaku tersakiti oleh bunyi petir. Namun, aku tak bisa tidur nyenyak, kasur tempat tidur kami basah karena tetesan air dari atap. Apalagi jika curah hujan semakin lebat dan bercampur angin, pasti seluruh bilik banjir dan kami, harus kehilangan malam-malam yang hangat. Dirumahku hanya ada tiga ruangan, satu bilik kamar tidur, ruang tamu dan dapur. Aku tidur bersama kedua saudaraku dan juga ibu. Bapak tidur di ruang tamu, kadang bapak tidur di luar rumah, berjaga agar ternak kami tidak raip digondol maling.

"Sekar.. Sekar, bangun", mbak Ima membangunkanku. Rupanya yang lain sudah tidak berada di atas kasur. "hujan ya mbak?", tanyaku setengah sadar. "iya ayok keluar", saudara perempuanku itu menggandeng tanganku ke luar. Bapak sudab berada di tengah halaman depan, sambil mencangkuli tanah untuk aliran air. Tak seutas kainpun yang menempel di badannya. Hanya caping anyaman bambu dan celana pendek berwarna coklat hampir menyamai warna kulitnya yang ia pakai. Emak merentangkan perlak yang biasanya dipakai alas kasur. "Sini duduk di di atas dipan", emak menarik tanganku dan mendudukanku disebelah kanannya, mba Ima dan Kak Rudi disebelah kiri. Emak menutupkan perlak itu ke badan kami semua agar tak terkena air. "Mak, kenaps kita harus keluar setiap hujan turun?", tanyaku penasaran. Emak memegangi kedua lengannya dan terpaku mennatap bapak, bibirnya gemetar, emak kedinginan. "supaya, jika suatu saat rumah ini ambruk karena badai hujan, kita tidak kerubuhan", jawab emak. Mendengar jawaban emak, mataku langsung tertuju pada dinding dapur yang ditopang dengan bambu, posisinya miring sepertinya sebentar lagi akan roboh.

Malam telah larut, tetapi hujan masih belum lelah mengguyur desa kami. Mataku mengantuk sedangkan kakiku terasa mulai licin, sandal jepitku seperti tertempel dan sulit ku pindahkan. Tanah mulai melunak membuat kita semakin diam terpaku tak berani bergerak. "hujannya agak reda, ayok cuci kaki terus tidur kembali:", emak mendahului kami berjalan menuju kamar mandi yang berada di luar. "ssrrrrtttt bokkkk", belum sempurna aku berdiri dari dipan, emak sudah terjatuh tepat di samping kak Rudi. Reflek aku menjerit memanggil emak. Bapak yang sibuk dengan cangkulnya sejak tadi, kaget mendengarku berteriak. Seketika cangkulnya diletakkan dan berlari menolong emak.

"apane sing loro?"(mana yang sakit?), tanya bapak khawatir. Emak menebas-nebas belakangnya dan berkata tidak apa-apa. Mataku tak bisa berhenti mencucurkan air mata. Seperti ada yang menyumbat di dalam dada dan membuat lidahku kelu untuk berkata-kata. Bibirku hanya gemetar sementara airmataku yang semakin menderas, melebur bersama air hujan.

***

Seperti biasanya, pagi-pagi sekali makanan sudah siap diatas meja. Emak memang wanita paling rajin yang pernah aku temui. Hampir setiap pagi sebelum semua berangkat beraktifitas di luar rumah, emak sudah membereskan semuanya.
Dapur adalah wilayah kekuasaan emak, di sana beliau bisa berubah seperti penari yang lincah mengintari setiap sudut, memainkan setiap peralatan dengan lihai dan tangkas. Hanya emaklah yang hapal dii luar kepala, di mana letak sendok, kuwali, centong, wajan dan segala macam prabot di dapur. Kalau sudah di dapur, seharian pun emak betah, tetapi saat dirinya merasa lelah jangankan aku dan mbak Ima, kucingpun akan kena semburan maut  emak.

“Mak aku cuci piringnya ya”, tanyaku penuh gembira sambil membawa piring bekas makan. Niat hati ingin belajar membantu orang tua, tapi apalah daya.

“jangan, nanti malah nggak bersih, bikin kerja dua kali saja”, semprot emak. 
“kamu mandi sana, sekolah, ini sudah jam setengah tujuh!”, serbunya.
Hatiku seketika layu, mendengar kata sekolah. Rasanya ada yang memberi beban sangat berat di pundakku setiap kali terdengar kata itu. Dengan setengah hati, aku mandi dan bersiap. Semua buku ku masukkan ke dalam tas coklat warisan dari mba Ima dulu. mataku sembab aku terisak dan tak mengerti apa yang selalu membuatku takut ke sekolah waktu itu.

“Angger ape budal sekolah kok nangis, sing mbok wedeni iku opo?”(setiap waktu berangkat ke sekolah kok menangis, memangnya apa yang kamu takuti?), wajah emak memerah, giginya bergesekan menimbulkan suara ‘kreeeetttt kreet’, jelas emak sedang menahan marah.

SEKAR (Politik Mimpi Gadis Petani)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang